macam-macam rukhshoh (8)

Haram Menjadi Mahal

Tidak ada satupun perintah dari Alloh bila dilaksanakan kecuali akan menjadi maslahat bagi hambaNya, demikian juga larangan yang Alloh tetapkan pada hambaNya. Ditaati akan mendatangkan kebahagiaan, dilanggar akan mengundang kesengsaraan.
Dengan rahmat Alloh bagi hambaNYa, dalam situasi tertentu terkadang keharaman tidak berlaku selamanya, artinya bisa saja kondisi menyebabkan seseorang bisa dimaklumi oleh syariat untuk menerjang larangan. Di antaranya :

1. Pemakaian kain sutra bagi laki-laki yang berpenyakit gatal

Hal ini berlaku bagi Abdurrohman bin Auf dan Zubair sebagaimana hadits di bawah ini :

وَعَنْ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: ( نَهَى اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ لُبْسِ اَلْحَرِيرِ إِلَّا مَوْضِعَ إِصْبَعَيْنِ, أَوْ ثَلَاثٍ, أَوْ أَرْبَعٍ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ

Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang memakai sutera kecuali sebesar dua, tiga, atau empat jari. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.

َوَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَخَّصَ لِعَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ, وَالزُّبَيْرِ فِي قَمِيصِ اَلْحَرِيرِ, فِي سَفَرٍ, مِنْ حَكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberi keringanan kepada Abdurrahman Ibnu Auf dan Zubair untuk memakai pakaian sutera dalam suatu bepergian karena penyakit gatal yang menimpa mereka. [Muttafaq Alaihi]

Bagi yang tidak berpenyakit gatalpun ternyata diperkenankan untuk mengenakannya dengan syarat lebarnya tidak lebih dari empat jari.

وَعَنْ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: ( نَهَى اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ لُبْسِ اَلْحَرِيرِ إِلَّا مَوْضِعَ إِصْبَعَيْنِ, أَوْ ثَلَاثٍ, أَوْ أَرْبَعٍ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ

Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang memakai sutera kecuali sebesar dua, tiga, atau empat jari. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.

2. Makanan haram dalam kondisi mendesak

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ باَغٍ وَلاَ عاَدٍ فَلاَ إثْمَ عَلَيْهِ إنَّ الله غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[albaqoroh : 173]

Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : manusia dalam kondisi terdesak diperintahkan untuk memakan makanan yang diharamkan, ia dilarang mencampakkan dirinya ke dalam kebinasaan dan membunuh dirinya, oleh karena itu wajib baginya untuk memakannya dan ia berdosa bila meninggalkannya hingga akhirnya ia mati. Kalau itu terjadi maka ia dinilai telah membunuh dirinya sendiri.

Inilah pembolehan dan keluasan rohmat Alloh bagi hambaNya selanjutnya Alloh menutup ayat ini dengan dua namaNya yang Mulia yang selaras dengan pembahasan ayat “ ghofuurun dan rohiimun “

3. Ucapan kekufuran di bawah tekanan

مَنْ كَفَرَ بِالله مِنْ بَعْدِ إيْماَنِهِ إلاَّ مَنْ أكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيْماَنِ وَلكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْراً فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ الله وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar [annahl : 106]

Ibnu Katsir menerangkan ayat ini turun berkenaan dengan Amar bin Yasir ketika disiksa oleh orang-orang musyrik hingga ia kufur kepada Muhammad shollallohu alaihi wasallam. Ia ikuti paksaan orang musyrik dengan lafadznya karena ia berada dibawah intimidasi dan siksaan sementara hatinya bertentangan dengan apa yang ia ucapkan dan hatinya tetap tentram dalam keimanan kepada Alloh dan rosulNya.

Akhirnya Alloh turunkan ayat ini sebagai hiburan bagi Ammar atas ampunan dan pemakluman dari Alloh.

Maroji’ :

Tafsir Alquran Al’adzim, Abu Fida’ Ibnu Katsir 2/714
Taisir Alkarim Arrohman, syaikh Abdurrrohman Nashir Assa’di 1/98

macam-macam rukhshoh (7)

Pengguguran kewajiban

Prinsip perintah dilaksanakan sesuai dengan kemampuan. Demikianlah Alloh memaafkan orang-orang karena udzur yang ia hadapi sehingga menyebabkan gugurnya kewajiban. Di antaranya :

1. Gugurnya jihad bagi orang lemah

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلاَ عَلَى الْمَرْضَى وَلاَ عَلَى الَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ ماَ يُنْفِقُوْنَ حَرَجٌ إذَا نَصَحُوْا لله وَرَسُوْلِهِ

Berdasarkan ayat ini maka Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di membagi tiga kelompok yang digugurkan kewajibannya untuk berjihad :

• Dlu’afa (orang-orang lemah) baik karena badannya karena sudah tua atau pandangan matanya

• Mardlo (orang sakit) meliputi semua penyakit yang menyebabkan dirinya tidak mampu berangkat berperang

• Orang yang tidak cukup bekal untuk berangkat

2. Gugurnya haji bagi yang tidak memiliki isthitho’ah (kemampuan)

ولله عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاَعَ إلَيْهِ سَبِيْلاً

mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah [ali imron : 97]

Haji adalah ibadah berat. Memerlukan kekuatan fisik dan dana yang tidak sedikit sehingga bagi yang tidak memiliki kemampuan maka sungguh Alloh Maha Pengampun. Setidaknya ada kelompok yang diperkenankan untuk tidak menunaikan ibadah haji. Di antaranya : wanita yang tidak memiliki mahrom, orang yang sudah tua, orang fakir yang tidak memiliki cukup bekal dan ketiadaan kendaraan yang bisa mengantar para calon haji sampai ke tanah suci. Hal ini berdasarkan nash-nash di bawah ini :

ولله عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاَعَ إلَيْهِ سَبِيْلاً

mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah [ali imron : 97]

وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: ( قِيلَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ, مَا اَلسَّبِيلُ ? قَالَ: اَلزَّادُ وَالرَّاحِلَةُ ) رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, وَالرَّاجِحُ إِرْسَالُهُ

Anas Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah sabil (jalan) itu? beliau bersabda: "Bekal dan kendaraan." Riwayat Daruquthni. Hadits shahih menurut Hakim. Hadits mursal menuru pendapat yang kuat.

وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا َوَعَنْهُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَخْطُبُ يَقُولُ: ( " لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ, وَلَا تُسَافِرُ اَلْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ " فَقَامَ رَجُلٌ, فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ, إِنَّ اِمْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً, وَإِنِّي اِكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا, قَالَ: اِنْطَلِقْ, فَحُجَّ مَعَ اِمْرَأَتِكَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ

Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika khutbah bersabda: "Janganlah sekali-kali seorang laki-laki menyepi dengan seorang perempuan kecuali dengan mahramnya, dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya." Berdirilah seorang laki-laki dan berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku pergi haji sedang aku diwajibkan ikut perang ini dan itu. Maka beliau bersabda: "Berangkatlah dan berhajilah bersama istrimu." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.

3. Gugurnya ibadah shoum dan fidyahnya bagi orang yang sudah tua renta sementara ia adalah orang fakir

Maroji’ :

Taisir Alkarim Arrohman, Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 1/543
Tafsir Alquran Aladzim, Abu Fida’ Ibnu Katsir 1/474

macam-macam rukhshoh (6)

Ibadah dilaksanakan tidak utuh

Ada beberapa ibadah yang pelaksanaannya diperbolehkan dilaksanakan tidak maksimal sesuai dengan ketentuan apabila kondisi menyulitkannya untuk melakukannya dengan sempurna. Tentunya pembolehan ini harus dilewati dengan usaha maksimal sebelumnya. Di antara contoh-contohnya adalah :

1. Sisa noda darah haidh pada kain setelah dicuci
Darah haidh sering mengenai kain atau pakaian dalam wanita. Terkadang sulit untuk dibersihkan meskipun sudah diupayakan dengan penghilang noda. Maka islam memberikan keringanan kepada kaum wanita untuk memakainya setelah upaya maksimal sudah diupayakan sebagaimana yang disabdakan oleh nabi shollallohu alaihi wasallam :

َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَتْ خَوْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ الدَّمُ ؟ قَالَ : يَكْفِيك الْمَاءُ وَلَا يَضُرُّك أَثَرُهُ

Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata : Khaulah bertanya, wahai Rasulullah, meskipun darah itu tidak hilang? Beliau menjawab: "Engkau cukup membersihkannya dengan air dan bekasnya tidak mengapa bagimu." [HR Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi]

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : pakaian, bila dicuci karena ada kotoran darah haidh lalu bekas warna darah masih ada di pakaian atau badan maka itu tidak mempengaruhi akan kesempurnaan kesuciannya dan tidak akan merusak syahnya sholat. Hadits ini juga membuktikan akan toleransinya islam dan kemudahan yang diberikan kepada umatnya. Seorang muslim semestinya bertaqwa kepada Alloh sesuai kadar kemampuan maksimalnya. Lebih dari itu maka islam memberikan pemaafannya

2. Tidak bersiwak sebelum sholat

Idealnya setiap menunaikan sholat, seorang muslim bersiwak (gosok gigi) terlebih dulu. Akan tetapi hukum wajib melaksanakannya tidak diberikan oleh nabi shollallohu alaihi wasallam karena khwatir akan memberatkan umatnya :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda : "Seandainya tidak memberatkan atas umatku niscaya aku perintahkan mereka bersiwak (menggosok gigi dengan kayu aurok) pada setiap kali wudlu." [HR Ahmad, Malik dan Nasa’i]

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : nabi shollallohu alaihi wasallam tidak mewajibkan gosok gigi setiap akan sholat karena khawatir umatnya tidak mampu melaksanakannya yang akhirnya berakibat mereka akan menanggung dosa karena meninggalkannya. Hadits ini juga menunjukkan luasnya syariat islam dan sifat toleransi serta pengertiannya akan kondisi manusia yang serba lemah. Hal ini sesuai dengan firman Alloh :

يُرِيْدُ الله أنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الإِنْساَنُ ضَعِيْفاً

Allah hendak memberikan keringanan kepada kamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah [annisa : 28]

وَماَ جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِّنْ حَرَجٍ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan [alhaj : 78]

3. Mengqoshor dan menjama’ sholat saat bepergian
Dengan adanya safar maka sholat dzuhur, ashar dan isya’ bisa dilaksanakan masing-masing dua rokaat, itupun masih ditambah dengan pembolehan untuk dijama’ (digabung) sehingga usai melaksanakan dzuhur, kita bisa melanjutkan sholat ashar tanpa harus menunggu tibanya waktu ashar :

َوَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَال ٍ أَوْ فَرَاسِخَ, صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Anas Radliyallaahu 'anhu berkata : Adalah Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila keluar bepergian sejauh tiga mil atau farsakh, beliau sholat dua rakaat. [HR Muslim]

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : di antara kemurahan Alloh yang disukai untuk diberikan kepada hamba-hambaNya adalah memberikan rukhshoh yang membuat mereka mendapatkan kemudahan sehingga mereka bisa memanfaatkannya, semua itu atas kemurahan dan pemberianNya.

4. Sholat dalam keadaan sakit

Kondisi sakit berbeda dengan saat kita sehat. Berdiri ketika sholat hukumnya wajib, akan tetapi hal ini akan terasa sulit bagi yang tengah sakit sehingga berdiri bisa diganti dengan duduk bahkan berbaring bila memaksanya untuk mengambil pilihan itu.

ََوَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ, فَسَأَلْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَنْ اَلصَّلَاةِ؟ فَقَالَ: "صَلِّ قَائِمًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا, فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Imam Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu berkata : Aku mempunyai penyakit bawasir, bila aku menanyakan kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tentang cara sholat. Beliau bersabda : "Sholatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, dan jika tidak mampu maka dengan berbaring [HR Bukhari]
5. Menjama’ sholat di kala sakit, hujan dan lainnya

ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ فَسَأَلْتُ سَعِيدًا لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ
Dari Ibnu Abbas katanya; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat Zhuhur dan Ashar sekaligus di Madinah bukan karena takut dan bukan pula karena safar." Abu Zubair mengatakan; "Aku bertanya kepada Sa'id; "Mengapa beliau melakukan hal itu? Dia menjawab; Aku bertanya kepada Ibnu Abbas sebagaimana kamu bertanya kepadaku, lalu dia menjawab; "Beliau ingin supaya tidak merepotkan (memberatkan) seorangpun dari umatnya." [HR Muslim, Malik, Ahmad, Abu Daud dan Nasa’i]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعًا جَمِيعًا وَثَمَانِيًا جَمِيعًا
Dari 'Abdullah bin 'Abbas berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah melaksanakan shalat tujuh rakaat dengan jama' dan delapan rakaat dengan jama'." [HR Bukhori]
Imam Malik berpendapat yang dimaksud tanpa takut dan safar adalah hujan
Ibnu Qudamah berkata : kondisi hujan yang membolehkan untuk menjamak sholat adalah yang membasahi pakaian dan menyebabkan sulit untuk keluar. Sedangkan rintik-rintik dan hujan ringan maka tidak boleh karena tidak menyebabkan kesulitan

6. Tidak meneruskan tahajud saat terserang kantuk

وعن عائشة رَضِيِ اللَّهُ عَنْها أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قال إذا نعس أحدكم وهو يصلي فليرقد حتى يذهب عنه النوم؛ فإن أحدكم إذا صلى وهو ناعس لا يدري لعله يذهب يستغفر فيسب نفسه

Dari Aisyah rodliyallohu anha bahwasanya rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda : apabila seorang di antara kalian mengantuk saat sholat maka tidurlah hingga hilang rasa kantuknya, karena bila kalian sholat dalam keadaan kantuk maka boleh jadi ia bermaksud memohon ampun kepada Alloh akan tetapi ia justru mencaci maki dirinya sendiri [muttafaq alaih]

7. Meringkas bacaan sholat saat ada tangisan bayi

وعن أبي قتادة الحارث بن ربعي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قال، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم إن لأقوم إلى الصلاة وأريد أن أطول فيها فأسمع بكاء الصبي فأتجوز في صلاتي كراهية أن أشق على أمه
.
Dari Abu Qotadah Alharits Rib’i rodliyallohu anhu bersabda rosululloh shollallohu alaihi wasallam : sesungguhnya aku hendak sholat dan berniat untuk memanjangkan bacaan sholat. Tiba-tiba aku dengarkan suara tangisan bayi hingga aku pendekkan sholatku karena aku khawatir meresahkan ibunya [HR Bukhori]

8. Kuota peserta sholat jenazah

Sholat jenazah adalah wujud kepedulian seorang muslim dengan saudaranya yang akan berangkat menghadap Alloh untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya selama di dunia. Bantuan doa dari yang masih hidup sangat dibutuhkan si mayit, sholat jenazah adalah sarana terbaik yang bisa dilakukan. Dalam syariat, kuota peserta sholat jenazah terbagi menjadi 3 :

• Mengusahakan agar yang menyolatkan si jenazah sejumlah 100 orang

عن عائشة رَضِيَ اللَّهُ عَنها قالت: قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم ما من ميت يصلي عليه أمة من المسلمين يبلغون مائة كلهم يشفعون له إلا شفعوا فيه

Dari Aisyah rodliyallohu anhu berkata bersabda rosululloh shollallohu alaihi wasallam : tidaklah mayit yang disholatkan oleh umat islam yang mencapai 100 orang yang kesemuanya meniatkan diri untuk memberi syafaat bagi si mayit kecuali pasti Alloh akan memperkenankan syafaat mereka buatnya [HR Muslim]

• Bila jumlah 100 orang tidak terpenuhi maka usahakan agar jamaah yang hadir untuk menyolatkan sejumlah 40 orang yang bertauhid

وعن ابن عباس رَضِيَ اللَّهُ عَنهُما قال سمعت رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يقول: ما من رجل مسلم يموت فيقوم على جنازته أربعون رجلاً لا يشركون بالله شيئاً إلا شفعهم اللَّه فيه رَوَاهُ
.
Dari ibnu Abbas rodliyallohu anhu : aku mendengar rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda : tidaklah seorang muslim yang meninggal lalu ada 40 orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada Alloh berdiri untuk menyolatkannya kecuali pasti Alloh akan memperkenankan syafaat mereka buat si jenazah [HR Muslim]

• Bila jumlah kuota 40 orang tidak terpenuhi maka usahakan sholat jenazah dengan menyusun 3 shof

وعن مَرْثَد بن عبد اللَّه اليَزَنِي قال ، قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم من صلى عليه ثلاثة صفوف فقد أوجب رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ التِّرمِذِيُّ
.
Dari Martsad bin Abdulloh Alyazani bersabda rosululloh shollallohu alaihi wasallam : barangsiapa yang mensholatkan si mayit dengan menyusun 3 shof maka wajib baginya yaitu Alloh perkenankan syafaat mereka untuk si mayit [HR Tirmizi]

9. Menguburkan jenazah lebih dari satu dalam satu lobang

Idealnya satu lobang hanya diisi satu mayat, bila jumlah mayit terlalu banyak dan akan menyulitkan para penggali kubur maka bisa saja satu lubang diisi lebig dari satu orang sebagaimana yang terjadi pada syuhada uhud :

وعن جابر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم كان يجمع بين الرجلين من قتلى أحد يعني في القبر ثم يقول أيهما أكثر أخذاً للقرآن ؟ فإذا أشير له إلى أحدهما قدمه في اللحد. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
.
Dari Jabir rodliyallohu anhu bahwa nabi shollallohu alaihi wasallam mengumpulkan mengumpulkan dua jenazah dalam satu lobang (pada perang uhud) lalu beliau bersabda : siapa di antara kedua mayat ini lebih banyak hafalan qurannya ? apabila ditunjuk seseorang maka dialah yang dimasukkan terlebih dahulu [HR Bukhori]

Syaikh Mushthofa Albugho berkata : diperbolehkan mengubur dua atau tiga orang dalam satu lobang dalam kondisi darurat

Maroji’ :
Nuzhatul muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho dkk 1/279
Taudhihul ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam

macam-macam rukhshoh (5)

Pelaksanaan hukuman dengan hukuman lain yang lebih ringan

Pelanggaran-pelanggaran dalam islam terkadang menyebabkan pelakunya harus melaksanakan kifarot. Dengan kasih sayang Alloh kepada hambaNya, hukuman Alloh tetapkan dengan berbagai pilihan sehingga bisa saja hukuman yang begitu berat bisa berubah menjadi hukuman yang lebih ringan. Diantaranya :

1. Kifarot bersetubuh di siang hari bulan romadlon
Persetubuhan di siang hari bulan romadlon adalah pelanggaran yang teramat berat. Sehingga hukumannyapun sebanding dengan kesalahannya. Dua bulan shoum secara berturut-turut harus dilakukan sebagai penebus dosa. Manakala hal ini tidak mampu dilaksanakan maka dapat diganti dengan membebaskan budak. Di saat harga budak sangat tinggi atau budak sulit didapatkan bahkan sama sekali tidak ada seperti jaman sekarang maka memberi makan sejumlah 60 fakir miskin adalah hukuman yang paling ringan. Akan tetapi bila ternyata yang bersangkutan adalah orang miskin, sungguh Alloh Maha Pengampun sehingga membebaskan dari semua tuntutan sebagaimana hadits di bawah ini :

َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ ? قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً ? قَالَ: لَا قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ ? قَالَ: لَا قَالَ : فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ? قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا , فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا? فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ:اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku telah celaka. Beliau bertanya : "Apa yang mencelakakanmu?" Ia menjawab : Aku telah mencampuri istriku pada saat bulan Ramadhan. Beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan budak ?" ia menjawab : Tidak. Beliau bertanya : "Apakah engkau mampu shaum dua bulan berturut-turut?" Ia menjawab: Tidak. Lalu ia duduk, kemudian Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberinya sekeranjang kurma seraya bersabda: "Bersedekahlan denan ini." Ia berkata : "Apakah kepada orang yang lebih fakir daripada kami? Padahal antara dua batu hitam di Madinah tidak ada sebuah keluarga pun yang lebih memerlukannya daripada kami. Maka tertawalah Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sampai terlihat gigi siungnya, kemudian bersabda : "Pergilah dan berilah makan keluargamu dengan kurma itu." [HR Bukhori Muslim]

2. Kifarot nadzar dan sumpah

Nadzar adalah : sikap seorang muslim yang mewajibkan dirinya melaksanakan ketaatan kepada Alloh seperti ucapan seseorang “ karena Alloh saya akan menunaikan shoum pada suatu hari. Biasanya hal ini dilakukan manakala dirinya memiliki hajat tertentu yang sangat berharap untuk terwujud.
Bila tidak dilaksanakan nadzar tersebut karena sesuatu maka wajib baginya membayar kifarot.
Sumpah sering disebut di kitab-kitab fiqh dengan yamin. Sumpah yang menyebabkan berlakunya kifarot dinamakan yamin ghumus. Ia bermakna : sumpahnya seseorang dengan menyebut nama Alloh dengan tujuan untuk berdusta, hal ini diterangkan oleh nabi shollallohu alaihi wasallam :

َوَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: ( جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! مَا اَلْكَبَائِرُ ? فَذَكَرَ اَلْحَدِيثَ, وَفِيهِ قُلْتُ: وَمَا اَلْيَمِينُ اَلْغَمُوسُ ? قَالَ: اَلَّذِي يَقْتَطِعُ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ, هُوَ فِيهَا كَاذِبٌ ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ

Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata : Seorang Arab Badui menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan bertanya : Wahai Rasulullah, apakah dosa-dosa besar itu? -perawi melanjutkan hadits dan di dalamnya disebutkan- "Sumpah palsu." Dalam hadits itu aku bertanya : Apa itu sumpah palsu ? Beliau bersabda : "Sumpah yang digunakan untuk mengambil harta orang muslim, padahal ia bohong." [HR Bukhori]

Nadzar yang tidak ditepati dan sumpah dengan tujuan berbohong keduanya dikenakan sangsi yang sama sebagaimana sabda nabi shollallohu alaihi wasallam :

َوَعَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( كَفَّارَةُ اَلنَّذْرِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَزَادَ اَلتِّرْمِذِيُّ فِيهِ: ( إِذَا لَمْ يُسَمِّ ) وَصَحَّحَه

Dari Uqbah Ibnu Amir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : "Kafarat nadzar adalah (sama dengan) kafarat sumpah [HR Muslim]

Adapun kifarot bagi keduanya adalah : memberikan makan kepada 10 orang miskin atau memberi pakaian dengan jumlah yang sama atau membebaskan budak. Menurut Sayid Sabiq, ketiganya bisa dipilih sesuai dengan keinginan yang akan menunaikannya. Bila tidak mampu juga maka Alloh memberikan keringanan dengan shoum tiga hari. Hal ini terangkum dalam firman Alloh :

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ الله باللَّغْوِ فِى أيْماَنِكُمْ وَلكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِماَ عَقَّدْتُمُ الأَيْماَنَ فَكَفَّارَتُهُ إطْعاَمُ عَشَرَة مَسَاكِيْنَ مِنْ أوْسَطِ ماَتُطْعِمُوْنَ أهْلِيْكُمْ أوْ كِسْوَتُهُمْ أوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِياَمُ ثَلاَثَةِ أياَّمٍ ذَالِكَ كَفاَّرَةُ أيْماَنِكُمْ إذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوْا أيْماَنَكُمْ

3. Hukuman bagi pembunuh

Pembunuhan adalah kejahatan besar karena pelakunya telah melakukan kesalahan kepada tiga pihak. Yang pertama adalah Alloh karena dialah yang berhak menghidupkan dan mematikan. Pembunuhan berarti merampas hak Alloh. Yang kedua adalah ahli waris. Dengan pembunuhan, bisa saja seorang anak menjadi yatim dan istri menjadi janda. Kebahagiaan mereka hilang karena menimpa orang yang sangat mereka cintai. Yang ketiga kepada korban.

Tidak aneh bila Alloh menjadikan qishosh sebagai cara menyelesaikan kasus ini. Sungguh betapa berat hukuman ini. Akan tetapi kasih sayang Alloh menyebabkan sang pelaku dapat lolos dari ancaman yang menakutkan ini dengan cara membayar diyat bila ahli waris memaafkan sebagaimana firman Alloh :

يأيُّهاَ الَّذِيْنَ امَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصاَصُ فِى الْقَتْلَى .... فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أخِيْهِ شَيْئٌ فاتِّباَعٌ بالْمَعْرُوْفِ وَأدَاءٌ إلَيْهِ بِإِحْساَنٍ ذَالِكَ تَخْفِيْفٌ مِنْ رَبٍِّكُمْ وَرَحْمَةٌ

Ayat ini selaras dengan hadits di bawah ini :

َعَنْ أَبِي بَكْرٍ بْنِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَمْرِوِ بْنِ حَزْمٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَتَبَ إِلَى أَهْلِ اَلْيَمَنِ فَذَكَرَ اَلْحَدِيثَ, وَفِيهِ: ( أَنَّ مَنْ اِعْتَبَطَ مُؤْمِنًا قَتْلاً عَنْ بَيِّنَةٍ, فَإِنَّهُ قَوَدٌ, إِلَّا أَنْ يَرْضَى أَوْلِيَاءُ اَلْمَقْتُولِ, وَإِنَّ فِي اَلنَّفْسِ اَلدِّيَةَ مِائَةً مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي اَلْأَنْفِ إِذَا أُوعِبَ جَدْعُهُ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَللِّسَانِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلشَّفَتَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلذِّكْرِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلْبَيْضَتَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلصُّلْبِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلْعَيْنَيْنِ اَلدِّيَةُ, وَفِي اَلرِّجْلِ اَلْوَاحِدَةِ نِصْفُ اَلدِّيَةِ, وَفِي الْمَأْمُومَةِ ثُلُثُ اَلدِّيَةِ, وَفِي اَلْجَائِفَةِ ثُلُثُ اَلدِّيَةِ, وَفِي اَلْمُنَقِّلَةِ خَمْسَ عَشْرَةَ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي كُلِّ إِصْبَعٍ مِنْ أَصَابِعِ اَلْيَدِ وَالرِّجْلِ عَشْرٌ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَفِي اَلسِّنِّ خَمْسٌ مِنْ اَلْإِبِلِ وَفِي اَلْمُوضِحَةِ خَمْسٌ مِنْ اَلْإِبِلِ, وَإِنَّ اَلرَّجُلَ يُقْتَلُ بِالْمَرْأَةِ, وَعَلَى أَهْلِ اَلذَّهَبِ أَلْفُ دِينَارٍ ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي اَلْمَرَاسِيلِ وَالنَّسَائِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَأَحْمَدُ, وَاخْتَلَفُوا فِي صِحَّتِهِ

Dari Abu Bakar Ibnu Muhammad Ibnu Amar Ibnu Hazem, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman -dan dalam hadits itu disebutkan- "Bahwa barangsiapa yang secara nyata membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka ia harus dibunuh, kecuali ahli waris yang terbunuh rela; diyat (denda) membunuh jiwa ialah seratus unta; hidung yang dipotong habis ada diyatnya ; dua buah mata ada diyatnya; lidah ada diyatnya; dua buah bibir ada diyatnya; kemaluan ada diyatnya; dua biji penis ada diyatnya; tulang belakang ada diyatnya; kaki sebelah diyatnya setengah; ubun-ubun diyatnya sepertiga; luka yang mendalam diyatnya sepertiga; pukulan yang menggeser tulang diyatnya lima belas unta; setiap jari-jari tangan dan kaki diyatnya sepuluh unta; gigi diyatnya lima unta; luka hingga tulangnya tampak diyatnya lima unta; laki-laki yang dibunuh karena membunuh seorang perempuan, bagi orang yang biasa menggunakan emas dapat membayar seribu dinar." Riwayat Abu Dawud dalam hadits-hadits mursal, Nasa'i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu al-Jarud, Ibnu Hibban, dan Ahmad. Mereka berselisih tentang shahih tidaknya hadits tersebut.

Kifarot meninggalkan wajib haji atau pelanggaran dalam manasik
Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Alqohthoni menerangkan tentang macam-macam pelanggaran dan penebusnya :

• Membayar fidyah karena mencabut rambut, memotong kuku, menutupi kepala bagi kaum laki-laki, mengenakan baju yang berjahit, memakai kaos tangan, wanita yang berniqob (penutup muka) dan memakai minyak wangi

Pelanggaran seperti di atas menyebabkan pelakunya dikenakan hukuman berupa menyembelih kambing yang dibagikan bagi orang fakir yang ada di tanah harom atau membagikan makanan kepada sepuluh orang fakir masing-masing setengah sho’ atau shoum tiga hari.

• Melakukan persetubuhan yang menyebabkan wajibnya mandi. Bila persetubuhan dilakukan sebelum tahallul awal maka hajinya dinyatakan rusak dan wajib baginya menyembelih onta yang dibagikan kepada penduduk Mekah Almukarromah, selanjutnya ia harus menyempurnakan manasiknya.
Adapun bila persetubuhan terjadi setelah tahallul awal maka hajinya dinyatakan syah akan tetapi ia dikenakan kewajiban untuk menyembelih seekor kambing

• Dosa bagi yang berburu, bisa saja ia menyembelih binatang yang serupa lalu membagikannya kepada penduduk Mekah yang fakir atau menakar harga binatang lalu dikeluarkan berupa makanan bagi orang miskin dimana masing-masing orang mendapat setengah sho’ atau ia menunaikan shoum sebagai pengganti memberi makan dimana satu orang miskin dinilai sehari shoum.

• Percumbuan yang didadasari syahwat tanpa melakukannya di farji seperti ciuman, beradu paha, menyentuh dan lainnya baik keluar air mani atau tidak maka ia dinilai telah melakukan pelanggaran ihrom. Hajinya tetap dinilai syah akan tetapi ia harus beristighfar. Sebagian ulama ada yang berpendapat agar yang bersangkutan menyembelih kambing atau memberi makan kepada enam orang fakir dengan kadar setengah sho’ bagi tiap-tiap penerima atau atau shoum tiga hari. Demi kehati-hatian, menyembelih kambing jauh lebih baik.

maroji' :

Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi hal 429
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 3/116
Mursyidul Mu’tamir Walhajj Wazzaair, Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Alqohthoni hal 60-67

macam-macam rukhshoh (4)

Pelaksanaan Ibadah dengan diganti ibadah lain

Tayamum ( orang sakit, tidak menemukan air dan jenazah wanita di sekeliling kaum laki-laki yang bukan mahromnya)

وَ إنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أوْ علَى سَفَرٍ أوْجاَءَ أحَدٌ مِنْكُمْ منَ الْغاَئِطِ أوْ لاَمَسْتُمُ النِّساَءَ فَلَمْ تَجِدُوْا ماَءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْداً طَيِّباً

Jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau seorang di antara kalian pulang dari buang air atau bersetubuh dengan wanita lalu tidak mendapatkan air maka bertayamumlah dengan tanah yang baik

Mengusap sepatu bagian atas

Bagi seorang musafir, peserta outbond dan para mujahid, memakai dan melepas sepatu adalah pekerjaan yang terkadang merepotkan. Di sisi lain sholat tidak boleh ditinggalkan. Sementara sholat tidak mungkin dipisahkan oleh wudlu. Di sinilah islam memberikan kemudahan. Di saat akan membasuh kaki cukup mengusap sepatu bagian atas sehingga sepatu tidak perlu dilepas :

عَنْ اَلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى اَلْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ

Dari Mughirah Ibnu Syu'bah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berwudlu lalu beliau mengusap ubun-ubunnya bagian atas sorbannya dan kedua sepatunya. [HR Muslim]

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : barangsiapa yang mentadaburi syariat islam dan menetapkan qiyas dengan benar maka ia akan mengetahui bahwa rukhshoh dalam masalah ini sangatlah luas. Pembolehan mengusap sepatu bagian atas termasuk keindahan islam dan wujud toleransinya. Ini juga merupakan bukti bahwa islam mencabut kesulitan dari umatnya ……
Membuat garis sebagai sutroh dalam sholat di saat tidak ditemukan tombak dan lainnya untuk ditancapkan

َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ ) أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَلَمْ يُصِبْ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُضْطَرِبٌ بَلْ هُوَ حَسَنٌ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Apabila seseorang di antara kamu sholat hendaklah ia membuat sesuatu di depannya jika ia tidak mendapatkan hendaknya ia menancapkan tongkat jika tidak memungkinkan hendaknya ia membuat garis namun hal itu tidak mengganggu orang yang lewat di depannya. Dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ini hasan dan tidak benar jika orang menganggapnya hadits mudltorib.

Maroji’ :
Fiqh sunnah, Sayid Sabiq 1/67 dan 434
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam bab almashu alal khuffain

macam rukhshoh (3)

Pelaksanaan ibadah dengan cara diganti oleh orang lain

1. Manasik haji

وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; قَالَ: ( كَانَ اَلْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَجَاءَتِ اِمْرَأَةٌ مَنْ خَثْعَمَ، فَجَعَلَ اَلْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَجَعَلَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَصْرِفُ وَجْهَ اَلْفَضْلِ إِلَى اَلشِّقِّ اَلْآخَرِ. فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ, إِنَّ فَرِيضَةَ اَللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي اَلْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا, لَا يَثْبُتُ عَلَى اَلرَّاحِلَةِ, أَفَأَحُجُّ عَنْهُ ? قَالَ: نَعَمْ وَذَلِكَ فِي حَجَّةِ اَلْوَدَاعِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu berkata: Adalah al-Fadl Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu duduk di belakang Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu seorang perempuan dari Kats'am datang. Kemudian mereka saling pandang. Lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memalingkan muka al-Fadl ini ke arah lain. Perempuan itu kemudian berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya haji yang diwajibkan Allah atas hamba-Nya itu turun ketika ayahku sudah tua bangka, tidak mampu duduk di atas kendaraan. Bolehkah aku berhaji untuknya? Beliau menjawab: "Ya Boleh." Ini terjadi pada waktu haji wada'. [Muttafaq Alaihi]

َوَعَنْهُ: ( أَنَّ اِمْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ, فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ, أَفَأَحُجُّ عَنْهَا? قَالَ: نَعَمْ , حُجِّي عَنْهَا, أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ, أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ ? اِقْضُوا اَللَّهَ, فَاَللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji, dia belum berhaji lalu meninggal, apakah aku harus berhaji untuknya? Beliau bersabda: "Ya, berhajilah untuknya. Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu menanggung hutang, tidakkah engkau yang membayarnya? Bayarlah pada Allah, karena Allah lebih berhak untuk ditepati." [HR Bukhori]

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : siapa yang tidak mampu menunaikan ibadah haji dengan badannya maka tidak dituntut untuk menunaikannya sendiri, cukup bagi dirinya diwakilkan oleh orang lain. Hal ini berlaku bagi yang memiliki kecukupan harta. Adapun yang tidak cukup hartanya maka tidak diwajibkan niyabah (diwakilkan) atasnya sebagaimana firman Alloh :
Niyabah juga berlaku pada sebagian manasik haji semisal melempar jumroh. Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Alqohthoni berkata : bagi yang tidak mampu melempar jumroh seperti orang tua, orang sakit, anak kecil dan wanita hamil maka diperbolehkan baginya untuk minta diwakilkan oleh orang lain sebagaimana firman Alloh : maka bertaqwalah kepada Alloh sesuai kemampuanmu. Mereka ini tidak mampu berada di tengah lautan manusia yang berada di jamarot (tempat pelemparan batu) sementara waktu melempar sangat terbatas dan tidak ada waktu qodlo’ hingga diperbolehkan bagi mereka untuk diganti oleh orang lain, berbeda dengan ibadah selain manasik haji.

2. Hutang

Adakalanya seseorang yang tidak mampu membayar hutangnya, pembayaran itupun ditanggung oleh temannya. Masalah ini disebut dalam kitab fiqih sebagai dolman sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :

وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: ( تُوُفِّيَ رَجُلٌ مِنَّا, فَغَسَّلْنَاهُ, وَحَنَّطْنَاهُ, وَكَفَّنَّاهُ, ثُمَّ أَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقُلْنَا: تُصَلِّي عَلَيْهِ ? فَخَطَا خُطًى, ثُمَّ قَالَ: أَعَلَيْهِ دَيْنٌ ? قُلْنَا: دِينَارَانِ، فَانْصَرَفَ, فَتَحَمَّلَهُمَا أَبُو قَتَادَةَ، فَأَتَيْنَاهُ, فَقَالَ أَبُو قَتَادَةَ: اَلدِّينَارَانِ عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أُحِقَّ اَلْغَرِيمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَا اَلْمَيِّتُ? قَالَ: نَعَمْ, فَصَلَّى عَلَيْهِ

Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami memandikannya, menutupinya dengan kapas, dan mengkafaninya. Kemudian kami mendatangi Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan kami tanyakan: Apakah baginda akan menyolatkannya ?. Beliau melangkan beberapa langkah kemudian bertanya: "Apakah ia mempunyai hutang ?". Kami menjawab: Dua dinar. Lalu beliau kembali. Maka Abu Qotadah menanggung hutang tersebut. Ketika kami mendatanginya; Abu Qotadah berkata: Dua dinar itu menjadi tanggunganku. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : "Betul-betul engkau tanggung dan mayit itu terbebas darinya." Ia menjawab: Ya. Maka beliau menyolatkannya. Riwayat [HR Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i]

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ اَلْمُتَوَفَّى عَلَيْهِ اَلدَّيْنُ, فَيَسْأَلُ: هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ مِنْ قَضَاءٍ? فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى عَلَيْهِ, وَإِلَّا قَالَ: صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَلَمَّا فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْفُتُوحَ قَالَ: أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ, فَمَنْ تُوُفِّيَ, وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِوَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ: ( فَمَنْ مَاتَ وَلَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً
)
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila didatangkan kepada beliau orang meninggal yang menanggung hutang, beliau bertanya : "Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya ?". Jika dikatakan bahwa ia meninggalkan sesuatu untuk melunasi hutangnya, beliau menyolatkannya. Jika tidak, beliau bersabda : "Sholatlah atas temanmu ini." Tatkala Allah telahg memberikan beberapa kemenangan kepadanya, beliau bersabda : "Aku lebih berhak pada kaum mukminin daripada diri mereka sendiri. Maka barangsiapa meninggal dan ia memiliki hutang, akulah yang melunasinya." Muttafaq Alaihi. Menurut suatu riwayat Bukhari : "Maka barangsiapa mati dan tidak meninggalkan harta pelunasan....".
Dua hadits di atas menerangkan bahwa ketidakmampuan orang yang berhutang untuk melunasi kewajibannya bisa diwakilkan oleh dua pihak : yang pertama dipenuhi oleh seseorang secara individu sebagai wujud ta’awun (saling tolong sesama muslim) hal ini dilakukan oleh Abu Tholhah. Yang kedua dipenuhi oleh pemerintah sebagai pemimpin dari rakyatnya, hal ini dicontohkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam di hadapan umatnya pada saat fathu Mekah.
Barangkali ada yang mempertanyakan, jika rosululloh shollallohu alaihi wasallam sebagai pemimpin menanggung hutang umatnya, apakah itu berlaku bagi para umaro’ sepeninggalan beliau ? Imam Shon’ani termasuk di antara ulama yang berpendapat demikian sebagaimana yang beliau tuturkan dalam subulussalam menytir perkataan Ibnu Bathol : demikianlah seharusnya bagi pemimpin yang mengurusi perkara umat islam bertanggung jawab untuk menanggung hutang orang mati yang menunggak pembayaran hutang. Bila itu tidak dilakukan maka dosa ditanggung oleh sang pemimpin, sebagaimana hadits yang dituturkan oleh Rofi’i : ada yang bertanya kepada beliau “ ya rosulalloh, apakah itu berlaku bagi para pemimpin sesudah engkau ? Beliau menjawab : atas pemimpin sepeninggalanku “
Sementara Syaikh Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh mencontohkan pembayaran hutang oleh pemerintah dalam kasus diyat (denda) pada pembunuhan sengaja (qotlul ‘amdi) atau pembunuhan tidak sengaja (qotlul khotho’/ syibhul ‘amdi) dan pembunuhan yang tidak diketahui pelakunya (qosamah). Maka penyelesaiannya dengan mengeluarkan dana dari baitul mal.

3. Jihad di saat uzur

وعن أنس رَضِيِ اللَّهُ عَنْهُ أن فتى من أسلم قال : يا رَسُول اللَّهِ إني أريد الغزو وليس معي ما أتجهز به ؟ قال: ائت فلاناً فإنه قد كان تجهز فمرض. فأتاه فقال : إن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يقرئك السلام ويقول: أعطني الذي تجهزت به. فقال: يا فلانة أعطيه الذي تجهزت به، ولا تحبسي منه شيئاً، فوالله لا تحبسي منه شيئاً فيبارك لك فيه رَوَاهُ مُسْلِمٌ
.
Dari Anas bin Malik, bahwa seorang pemuda dari suku Aslam berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya ingin ikut berperang, namun saya tidak memiliki perlengkapan. " Beliau bersabda : "Datangilah si fulan, sebab dia telah mempersiapkan perlengkapannya namun dia jatuh sakit. " Maka datanglah pemuda itu kepada Fulan seraya berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim salam untuk anda, dan menyuruh anda memberikan perlengkapan anda kepadaku. " Lalu orang yang sakit itu berkata, "Wahai fulanah, berikanlah perlengkapan yang telah aku persiapkan kepadanya, dan jangan sampai ada yang ketinggalan satu pun. Demi Allah, jangan sampai ada yang ketinggalan satupun! Semoga Allah memberikan berkah kepadamu karenanya. " [HR Muslim]

Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin berkata : hadits ini merupakan dalil bahwa barangsiapa yang sudah meniatkan amal sholih lalu tertahan oleh sakit maka seyogyanya untuk menyerahkannya kepada orang yang mampu mengembannya hingga ditulis baginya pahala yang sempurna.

4. Penyembelihan hewan kurban

Idealnya seorang yang berkorban dialah yang menyembelih sebagaimana rosululloh shollallohu alaihi wasallam melakukannya. Akan tetapi bila tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pemotongan maka bisa diserahkan kepada jazar (tukang potong) sebagaimana disebut dalam hadits :

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رضي الله عنه قَالَ: ( أَمَرَنِي اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنَّ أَقْوَمَ عَلَى بُدْنِهِ, وَأَنْ أُقَسِّمَ لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا عَلَى اَلْمَسَاكِينِ, وَلَا أُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئاً ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Ali Ibnu Abu Thalib Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kepadaku untuk mengurusi kurban-kurbannya; membagi-bagikan daging, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun dari kurban kepada penyembelihnya. [Muttafaq Alaihi]

Maroji’ :

Mursyidul Mu’tamir wal hajj wazzaair, Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Alqohthoni hal 128
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 2/648, 3/293
Subulussalam, Imam Shon’ani 4/63
Syarh riyadlush sholihin 1/466

macam-macam rukhshoh (2)

Penundaan pelaksanaan ibadah

1. Menunda sholat karena lapar atau sakit

عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : ( لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
)
Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Tidak diperbolehkan sholat di depan hidangan makanan dan tidak diperbolehkan pula sholat orang yang menahan dua kotoran (muka dan belakang. [HR Muslim]

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : menahan perut sakit akibat ingin buang air atau lapar akan menghilangkan kekhusyuan dan hadirnya hati saat sholat. Padahal hadirnya hati adalah inti dari sholat, bila itu tidak ada maka itu adalah sekedar gerakan yang mendapat pahala akan tetapi pelakunya tidak mendapatkan kedudukan seorang mukmin yang beruntung dimana di dalam sholatnya senantiasa khusyu’.

Dari sini maka mendahulukan makan atau masuk ke wc lebih utama daripada melaksanakan sholat dalam keadaan tidak tenang. Tentunya dengan catatan jangan sampai kejadian ini merupakan kebiasaan harian

2. Mengakhirkan sholat karena istihadloh

Istihadloh adalah adalah darah yang keluar dari farji wanita yang berada di luar waktu siklus haidh. Nabi shollallohu alaihi wasallam menyebut sebagai gangguan dari setan. Darah haidh dan darah istihadloh berbeda warna, hal ini diketahui baik oleh kaum wanita. Islam memberi rukhshoh kepada penderita istihadloh dengan mengakhirkan sholat dzuhur dan mengajukan sholat ashar, demikian juga pelaksanaan sholat isya dan maghrib. Caranya melaksanakan sholat dzuhur hampir dekat dengan masuknya waktu sholat ashar sehingga di saat sholat dzuhur sudah ditunaikan maka waktu ashar tiba tidak lama setelah itu. Hal inilah yang disebut dengan aljam’u ash shuwari. Rukhshoh ini berdasar sebuah hadits yang dibawakan Hamnah binti Jahsyi :

وَعَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ: ( كُنْتُ أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيرَةً شَدِيدَةً فَأَتَيْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَسْتَفْتِيهِ فَقَالَ: إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنَ اَلشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةً ثُمَّ اِغْتَسِلِي فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ وَصُومِي وَصَلِّي فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُكَ وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ اَلنِّسَاءُ فَإِنْ قَوِيتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي اَلظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي اَلْعَصْرَ ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِينَ تَطْهُرِينَ وَتُصَلِّينَ اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرِ جَمِيعًا ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ اَلْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ اَلْعِشَاءِ ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ اَلصَّلَاتَيْنِ فَافْعَلِي. وَتَغْتَسِلِينَ مَعَ اَلصُّبْحِ وَتُصَلِّينَ. قَالَ: وَهُوَ أَعْجَبُ اَلْأَمْرَيْنِ إِلَيَّ

Hamnah binti Jahsy berkata: Aku pernah mengeluarkan darah penyakit (istihadlah) yang banyak sekali. Maka aku menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk meminta fatwanya. Beliau bersabda: Itu hanya gangguan dari setan. Maka anggaplah enam atau tujuh hari sebagai masa haidmu kemudian mandilah. Jika engkau telah bersih shalatlah 24 atau 23 hari berpuasa dan shalatlah karena hal itu cukup bagimu. Kerjakanlah seperti itu setiap bulan sebagaimana wanita-wanita yang haid. Jika engkau kuat untuk mengakhirkan shalat dhuhur dan mengawalkan shalat Ashar (maka kerjakanlah) kemudian engkau mandi ketika suci dan engkau shalat Dhuhur dan Ashar dengan jamak. Kemudian engkau mengakhirkan shalat maghrib dan mengawalkan shalat Isya' lalu engkau mandi pada waktu subuh dan shalatlah. Beliau bersabda: Inilah dua hal yang paling aku sukai. [HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Alhakim]

3. Menunda sholat id

Tidak menutup kemungkinan sholat id bisa dilaksanakan tanggal dua syawal bila ada sebab yang membolehkan, misalnya terlambatnya informasi munculnya hilal sebagaimana yang pernah terjadi di masa rosululloh shollallohu alaihi wasallam :

َوَعَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ, عَنْ عُمُومَةٍ لَهُ مِنَ اَلصَّحَابَةِ, ( أَنَّ رَكْبًا جَاءُوا, فَشَهِدُوا أَنَّهُمْ رَأَوُا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ, فَأَمَرَهُمْ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُفْطِرُوا, وَإِذَا أَصْبَحُوا يَغْدُوا إِلَى مُصَلَّاهُمْ
)
Dari Abu Umairah Ibnu Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu dari paman-pamannya di kalangan shahabat bahwa suatu kafilah telah datang, lalu mereka bersaksi bahwa kemarin mereka telah melihat hilal (bulan sabit tanggal satu), maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan mereka agar berbuka dan esoknya menuju tempat sholat mereka. [HR Ahmad dan Abu Daud]

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : berdasarkan hadits ini disimpulkan bahwa sholat id dinyatakan tidak hilang dengan berlalunya hari setelah matahari tergelincir, ia boleh dilaksanakan keesokan harinya pada waktunya

4. Mengakhirkan mandi junub

Syaikh Abu Malik berkata : diperbolehkan bagi orang yang tengah junub mengakhirkan mandi, tidak diwajibkan baginya mandi segera setelah junub meskipun bila ia bergegas mandi itu jauh lebih utama dan lebih suci.

Yang dilakukan orang yang junub adalah cebok dengan mencuci kemaluan, dilanjutkan dengan berwudlu baru kemudian tidur :

وعن عائشة رَضِيَ اللَّهُ عَنها قالت : كان رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يدركه الفجر وهو جنب من أهله ثم يغتسل ويصوم. مُتَّفّقٌ عَلَيهِ
.
Dari Aisyah rodliyallohu anha berkata : adalah rosululloh shollallohu alaihi wasallam mendapati waktu fajar sementara beliau masih junub karena persetubuhan dengan istrinya lalu beliau mandi dan meneruskan shoumnya [muttafaq alaih]

وعن عائشة رَضِيَ اللَّهُ عَنها وأم سلمة رَضِيَ اللَّهُ عَنها قالتا: كان رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم يصبح جنباً من غير حلم ثم يصوم مُتَّفّقٌ عَلَيهِ
.
Dari Aisyah dan Ummu Salamah rodliyallohu anha berkata : adalah rosululloh shollallohun alaihi wasallam mendapati waktu shubuh dalam keadaan masih junub bukan karena mimpi (melainkan persetubuhan), beliau tetap melanjutkan shoumnya [muttafaq alaih]

عَنْ عاَئِشَةَ رضي الله عنها كاَنَ رسول الله صلى الله عليه وسلم إذَا أرَادَ أنْ يَناَمَ وَهُوَ جُنُبٌ غَسَلَ فَرْجَهُ وَتَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ

Dari Aisyah rodliyallohu anha : adalah rosululloh shollallohu alaihi wasallam apabila hendak tidur sementara beliau sedang junub maka beliau mencuci kemaluannya lalu berwudlu seperti wudlu hendak sholat [HR Bukhori Muslim]

عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَرْقُدُ أَحَدُنَا وَهُوَ جُنُبٌ قَالَ نَعَمْ إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْقُدْ وَهُوَ جُنُبٌ

Dari Ibnu 'Umar bahwa 'Umar bin Al Khaththab bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, "Apakah boleh seorang dari kami tidur dalam keadaan dia junub ? " Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab : "Ya. Jika salah seorang dari kalian berwudlu, maka hendaklah ia tidur meskipun dalam keadaan junub"[HR Bukhori]

أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَهُ فِي بَعْضِ طَرِيقِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ جُنُبٌ فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ كُنْتُ جُنُبًا فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah berjumpa dengannya di salah satu jalan Madinah, sementara ia dalam keadaan junub. " Abu Hurairah berkata, 'Aku malu dan pergi diam-diam'. Abu Hurairah lalu pergi mandi dan kembali lagi setelah itu, beliau lalu bertanya : "Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah ? " Abu Hurairah menjawab : "Aku tadi junub. Dan aku tidak suka bersama Tuan sedang aku dalam keadaan tidak suci. " Beliau pun bersabda : "Subhaanallah! Sesungguhnya seorang Muslim itu tidak itu najis. " [HR Bukhori]

5. Penundaan pelaksanaan sholat dzuhur

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا اِشْتَدَّ اَلْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ فَإِنَّ شِدَّةَ اَلْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila panas sangat menyengat maka tunggulah waktu dingin untuk menunaikan shalat karena panas yang menyengat itu sebagian dari hembusan neraka jahannam." [Muttafaq Alaihi]

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menyimpulkan : Dianjurkan menunda pelaksanaan sholat dzuhur pada musim panas dengan cara mengakhirkan pelaksanaannya dari awal waktu hingga berkurang sengatan panasnya. Hikmah di dalamnya adalah membuat nyaman orang yang melaksanakan sholat.

6. Penundaan aqiqoh

Idealnya berdasarkan hadits shohih, pelaksanaan aqiqoh adalah pada hari ketujuh dari kelahiran bayi sebagaimana disabdakan oleh nabi shollallohu alaihi wasallam :

َوَعَنْ سَمُرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ, تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ, وَيُحْلَقُ, وَيُسَمَّى ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيّ

Dari Samurah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya; ia disembelih hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur, dan diberi nama." [HR Ahmad dan Tirmidzi]

Lalu bagaimana bila hari ketujuh ternyata kita belum memiliki rizki untuk melaksanakannya ? Dalam madzhab Hambali kita dapatkan pendapat bahwa pelaksanaannya bisa ditunda hingga hari ke empat belas atau hari keduapuluh satu, sementara dalam madzhab Syafi’i disebutkan penundaannya hingga usia sebelum baligh.

7. Pelaksanaan shoum saat safar

فَمَنْ كاَنَ مِنْكُمْ مَرِيْضاً أوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أياَّمٍ أخَرَ

Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. [albaqoroh : 184]

Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : karena masyaqqoh (beratnya kondisi yang dirasakan musafir dan orang sakit) secara umum, maka Alloh memberi keringanan kepada keduanya untuk menggantinya pada hari lain setelah sehat dan sepulangnya dari safar. Hal ini demi mewujudkan kemaslahatan shoum bagi orang beriman.

8. Pembayaran hutang

وَإِنْ كاَنَ ذُوْعُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إلَى مَيْسَرَة وَأنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [albaqoroh : 280]

Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : wajib hukumnya memberikan waktu tambahan kepada orang yang berhutang hingga dia mempunyai kemapuan untuk melunasi hutangnya

Maroji’ :

Taudhihul Ahkam, Abdulloh Abdurrohman Albassam 1/222-223, 348, 468, 2/225
Shohih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim 1/181, 2/383
Tafsir Kalim Arrohman fii tafsiiri kalaamil Mannan, Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 1/105 dan 156

macam-macam rukhshoh (1)

Mengajukan Pelaksanaan Ibadah

Ibadah dibangun di atas maslahat. Tidak ada satupun perintah dalam islam, demikian juga larangannya diberikan kecuali demi terwujudnya kebaikan bagi umatnya. Pelaksanaannyapun demikian. Perintah dilaksanakan dan larangan dihindari tentu dengan mempertimbangkan maslahat dan madlorotnya. Terkadang perintah bila dijalankan dengan segera atau ditunda, hasilnya lebih baik maka mewujudkannya adalah suatu kemestian.
Dalam fiqh ibadah maupun muamalah ada beberapa perintah yang islam memberikan kelonggaran dilaksanakannya sebelum waktu yang sudah ditentukan oleh syariat, di antaranya :

Pembayaran zakat

َوَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه أَنَّ اَلْعَبَّاسَ رضي الله عنه ( سَأَلَ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِي تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ, فَرَخَّصَ لَهُ فِي ذَلِكَ ) رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَالْحَاكِم
ُ
Dari Ali bahwa Abbas bertanya kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam penyegeraan pengeluaran zakat sebelum waktunya, lalu beliau mengizinkannya [HR Tirmidzi dan Hakim]

Ibnu Taimiyyah berkata : diperbolehkan mengajukan pembayaran zakat sebelum waktunya. Hal ini berlaku bagi zakat peternakan, mata uang (perhiasan : emas dan perak) dan perdagangan bila telah sampai nishob, demikian juga zakat pertanian dan buah-buahan bila telah munculnya buahnya meskipun belum nampak matang dan tumbuhnya pohon ketika belum muncul dengan jelas biji-bijiannya.

Tidak dianjurkan mengeluarkan zakat sebelum masanya kecuali didapati maslahat pada pelaksanaannya seperti kelaparan yang menimpa umat islam.

Manasik haji

Hal ini terjadi pada mabit di muzdalifah, dimana kaum wanita, anak-anak, orang tua dan orang sakit diperkenankan untuk bertolak dari Muzadalifah pada pertengahan malam untuk selanjutnya bertolak ke Mina.

Demikian juga beberapa manasik haji bisa diajukan demi maslahat sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ الْجَمْرَةِ وَهُوَ يُسْأَلُ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ نَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ قَالَ ارْمِ وَلَا حَرَجَ قَالَ آخَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ حَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَنْحَرَ قَالَ انْحَرْ وَلَا حَرَجَ فَمَا سُئِلَ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلَا أُخِّرَ إِلَّا قَالَ افْعَلْ وَلَا حَرَجَ

Dari 'Abdullah bin 'Amru berkata, "Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di sisi jumrah sedang ditanya. Seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah, aku menyembelih hewan sebelum aku melempar? " Beliau lalu bersabda : "Melemparlah sekarang, dan kau tidak dosa. " Kemudian datang orang lain dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah mencukur rambut sebelum aku menyembelih? " Beliau menjawab : "Sembelihlah sekarang, tidak kau tidak berdosa. " Dan tidaklah beliau ditanya tentang sesuatu yang dikerjakan lebih dahulu atau sesuatu yang diakhirkan dalam mengerjakannya kecuali menjawab : "Lakukanlah dan tidak dosa. [HR Bukhori, Muslim, Ahmad dan Darimi]

Sholat musafir

Seorang musafir diberi hak untuk mengqoshor sholat dan menjama’nya serta menunaikannya tidak pada waktunya. Bisa saja sholat ashar dikerjakan pada waktu dzuhur dengan cara menunaikan sholat dzuhur pada waktunya lalu dilanjutkan segera menunaikan sholat ashar. Demikian juga pelaksanaan sholat maghrib dan isya’. Sebagaimana nabi shollallohu alaihi wasallam melaksanakannya di Arofah dan Muzdalifah. Secara umum hadits di bawah ini member petunjuk kepada kita :

وَعَنْ أَنَسٍ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا اِرْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ اَلشَّمْسُ أَخَّرَ اَلظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ اَلْعَصْرِ, ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا, فَإِنْ زَاغَتْ اَلشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى اَلظُّهْرَ, ثُمَّ رَكِبَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةِ اَلْحَاكِمِ فِي "اَلْأَرْبَعِينَ" بِإِسْنَادِ اَلصَّحِيحِ: ( صَلَّى اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرَ, ثُمَّ رَكِبَ ) وَلِأَبِي نُعَيْمٍ فِي "مُسْتَخْرَجِ مُسْلِمٍ": ( كَانَ إِذَا كَانَ فِي سَفَرٍ, فَزَالَتْ اَلشَّمْسُ صَلَّى اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا, ثُمَّ اِرْتَحَلَ
)
Anas Radliyallaahu 'anhu berkata: Biasanya Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bila berangkat dalam bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan sholat Dhuhur hingga waktu Ashar. Kemudian beliau turun dan menjamak kedua sholat itu. Bila matahari telah tergelincir sebelum beliau pergi, beliau sholat Dhuhur dahulu kemudian naik kendaraan. Dalam suatu hadits riwayat Hakim dalam kitab al-Arba'in dengan sanad shahih : Beliau sholat Dhuhur dan Ashar kemudian naik kendaraan. Dalam riwayat Abu Nu'aim dalam kitab Mustakhroj Muslim: Bila beliau dalam perjalanan dan matahari telah tergelincir, beliau sholat Dhuhur dan Ashar dengan jamak, kemudian berangkat. [Muttafaq Alaihi].

Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : hadits ini menunjukkan tentang diperbolehkannya menjama’ dua sholat baik dengan jama’ taqdim atau jama’ ta’khir.

Maroji’ :

Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 2/153 dan 441
Fiqh sunnah, Sayyid Sabiq 1/289
Kaifa Yahujjul Muslim Waya’tamir, Syaikh Abdullohbin Muhammad bin Ahmad Ath Thoyyar hal 73
Mursyidul Mu’tamir Walhaj Wazzaair, Syaikh Sa’id bin Ali Wahf Alqohthoni hal hal 113

Akibat Mempermainkan Rukhshoh

Akibat Mempermainkan Rukhshoh

Alloh Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati manusia. Seorang bisa berdusta di hadapan manusia akan tetapi itu tidak mungkin ia lakukan terhadap Alloh.

Rukhshoh sering dipermainkan, maka Allohpun menyingkap hakekat jati diri mereka. Di bawah ini beberapa riwayat yang bisa kita jadikan renungan untuk tidak mempermainkan kemurahan Alloh :
Kasus Ja’d bin Qois dalam perang tabuk

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ ائْذَنْ لِي وَلاَ تَفْتِنِّي ألاَ فِى الْفِتْنَةِ سَقَطُوْا وَإنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيْطَةٌ بِالْكاَفِرِيْنَ

Di antara mereka ada orang yang berkata: "Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah." ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah. dan Sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir. [attaubah : 49]

Ibnu Katsir meriwayatkan asbabun nuzul ayat ini bahwa ketika rosululloh shollallohu alaihi wasallam mengajak umat islam berperang melawan bani Asfar pada perang Tabuk, Ja’d bin Qois berkata : ya rosulalloh perkenankan aku untuk tidak ikut berperang dan jangan jerumuskan aku ke dalam fitnah. Demi Alloh, kaumku sudah mengetahui bahwa tidak ada orang yang melebihi kesukaannya terhadap wanita daripada diriku. Aku khawatir, bila aku melihat wanita bani Ashfar aku tidak dapat menahan hasrat yang ada pada diriku. Rosulullohpun berpaling dari dirinya dan bersabda : aku ijinkan engkau, akhirnya turunlah ayat ini.

Sungguh alasan yang menakjubkan, maksud hati ingin ghodl dlul bashor (menjaga pandangan dari wanita) akan tetapi meninggalkan jihad dimana alasan itu hanya dibuat-buat untuk menghindari jihad hingga Alloh menyingkap rahasianya.

Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : maksud dari Ja’d (semoga Alloh memburukkannya) sebenarnya karena riya’ dan kemunafikan. Ja’d menerangkan kepada nabi shollallohu alaihi wasallam bahwa saya bermaksud baik, keluarku untuk jihad akan mengundang fitnah dan bahaya pada diriku. Dengan tidak ikut sertanya diriku berarti menjaga diriku dari perbuatan dosa. Allohpun menyangkanlnya dengan berfirman “ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah “ sesungguhnya bila ucapan orang ini jujur maka sebenarnya ketidak ikut sertaannya dalam jihad itu merupakan kerusakan yang besar dan fitnah dahsyat yang jelas. Itu merupakan maksiat terhadap Alloh dan rosulNya, keberanian untuk menerjang dosa besar. Adapun bila ia ikut keluar berperang maka sebenarnya mafsadatnya sangat kecil bila dibandingkan dengan absennya dalam tugas jihad.
Uwais bin Qoidzi dalam perang khondaq

وَإذْقاَلَتْ طاَئِفَةٌ مِنْهُمْ يأهْلَ يَثْرِبَ لاَمُقاَمَ لَكُمْ فَارْجِعُوْا وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيْقٌ مِنْهُمْ النَّبِيّ يَقُوْلُوْنَ إنَّ بُيُوْتَناَ عَوْرَةٌ وَماَهِيَ بِعَوْرَةٍ إنْ يُرِيْدُوْنَ إلاَّ فِرَارًا

Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: "Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagimu, Maka Kembalilah kamu". dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata : "Sesungguhnya rumah-rumah Kami terbuka (tidak ada penjaga)". dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanya hendak lari. [al ahzab : 13]

Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi berkata : mereka meminta izin untuk tidak berperang sehingga bisa pulang ke rumah mereka di kota Madinah dengan alasan rumah mereka terbuka di hadapan musuh sehingga terancam keamanan mereka padahal alasan itu hanya bertujuan untuk menghindari perang
Kasus orang yang berulangkali lupa makan di siang hari bulan romadlon
Lupa bagian dari udzur, artinya bila kesalahan dilakukan atas dasar lupa maka Alloh memaafkan pelakunya. Termasuk lupa makan di siang hari di bulan romadlon sebagaimana hadits di bawah ini :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa lupa bahwa ia sedang shaum, lalu ia makan dan minum, hendaknya ia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya ia telah diberi makan dan minum oleh Allah." [Muttafaq Alaihi]
Manakala lupa berulangkali, maka islam tidak memaklumi karena rukhshoh tidak Alloh berikan untuk dipermainkan sehingga Abdurrozaq yang dikutip oleh Imam Shon’ani meriwayatkan : bahwa ada seseorang datang kepada Abu Huroiroh dan berkata “ pagi ini aku shoum, aku lupa dan makan. Abu Huroiroh berkata : tidak mengapa. Ia berkata lagi : aku masuk menemui seseorang dan lupa lagi sehingga aku kembali makan. Abu Huroiroh berkata : engkau manusia yang belum pantas membiasakan diri untuk shoum “

Maroji’ :

Taisir Karim Arrohman, Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 1/529-530
Tafsir Alquran Al’adzim, Abu Fida Ibnu Katsir 2/441
Aisaruttafasir, Syaikh Abu bakar Jabir Aljazairi hal 1203
Subulussalam, Imam Shon’ani 2/161
Tafsir Jalalain, Al ‘Allamah Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Almahalli dan Al ‘Allamah Jalaluddin Abdurrohman bin Abi Bakr Assuyuthi hal 27

Jangan Mempermainkan Rukhshoh

Jangan Mempermainkan Rukhshoh

Rukhshoh adalah kemurahan Alloh sebagai bukti akan kasih sayangNya kepada hambaNya. Akan tetapi mempermainkan rukhshoh dengan cara memanfaatkannya tidak sesuai aturan berarti satu pengkhianatan kepada Alloh Yang Maha Kasih Sayang. Di bawah ini beberapa contoh pengambilan rukhshoh yang salah :

1. Menjamak sholat dan mengqoshornya serta meninggalkan shoum dalam safar untuk tujuan maksiat.

2. Memakan makanan yang haram melebihi porsi dari yang dibutuhkan.

3. Tidak sholat di masjid berjamaah karena merasa mulut bau.

4. Seorang dokter melihat aurot pasien melebihi dari kadar yang dibutuhkan.

5. Tidak berhenti meminta padahal kehidupannya sudah mencukupi.

6. Memakai sutra setelah penyakit gatal sudah sembuh.

7. Seorang da’i di sebuah daerah yang mengambil qoshor dan jama’ di daerah yang menjadi obyek dakwahnya dengan alasan bahwa ia musafir, sementara ia meninggalkan umat dalam sholat berjamaah.

Oleh karena itu maka kaedah ushul fiqh berkata :

ما أبيح للضّرورة يقدّر بقدرها

Apa saja yang diperbolehkan karena alasan darurat, harus diukur sesuai dengan aturan yang benar

الرخص لا تناط بالمعاصى

Rukhshoh tidak boleh tunduk pada maksiat

Maroji’ : mabaadi’ awwaliyyah, Abdul Hamid Hakim hal 33 da 43

Hukum Mengambil Rukhshoh

Hukum Mengambil Rukhshoh

Status rukhshoh bisa berbeda-beda tergantung dari kasus yang dihadapi seseorang sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing individu. Tidak semua orang harus dipukul rata, diseragamkan agar sama karena masing-masing manusia memiliki kemapuan berbeda.

Syaikh Sulaiman Al Asyqor membagi menjadi empat hukum :

1. Wajib

Seperti makan bangkai di saat kondisi mendesak

2. Mustahab (dianjurkan, sunnah)

Mengqoshor sholat dan berbuka ketika berada dalam perjalanan

3. Mubah

Jual beli ariyah dimana ia bagian dari pengecualian keharaman riba

4. Makruh

Menjama’ dua sholat ketika kondisi sulit dimana meninggalkannya adalah lebih baik.

َوَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ عَامَ اَلْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ, فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ, فَصَامَ اَلنَّاسُ, ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ, حَتَّى نَظَرَ اَلنَّاسُ إِلَيْهِ, ثُمَّ شَرِبَ, فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ: إِنَّ بَعْضَ اَلنَّاسِ قَدْ صَامَ. قَالَ: أُولَئِكَ اَلْعُصَاةُ, أُولَئِكَ اَلْعُصَاةُ ) َوَفِي لَفْظٍ: ( فَقِيلَ لَهُ: إِنَّ اَلنَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمُ اَلصِّيَامُ, وَإِنَّمَا يَنْظُرُونَ فِيمَا فَعَلْتَ، فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ بَعْدَ اَلْعَصْرِ، فَشَرِبَ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam keluar pada tahun penaklukan kota Mekah di bulan Ramadhan. Beliau shaum, hingga ketika sampai di kampung Kura' al-Ghomam orang-orang ikut shaum. Kemudian beliau meminta sekendi air, lalu mengangkatnya, sehingga orang-orang melihatnya dan beliau meminumnya. Kemudian seseorang bertanya kepada beliau bahwa sebagian orang telah shaum. Beliau bersabda: "Mereka itu durhaka, mereka itu durhaka." Dalam suatu lafadz hadits shahih ada seseorang berkata pada beliau: Orang-orang merasa berat shaum dan sesungguhnya mereka menunggu apa yang baginda perbuat. Lalu setelah Ashar beliau meminta sekendi air dan meminumnya. [HR Muslim]

َوَعَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيِّ رِضَى اَللَّهُ عَنْهُ; أَنَّهُ قَالَ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ! أَجِدُ بِي قُوَّةً عَلَى اَلصِّيَامِ فِي اَلسَّفَرِ, فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ? فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم هِيَ رُخْصَةٌ مِنَ اَللَّهِ, فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ, وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ
)
Dari Hamzah Ibnu Amar al-Islamy Radliyallaahu 'anhu bahwa dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku kuat shaum dalam perjalanan, apakah aku berdosa? Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ia adalah keringanan dari Allah, barangsiapa yang mengambil keringanan itu maka hal itu baik dan barangsiapa senang untuk shaum, maka ia tidak berdosa [HR Bukhari-Muslim]

Maroji’ :

Alwaadlih Fii Ushuulil Fiqh, Syaikh Sulaiman Al Asyqor hal 48
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam

Makna Rukhshoh

Makna Rukhshoh

Secara bahasa : التّسهيل فى الأمر
(mempermudah urusan)

Secara Syar’i : ما ثبت على خلاف دليل شرعىّ لمعارض راجح

Apa saja yang ditetapkan oleh sesuatu yang berbeda dengan hukum syar’i dikarenakan oleh sesuatu yang kuat

Misalnya : idealnya sholat dikerjakan dengan berdiri, tiba-tiba dikerjakan dengan duduk (padahal sholat dengan duduk menyelesihi dalil syar’i), akan tetapi karena sakit yang menyebabkan ia tidak mampu berdiri maka sholat dengan duduk diperbolehkan.

Rukhshoh selaras dengan kaedah ushul fiqh. Di antaranya :

الضّرورة تبيح المحضورات

Keadaan darurat membolehkan melanggar larangan
Misalnya karena lapar sementara tidak ada makanan kecuali yang diharamkan maka memakan yang diharamkan diperbolehkan karena kondisi yang mendesak dimana bila tidak memakannya akan menyebabkan kematin

المشقّة تجلب التيسير

Kesulitan mendatangkan kemudahan
Misalnya karena gosok gigi setiap sholat akan menyulitkan umatnya maka rosululloh shollallohu alaihi wasallam tidak jadi mewajibkannya

Maroji’ :

Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 1/190

Mempersulit diri adalah sikap tercela

Mempersulit diri adalah sikap tercela

Menempuh jalan sulit sementara kemudahan ada di depan mata adalah sikap yang aneh. Ia bertentangan dengan fitroh. Oleh karena itu beberapa kali nabi shollallohu alaihi wasallam memberi teguran kepada para sahabat yang terlalu memaksa diri dalam melaksanakan ketaatan. Imam Nawawi merangkumnya dalam kitab riyadlush sholihin dalam bab al iqtishod fith tho’ah ( sikap sederhana dalam melaksanakan ketaatan) di antaranya :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَقَالَ مَا هَذَا الْحَبْلُ قَالُوا هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حُلُّوهُ لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ

Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu berkata : "Pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masuk (ke masjid), kemudian Beliau mendapati tali yang diikatkan dua tiang. Kemudian Beliau berkata : "Apa ini ? " Orang-orang menjawab : "Tali ini milik Zainab, bila dia shalat dengan berdiri lalu merasa letih, dia berpegangan tali tersebut". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Jangan ia lakukan sedemikian itu. Hendaklah seseorang dari kalian tekun dalam ibadah shalatnya dan apabila dia merasa letih, shalatlah sambil duduk [HR Bukhori Muslim]

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَتْ عِنْدِي امْرَأَةٌ مِنْ بَنِي أَسَدٍ فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قُلْتُ فُلَانَةُ لَا تَنَامُ بِاللَّيْلِ فَذُكِرَ مِنْ صَلَاتِهَا فَقَالَ مَهْ عَلَيْكُمْ مَا تُطِيقُونَ مِنْ الْأَعْمَالِ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا

Dari 'Aisyah radliallahu 'anhu berkata : Suatu hari seorang wanita dari Bani Asad bersamaku saat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatangiku. Lalu Beliau bertanya : "Siapa dia ? " Aku jawab : Si anu, orang yang tidak tidur di waktu malam. Lantas diberitakan kepada Beliau tentang shalat wanita tersebut. Kemudian Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Celakalah kalian, mengapa kalian memaksakan amalan yang kalian tidak mampu ? Sungguh Allah tidak bosan (memberi ganjaran) hingga kalian merasa bosan sendiri (jika terlalu memaksakan diri).[HR Bukhori Muslim]

عَنْ أَنَس بْن مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Dari nas bin Malik radliallahu 'anhu berkata; Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang ? " Salah seorang dari mereka berkata, Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya. " Kemudian yang lain berkata, "Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka. " Dan yang lain lagi berkata, Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya : Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku [HR Bukhori Muslim]

عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا فَقَالَ كُلْ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ قَالَ فَأَكَلَ فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ قَالَ نَمْ فَنَامَ ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ فَقَالَ نَمْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمْ الْآنَ فَصَلَّيَا فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ سَلْمَانُ

Dari 'Aun bin Abu Juhaifah dari bapaknya berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mempersaudarakan Salman dan Abu Darda'. Suatu hari Salman mengunjungi Abu Darda', lalu ia melihat Ummu Darda' dengan baju yang kumuh, lalu ia berkata, kepadanya; "Ada apa denganmu ? " Dia menjawab : Saudaramu Abu Darda', dia tidak memperhatikan kebutuhan dunia". Kemudian Abu Darda' datang, lalu ia membuat makanan untuk Salman. Salman berkata kepada Abu Darda' : "Makanlah ! ". Abu Darda' menjawab : "Aku sedang berpuasa". Salman berkata : "Aku tidak akan makan hingga engkau makan". Dia berkata : "Lalu Abu Darda' ikut makan". Pada malam hari Abu Darda' bangun, lalu Salman berkata : "Teruskanlah tidur". Maka iapun tidur lalu bangun lagi, lalu Salman berkata : "Teruskanlah tidur". Maka iapun tidur lagi. Pada akhir malam Salman berkata : "Sekarang bangunlah". Kemudian mereka berdua shalat malam". Lalu Salman berkata kepada Abu Darda' :"Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atasmu, dan jiwamu mempunyai hak atasmu, dan isterimu mempunyai hak atasmu, maka berilah setiap hak kepada orang yang berhak". Kemudian Abu Darda' menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu ia menceritakan hal itu. Maka Beliau bersabda : " Salman benar [HR Bukhori]

عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ سَمِعْتُ عَطَاءً أَنَّ أَبَا الْعَبَّاسِ الشَّاعِرَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا بَلَغَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَسْرُدُ الصَّوْمَ وَأُصَلِّي اللَّيْلَ فَإِمَّا أَرْسَلَ إِلَيَّ وَإِمَّا لَقِيتُهُ فَقَالَ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ وَلَا تُفْطِرُ وَتُصَلِّي فَصُمْ وَأَفْطِرْ وَقُمْ وَنَمْ فَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَإِنَّ لِنَفْسِكَ وَأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَظًّا قَالَ إِنِّي لَأَقْوَى لِذَلِكَ قَالَ فَصُمْ صِيَامَ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ وَكَيْفَ قَالَ كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا وَلَا يَفِرُّ إِذَا لَاقَى قَالَ مَنْ لِي بِهَذِهِ يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَالَ عَطَاءٌ لَا أَدْرِي كَيْفَ ذَكَرَ صِيَامَ الْأَبَدِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَامَ مَنْ صَامَ الْأَبَدَ مَرَّتَيْنِ

Dari Abu Juraij aku mendengar 'Atho' bahwa Abu Al 'Abbas Asy-Sya'ir mengabarkan kepadanya bahwa dia mendengar 'Abdullah bin 'Amru radliallahu 'anhuma (berkata,); Telah sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berita tentang aku bahwa aku akan terus berpuasa dan shalat malam. Aku tak ingat lagi, apakah kemudian beliau mengutus utusan atau aku menemui beliau, dan Beliau berkata : "Apakah benar kabar bahwa kamu akan berpuasa tidak akan berbuka dan shalat malam (tanpa tidur) ? Puasa dan berbukalah, shalat dan juga tidurlah. Karena bagi matamu ada bagian hak atasmu dan bagi dirimu dan keluargamu ada bagian hak atasmu". 'Abdullah bin 'Amru radliallahu 'anhuma berkata : "Sungguh aku lebih kuat dari (amal amal) itu". Beliau berkata : "Kalau begitu puasalah dengan puasanya Nabi Daud Alaihissalam". Dia bertanya : "Bagaimana caranya". Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menawab : "Nabi Daud 'Alaihissalam berpuasa sehari dan berbuka sehari sehingga dia tidak akan kabur ketika berjumpa dengan musuh". Dia berkata : "Lalu Siapa teladan bagi diriku dalam masalah puasa sepanjang jaman ini wahai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Allah ? 'Atho' berkata : Aku tidak tahu bagaimana dia menyebutkan puasa abadi (sepanjang hidup), karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Tidak dianggap puasa bagi siapa yang puasa abadi". Beliau mengucapkannya dua kali. [HR Bukhori]

Syaikh Mushthofa Albugho (merangkum hadits di atas) berkata :

1. Dimakruhkan memperbanyak ibadah yang dikhawatirkan akan menimbulkan kebosanan

2. Sikap keseimbangan dalam menunaikan ibadah

3. Amal yang paling banyak pahalanya adalah yang kontinyu meski sedikit

4. Perintah untuk kontinyu dalam ibadah yang sedikit dengan berdzikir, muroqobah (merasa diawasi), ikhlas dan menghadap Alloh.

5. Sedikit yang kontinyu lebih baik dari banyak yang akhirnya terputus

6. Memenuhi kebutuhan pribadi yang bersifat mubah akan menghasilkan pahala bila diniatkan untuk menopang kekuatan dalam beribadah

Maroji’ :

Riyadlush sholihin, Imam Nawawi bab iqtishoh fith tho’ah
Nuzhatul muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho 1/135

Islam agama yang mudah

Islam agama yang mudah

Islam adalah agama yang mudah bukan sulit, memberikan kelapangan bukan kesempitan, penuh dengan toleransi jauh dari pemaksaan, sebagai bukti akan kasih sayang Alloh kepada hambaNya. Beberapa ayat di bawah ini memberi bukti kepada kita akan keindahan syariat islam :

يُرِيْدُ الله أنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الإِنْساَنُ ضَعِيْفاً

Allah hendak memberikan keringanan kepada kamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah [annisa : 28]
Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : Alloh memberi kemudahan di saat menurunkan perintah dan larangan kepada kalian, lalu dengan munculnya masyaqqoh (kesulitan) dalam beberapa syariat, Alloh membolehkan pemenuhan kebutuhan kalian seperti makan darah dan bangkai di saat kondisi mendesak dan pembolehan menikahi budak wanita dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Yang demikian itu merupakan bukti kasih sayangNya yang sempurna, kebaikanNya yang menyeluruh dan luasNya ilmu akan lemahnya hamba dari berbagai segi. Lemah susunan tubuhnya, lemah irodah (kehendak), lemah ‘azimah, lemah iman, lemah kesabaran sehingga Alloh menyesuaikannya dengan memberikan keringanan akan ketidak mampuan iman, kesabaran dan kekuatannya

وَماَ جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِّنْ حَرَجٍ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan [alhaj : 78]

Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi berkata : inilah karunia yang Alloh ingatkan kepada orang beriman agar bersyukur kepadaNya, dimana Alloh tidak mempersulit kalian dalam menjalankan perintahNya. Justru Alloh member keleluasaan sehingga Alloh jadikan taubat sebagai penebus dosa demikian juga dengan kifarot dan rukshoh untuk menqoshor sholat dan meninggalkan sholat serta tayamum bagi siapa yang tidak mendapatkan air

يُرِيْدُ الله بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Alloh menginginkan kemudahan bagi kalian dan tidak menginginkan kesulitan bagi kalian [albaqoroh : 185]

Syaikh Muhammad Sholih Ustaimin berkata : segala puji bagi Alloh, inilah din islam, ia adalah din samaahah (toleransi), kemudahan, kebaikan dan kelapangan.

Oleh karena itulah Alloh memberikan banyak rukhshoh kepada kita demi kemudahan ketika melaksanakan ketaatan dan keterpaksaan untuk menempuh sedikit dari larangan.

Maroji’ :

Taisir Alkarim Arrohman, Abdurrohman Nashir Assa’di 1/253
Aisarut Tafasir, Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi hal 965
Syarh Riyadlush Sholihin, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 1/385

Ucapan Salam Di Mata Para Sahabat

Ucapan Salam Di Mata Para Sahabat

Salam sering di anggap sebagai pemanis bibir, diucapkan hambar tanpa makna. Jarang orang berbinar bahagia di saat mendapat titipan salam. Padahal ia adalah doa keselamatan dunia dan akhirat.

Berbeda dengan para sahabat. Ucapan salam begitu berharga di mata mereka. Tidak sulit untuk mendapatkan riwayat betapa bernilainya ucapan salam yang diajarkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam sehingga ia menjadi syiar yang selalu terdengar tiap saatnya.

Ibnu Katsir meriwayatkan dari anas bahwa rosululloh shollallohu alaihi wasallam bertamu ke rumah Sa’ad bin Ubadah. Beliau mengucapkan salam : assalaamu ‘alaika warohmatulloh. Sa’ad menjawab : wa ‘alaikas salaam warohmatulloh dengan suara pelan hingga nabi shollallohu alaihi wasallam tidak mendengarnya, hingga beliaupun mengulangi salam tiga kali, akan tetapi Sa’ad kembali menjawabnya dengan suara pelan dan beliapun kembali tidak mendengarnya. Akhirnya nabi shollallohu alaihi wasallam pulang, lalu beliau dikejar oleh Sa’ad hingga ia berkata : ya rosulalloh, demi bapak dan ibuku tidaklah engkau mengucapkan salam kecuali aku mendengarnya dengan kedua telinga saya dan akupun sebenarnya sudah menjawabnya dan aku sengaja tidak memperdengarkannya untukmu, hal itu aku lakukan dengan harapan agar aku mendapat banyak ucapan salam dan keberkahan dari engkau …….

Pada riwayat lain, ibnu Umar termasuk di antara sekian sahabat yang haus akan ucapan salam hingga kegiatan rutinitas hariannya di saat pagi adalah berkeliling pasar untuk menyebarkan salam sebagaimana tersebut dalam sebuah riwayat :

عن الطفيل بن أبي بن كعب أنه كان يأتي عبد اللَّه بن عمر فيغدو معه إلى السوق، قال: فإذا غدونا إلى السوق لم يمر عبد اللَّه على سَقَّاطٍ (ولا صاحب بيعة ولا مسكين ولا أحد إلا سلم عليه. قال الطفيل : فجئت عبد اللَّه بن عمر يوماً فاستتبعني إلى السوق فقلت له: ما تصنع بالسوق وأنت لا تقف على البيع ولا تسأل عن السلع ولا تسوم بها ولا تجلس في مجالس السوق؟ وأقول: اجلس بنا ههنا نتحدث. فقال: يا أبا بطن وكان الطفيل ذا بطن إنما نغدو من أجل السلام نسلم على من لقيناه. رواه مالك

Dari Thufail bin Ubay bin Ka’ab bahwasanya ia datang ke tempat Abdulloh bin Umar, kemudian mereka pergi bersama-sama ke pasar. Thufail berkata : bila kami berada di pasar maka setiap kali kami melewati tukang rombeng, orang yang akan menjual barang dagangannya, orang miskin dan bahkan melewati siapa saja, Abdulloh pasti mengucapkan salam padanya. Thufail berkata : suatu hari saya datang ke tempat Abdulloh bin Umar kemudia ia mengajak saya ke pasar, maka saya berkata kepadanya : apa yang akan engkau perbuat di pasar nanti, karena engkau tidak akan membeli, tidak akan mencari sesuatu, tidak akan menawar dan tidak akan duduk di pasar ? bukankah lebih baik kita berbincang-bincang di sini ? Abdulloh bin Umar berkata : wahai Abu Bathn (karena Thufail berperut besar) kita akan ke pasar untuk menyebarluaskan salam, kita akan mengucapkan salam kepada siapa yang akan kita temui [HR Malik]

Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin berkata : ini merupakan bukti akan hausnya salafush sholih (para sahabat) dalam mengejar kebaikan. Mereka tidak menyia-nyiakannya, berbeda dengan kita sekarang yang begitu mengabaikan peluang berbagai macam kebaikan.

Maroji’ :

Tafsir Alquran Al’adzim, Abu Fida’ Alhafidz Ibnu Katsir Addamsyiqi 3/340
Syarh Riyadlush Sholihin, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 2/1144

Ayat-Ayat Salam Dalam alquran

Ayat-Ayat Salam Dalam alquran

يأيُّهاَ الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تَدْخُلُوْا بُيُوْتاً غَيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوْا وَتُسَلِّمُوْا عَلَى أهْلِهاَ ذَالِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. [annur : 27]

Ayat ini memerintahkan kita dua hal di saat memasuki rumah orang lain, yang pertama : tasta’nisuu (meminta izin), yang kedua : tusallimuu (mengucapkan salam)
Syaikh Abu bakar Jabir Aljazairi menerangkan bahwa tusallimuu (mengucapkan salam) dilakukan dengan mengucapkan assalaamu ‘alaikum. Sementara tasta’nisuu (meminta izin) dengan mengucapkan “apakah saya boleh masuk ? “ bila diizinkan maka kita akan masuk, akan tetapi bila si tuan rumah mengatakan “ silahkan pulang “ karena ia memiliki keperluan maka seharusnya kitapun pulang

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتاً فَسَلِّمُوْا عَلَى أنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِّنْ عِنْدِ الله مُبَارَكَةً طَيِّبَةً

Maka apabila kamu memasuki (suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. [annur : 61]

Syaikh Abu bakar jabir Aljazairi berkata : ayat ini memerintahkan ucapan salam ketika masuk rumah karena di dalamnya (pengucapan salam) ada kebaikan dan keutamaan.

وَإذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهاَ أوْ رُدُّوْهاَ

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa) Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu. [annisa’ : 86]

Syaikh Abu bakar Jabir Aljazairi berkata : ayat ini merupakan penguat akan sunnahnya mengucapkan salam dan wajibnya menjawabnya dengan yang lebih baik atau yang setara, sehingga bila ada yang mengucapkan assalaamu ‘alaikum maka kita menjawab wa ‘alaikumussalaam warohmatullooh, bila ada yang mengucapkan untuk kita assalaamu ‘alaikum warohmatulloh, maka kita membalasnya dengan wa ‘alaikumussalaam warohmatulloohi wabarokaatuh.


هَلْ أتاَكَ حَدِيْثُ ضَيْفِ إبْرَاهِيْمَ الْمُكْرَمِيْنَ إذْ دَخَلُوْا عَلَيْهِ فَقاَلُوْا سَلاَماً قاَلَ سَلاَمٌ قَوْمٌ مُنْكَرُوْنَ

24. Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (Yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan?
25. (ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun". Ibrahim menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal." [adz dzariyat : 24-25]

Maroji’ :

Aisaruttafasir, Syaikh abu bakar jabir Aljazairi hal 283, 999, dan 1015

Makna Assalaam

Makna Assalaam

Kata “ assalaam “ dalam ucapan assalaamu alaikum memiliki beragam arti. Imam Bukhori dalam kitab shohihnya mengatakan assalaam adalah salah satu dari nama-nama Alloh Ta’ala sebagaimana tercantum dalam alquran :

هُوَ الله الَّذِي لاَ إله إلاَّ هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلاَمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحاَنَ الله عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan [alhasyr : 23]

Assalaam dalam ayat ini bermakna Alloh selamat dari segala kekurangan, menjamin keselamatan kepada hamba-hamba dan wali-waliNya. Sementara Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin mengartikan : Alloh selamat dari kekurangan baik dalam sifat-sifatNya, perbuatanNya dan hukum-hukum yang Alloh terapkan bagi makhluqnya

Ibnu Hajar Al Atsqolani mengatakan : ketika ucapan salam disebut maka kita sedang mengharapkan terkumpulnya semua kebaikan dan terhindarnya kita dari kerusakan

Imam Nawawi berkata : ucapan assalaamu ‘alaika bermakna nama Alloh (Assalaam) atasmu, maksudnya engkau sedang berada di dalam penjagaanNya atau dengan kata lain : keselamatan senantiasa menyertaimu
Adapun assalaamu alaikum yang kita ucapkan, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin menerangkan, bahwa ia adalah doa agar terhindar dari semua malapetaka, oleh karena itu bila kita mengucapkan salam kepada seseorang berarti kita sedang mendoakannya agar Alloh menjaganya dari marabahaya baik dari penyakit jasmani, kegilaan, penyakit hati dan selamat dari siksa neraka.

adapun assalam dalam fiqh jual beli adalah penjualan barang yang sudah disebutkan ciri-cirinya yang sudah ada dalam jaminan sementara uang sudah dibayar di muka. Hal ini bisa kita dapatkan manakala kita memesan barang semisal pintu rumah dimana pintu belum tersedia bahkan belum diproduksi (masih berwujud kayu). Si pembeli membayar uang muka dan mendapat jaminan bahwa pintu akan segera dibuat.

Maroji’ :

Alqoulul Mufid ‘Ala kitaabittauhid, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 2/325
Fathul Bari, Ibnu hajar Al Atsqolani 11/15
Syarh Shohih Muslim, Imam nawawi 14/147
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 3/171

Sejarah Awal mula Disyatriatkannya Ucapan Salam

Sejarah Awal mula Disyatriatkannya Ucapan Salam

Setiap agama, suku, bangsa dan lainnya pasti memiliki ucapan salam masing-masing yang mereka ucapkan di saat saling bertemu. Hello kita kenal di barat, punten untuk masyarakat sunda, kulo nuwun bagi orang Jawa, demikian juga seterusnya.
Bagi islam, ucapan salam yang disyariatkan adalah assalaamu alaikum warohmatullohi wabarokatuh atau cukup pada pengucapan assalamu alaikum.
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin menerangkan makna salam, bahwa ia adalah doa agar terhindar dari semua malapetaka, oleh karena itu bila kita mengucapkan salam kepada seseorang berarti kita sedang mendoakannya agar Alloh menjaganya dari marabahaya baik dari penyakit jasmani, kegilaan, penyakit hati dan selamat dari siksa neraka.
Ada baiknya kita mengetahui sejarah awal mula disyariatkan ucapan salam sebagaimana yang dituturkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ طُولُهُ سِتُّونَ ذِرَاعًا فَلَمَّا خَلَقَهُ قَالَ اذْهَبْ فَسَلِّمْ عَلَى أُولَئِكَ النَّفَرِ مِنْ الْمَلَائِكَةِ جُلُوسٌ فَاسْتَمِعْ مَا يُحَيُّونَكَ فَإِنَّهَا تَحِيَّتُكَ وَتَحِيَّةُ ذُرِّيَّتِكَ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ فَقَالُوا السَّلَامُ عَلَيْكَ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فَزَادُوهُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ فَكُلُّ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَلَى صُورَةِ آدَمَ فَلَمْ يَزَلْ الْخَلْقُ يَنْقُصُ بَعْدُ حَتَّى الْآنَ

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda : "Telah Allah cipta Adam dengan semua ciri fisiknya, tingginya enam puluh hasta. Selesai Allah menciptanya, Allah berfirman "Sana pergi, dan ucapkanlah salam kepada malaikat yang duduk itu, dan dengarkan baik-baik bacaan salam mereka kepadamu, sebab itu sebagai salam penghormatanmu dan juga anak cucu keturunanmu. " Adam mengucapkan "Assalamu'alaikum". Para malaikat menjawab "Assalamu'alaika warohmatullah. " Dan mereka menambahnya lagi dengan "Wabarokaatuh. " Maka siapapun yang masuk surga, ciri fisiknya seperti Adam (tingginya enam puluh hasta), namun manusia semenjak jaman Adam, tingginya semakin berkurang hingga sekarang.[HR Bukhori Muslim]

Demikianlah, akhirnya ucapan salam menjadi syiar umat islam hingga hari kiamat, ia akan tetap terjaga dan memiliki kedudukan yang tinggi yang tidak mungkin tergantikan oleh ucapan salam lainnya.

Maroji’ : syarh riyadlush sholihin, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 2/1137

Ikhtilaf (perbedaan Pendapat) Antara Umar dan Abu Bakar

Ikhtilaf (perbedaan Pendapat) Antara Umar dan Abu Bakar

1. Tawanan perang badar

Ketika rosululloh shollallohu alaihi wasallam menawan kafir quraisy usai perang badar, beliau meminta pendapat kepada dua sahabat utamanya, Abu Bakar dan Umar untuk menentukan langkah dan sikap terhadap para tawanan. Abu Bakar yang berperangai lembut lebih condong untuk memaafkan, berbeda dengan Umar yang berkarakter keras lebih suka agar semua tawanan dibunuh sebagaimana dituturkan riwayat di bawah ini :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تَقُولُونَ فِي هَؤُلَاءِ الْأَسْرَى قَالَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَوْمُكَ وَأَهْلُكَ اسْتَبْقِهِمْ وَاسْتَأْنِ بِهِمْ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ قَالَ وَقَالَ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخْرَجُوكَ وَكَذَّبُوكَ قَرِّبْهُمْ فَاضْرِبْ أَعْنَاقَهُمْ قَالَ وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ انْظُرْ وَادِيًا كَثِيرَ الْحَطَبِ فَأَدْخِلْهُمْ فِيهِ ثُمَّ أَضْرِمْ عَلَيْهِمْ نَارًا قَالَ فَقَالَ الْعَبَّاسُ قَطَعْتَ رَحِمَكَ قَالَ فَدَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ شَيْئًا قَالَ فَقَالَ نَاسٌ يَأْخُذُ بِقَوْلِ أَبِي بَكْرٍ وَقَالَ نَاسٌ يَأْخُذُ بِقَوْلِ عُمَرَ وَقَالَ نَاسٌ يَأْخُذُ بِقَوْلِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ قَالَ فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيُلِينُ قُلُوبَ رِجَالٍ فِيهِ حَتَّى تَكُونَ أَلْيَنَ مِنْ اللَّبَنِ وَإِنَّ اللَّهَ لَيَشُدُّ قُلُوبَ رِجَالٍ فِيهِ حَتَّى تَكُونَ أَشَدَّ مِنْ الْحِجَارَةِ وَإِنَّ مَثَلَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ كَمَثَلِ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام قَالَ مَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَمَثَلَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ كَمَثَلِ عِيسَى قَالَ إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ وَإِنَّ مَثَلَكَ يَا عُمَرُ كَمَثَلِ نُوحٍ قَالَ رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنْ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا وَإِنَّ مِثْلَكَ يَا عُمَرُ كَمَثَلِ مُوسَى قَالَ رَبِّ اشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوْا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ أَنْتُمْ عَالَةٌ فَلَا يَنْفَلِتَنَّ مِنْهُمْ أَحَدٌ إِلَّا بِفِدَاءٍ أَوْ ضَرْبَةِ عُنُقٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا سُهَيْلُ ابْنُ بَيْضَاءَ فَإِنِّي قَدْ سَمِعْتُهُ يَذْكُرُ الْإِسْلَامَ قَالَ فَسَكَتَ قَالَ فَمَا رَأَيْتُنِي فِي يَوْمٍ أَخْوَفَ أَنْ تَقَعَ عَلَيَّ حِجَارَةٌ مِنْ السَّمَاءِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ حَتَّى قَالَ إِلَّا سُهَيْلُ ابْنُ بَيْضَاءَ قَالَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الْأَرْضِ تُرِيدُونَ عَرَضَ الدُّنْيَا وَاللَّهُ يُرِيدُ الْآخِرَةَ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ إِلَى قَوْلِهِ لَوْلَا كِتَابٌ مِنْ اللَّهِ سَبَقَ لَمَسَّكُمْ فِيمَا أَخَذْتُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Amru bin Murrah dari Abu Ubaidah dari Abdullah ia berkata; Dari Ibnu Mas'ud radliallahu 'anhu berkata pada perang Badar : Rosulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berkata: Apa pendapat kalian terhadap tawanan perang Badar? Abu Bakar berkata : Wahai Rosulullah, mereka adalah kaum dan keluargamu ampunilah mereka dan berbaik hatilah, mudah-mudahan Allah mengampuni mereka. Ibnu Mas'ud berkata : Umar berkata : wahai Rosulullah, mereka telah mengusir engkau dan mendustakan engkau maka dekatkanlah dan penggallah leher mereka. Ibnu Mas'ud berkata: Lalu berkata Abdullah bin Rowahah: Wahai Rosulullah, pilihlah lembah yang banyak kayu bakarnya kemudian lemparlah mereka kedalamnya lalu bakarlah mereka. Lantas Abbas berkata: Kalau demikian engkau telah memutuskan tali silaturrohmi. Ibnu Mas'ud berkata : Kemudian Rosulullah masuk dan tidak menjawab pendapat mereka dan orang-orang berbeda pendapat sebagian berkata: Beliau mengambil pendapat Abu Bakar, sebagian mereka berkata : Beliau memilih pendapatnya Umar, sebagian lagi berkata : Beliau mengambil pendapatnya Abdullah bin Rowahah. Ibnu Mas'ud berkata: Lalu Nabi keluar dan berkata : Sesungguhnya Allah berkuasa untuk melunakkan hati sebagian laki-laki hingga menjadi lebih lembut dari susu dan Allah berkuasa untuk membuat hati sebagian laki-laki menjadi keras hingga menjadi lebih keras dari batu. Dan perumpamaan engkau wahai Abu Bakar ialah seperti Ibrohim yang berkata : maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perumpamaan engkau juga wahai Abu Bakar ialah seperti Isa yang berkata : Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan perumpamaan engkau wahai Umar ialah seperti Nuh yang berkata : "Ya Rabbku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi". Dan perumpamaan engkau wahai Umar ialah seperti Musa yang berkata : Ya Rabb kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih. " Kalian adalah orang-orang yang faqir maka janganlah salah seorang dari tawanan pergi kecuali dengan tebusan atau dipenggal lehernya. Ibnu Mas'ud berkata: Aku berkata : Wahai Rosulullah, kecuali Suhail bin Baidho' karena saya mendengar dia menyebut-nyebut keIslaman. Namun Nabi diam, saya tidak pernah merasakan takut tertimpa bebatuan kecuali hari itu hingga beliau berkata: kecuali Suhail bin Baidho'. Ibnu Mas'ud berkata : kemudian Allah menurunkan firmannya yaitu : Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana … hingga ayat : Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil. (Al Anfal : 67-68) [HR Ahmad, Tirmidzi dan Ahmad]
Walhasil nabi shollallohu alaihi wasallam memilih pendapat Abu bakar, meskipun akhirnya Alloh membela pendapat Umar dengan diturunkannya surat al anfal ayat 67-68

2. Kematian rosululloh shollallohu alaihi wasallam
Saat kematian nabi shollallohu alaihi wasallam, Umar sama sekali tidak mempercayai kenyataan itu sehingga dengan penuh kemarahan mengancam kepada siapa saja yang berani mengakatakan akan kematian beliau.

Di sisi lain Abu bakar, meyakini kewafatan beliau bahkan jauh sebelum beliau wafat, sinyal akan datangnya kematian menimpa beliau sudah ada di benak Abu bakar. Di sinilah dua persepsi berbeda saling bertemu hingga akhirnya Umar mampu ditundukkan oleh hujjah Abu bakar :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاتَ وَأَبُو بَكْرٍ بِالسُّنْحِ قَالَ إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي بِالْعَالِيَةِ فَقَامَ عُمَرُ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ وَقَالَ عُمَرُ وَاللَّهِ مَا كَانَ يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلَّا ذَاكَ وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلَهُ قَالَ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُذِيقُكَ اللَّهُ الْمَوْتَتَيْنِ أَبَدًا ثُمَّ خَرَجَ فَقَالَ أَيُّهَا الْحَالِفُ عَلَى رِسْلِكَ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ جَلَسَ عُمَرُ فَحَمِدَ اللَّهَ أَبُو بَكْرٍ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ أَلَا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ وَقَالَ إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ وَقَالَ وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ قَالَ فَنَشَجَ النَّاسُ يَبْكُونَ قَالَ وَاجْتَمَعَتْ الْأَنْصَارُ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ فَقَالُوا مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ فَذَهَبَ إِلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فَذَهَبَ عُمَرُ يَتَكَلَّمُ فَأَسْكَتَهُ أَبُو بَكْرٍ وَكَانَ عُمَرُ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِذَلِكَ إِلَّا أَنِّي قَدْ هَيَّأْتُ كَلَامًا قَدْ أَعْجَبَنِي خَشِيتُ أَنْ لَا يَبْلُغَهُ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَتَكَلَّمَ أَبْلَغَ النَّاسِ فَقَالَ فِي كَلَامِهِ نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ فَقَالَ حُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ لَا وَاللَّهِ لَا نَفْعَلُ مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لَا وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَقَالَ عُمَرُ بَلْ نُبَايِعُكَ أَنْتَ فَأَنْتَ سَيِّدُنَا وَخَيْرُنَا وَأَحَبُّنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ عُمَرُ بِيَدِهِ فَبَايَعَهُ وَبَايَعَهُ النَّاسُ فَقَالَ قَائِلٌ قَتَلْتُمْ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ فَقَالَ عُمَرُ قَتَلَهُ اللَّهُ وَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَالِمٍ عَنْ الزُّبَيْدِيِّ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْقَاسِمِ أَخْبَرَنِي الْقَاسِمُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ شَخَصَ بَصَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى ثَلَاثًا وَقَصَّ الْحَدِيثَ قَالَتْ فَمَا كَانَتْ مِنْ خُطْبَتِهِمَا مِنْ خُطْبَةٍ إِلَّا نَفَعَ اللَّهُ بِهَا لَقَدْ خَوَّفَ عُمَرُ النَّاسَ وَإِنَّ فِيهِمْ لَنِفَاقًا فَرَدَّهُمْ اللَّهُ بِذَلِكَ ثُمَّ لَقَدْ بَصَّرَ أَبُو بَكْرٍ النَّاسَ الْهُدَى وَعَرَّفَهُمْ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْهِمْ وَخَرَجُوا بِهِ يَتْلُونَ وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ إِلَى الشَّاكِرِينَ

Dari 'Aisyah radliallahu 'anhu, istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meninggal dunia, Abu Bakr sedang berada di Sunuh". Isma'il berkata; "Yakni sebuah perkampungan 'Aliyah, Madinah". Maka 'Umar tampil berdiri sambil berkata; 'Demi Allah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidaklah meninggal". 'Aisyah radliallahu 'anhu berkata, Selanjutnya 'Umar berkata; "Tidak ada perasaan pada diriku melainkan itu. Dan pasti Allah akan membangkitkan beliau dan siapa yang mengatakannya (bahwa beliau telah meninggal dunia), pasti Allah memotong tangan dan kaki mereka". Lalu Abu Bakr datang kemudian menyingkap penutup (yang menutupi) jasad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan menutupnya kembali. Abu Bakr berkata; "Demi bapak ibuku, sungguh baik hidupmu dan ketika matimu. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh Allah tidak akan memberikan baginda merasakan dua kematian selamanya". Kemudian dia keluar dan berkata; "Wahai kaum yang sudah bersumpah setia, tenanglah". Ketika Abu Bakr berbicara, 'Umar duduk. Abu Bakr memuji Allah dan mensucikan-Nya lalu berkata; "Barangsiapa yang menyembah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya Muhammad sekarang sudah mati, dan siapa yanng menyembah Allah, sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Hidup selamanya tidak akan mati". Lalu dia membacakan firman Allah Qs az-Zumar ayat 30 yang artinya : ("Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati") dan QS Alu 'Imran ayat 144 yang artinya: ("Muhammad itu tidak lain kecuali hanyalah seorang Rasul sebagaimana telah berlalu Rasul-rasul sebelum dia. Apakah bila dia mati atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang (murtad). Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka sekali-kali dia tidak akan dapat mendatangkan madlarat kepada Allah sedikitpun dan kelak Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur"). ………. "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membuka matanya ke atas sambil berkata; "Menuju Kekasih yang Maha Tinggi", sebanyak tiga kali. Lalu dia menceritakan hadits selengkapnya lalu berkata; "Tidak ada satupun dari khuthbah keduanya melainkan Allah telah memberikan manfaat dengan khuthbah itu, 'Umar telah membuat takut orang-orang dengan kemungkinan timbulnya di tengah mereka sifat nifaq, lalu Allah mengembalikkan mereka (untuk istiqamah menjaga persatuan) lewat khuthbahnya 'Umar tersebut. Sedangkan Abu Bakr telah menunjukkan kematangan pandangannya untuk membawa manusia di atas petunjuk dan dia sebagai orang yang paling tahu tentang kebenaran yang ada pada mereka, dia keluar sambil membacakan ayat QS Alu 'Imran ayat 144 tadi (Muhammad itu tidak lain kecuali hanyalah seorang Rasul sebagaimana telah berlalu Rasul-rasul sebelum dia...). hingga akhir ayat (...orang-orang yang bersyukur) [HR Bukhori, Muslim dan Ahmad]

3. Perjanjian hudaibiyyah

Perjanjian ini terjadi di akhir tahun ke tujuh hijriyah. Dimulai dari penolakan kafir Quraisy atas haji kaum muslimin dari Madinah dan isu terbunuhnya Utsman bin Affan. Selanjutnya terjadilah perjanjian Hudaibiyyah antara rosululloh shollallohu alaihi wasallam dengan kafir Quraisy yang menuai ketidakpuasan sebagian sahabat, di antaranya adalah Umar bin Khothob.
Adapun kronologis peristiwa perjanjian tersebut adalah sebagai berikut :

Rosululloh shollallohu alaihi wasallam meminta Ali Ali bin Abi Tholib untuk menulis “ bismillaahirrohmaanirrohim “ Suhail (wakil dari Kafir Quraisy) berkata : aku tidak mengakui kalimat ini, tulislah bismika alloohumma !
Beliaupun berkata kepada Ali : tulislah bismika alloohumma, selanjutnya tulislah “ inilah perjanjian antara Muhammad rosululloh dengan Suhail bin Amr “

Suhail berkata : demi Alloh, jika kami mengakui bahwa engkau itu adalah rosululloh, niscaya kami tidak akan menghalangimu dari kunjungan ke baitulloh dan kamipun tidak akan memerangimu ! Tulislah Muhammad bin Abdulloh.

Beliau akhirnya meminta Ali untuk menghapus kata “rosululloh” dengan diganti bin Abdulloh.
Di antara isi perjanjian hudaibiyyah berbunyi :

• Rosulullloh shollallohu alaihi wasallam pulang kembali ke Madinah tahun ini (tidak boleh memasuki Mekah untuk manasik) Adapun tahun depan diperkenankan memasukinya dengan syarat hanya berdiam 3 hari. Rombongan tidak diperkenankan membawa senjata kecuali hanya senjata yang biasa dibawa oleh para musafir itupun harus dimasukkan ke dalam sarungnya

• Genjatan senjata selama sepuluh tahun antara kedua belah pihak, manusia harus diliputi rasa aman, satu dengan lain saling menahan diri.

• Siapa saja dari kalangan Qurais yang lari menuju Muhammad (masuk islam) tanpa izin walinya maka wajib dikembalikan. Sedangkan bila ada dari kelompok Muhammad yang lari menuju Quraisy maka tidak perlu dikembalikan.

Demi mendengar perjanjian yang dirasa menguntungkan Quraisy, Umar menunjukkan reaksi yang begitu keras.

Umar berkata : wahai Abu Bakar, bukankah beliau adalah rosululloh ? Abu bakar menjawab : benar, beliau adalah rosululloh.

Umar berkata : bukankah kita ini adalah umat islam ? Abu Bakar menjawab : benar, kita adalah umat islam.

Umar berkata : bukankah mereka suku Quraisy adalah kaum musyrikin ? Abu Bakar menjawab : benar, mereka adalah kaum musyrikin.

Umar berkata : kenapa kita menerima untuk direndahkan dan dihinakan agama kita ? Abu Bakar menjawab : wahai Umar, tetaplah engkau di tempat dudukmu Karena aku bersaksi bahwa beliau adalah rosululloh. Umar berkata : akupun bersaksi bahwa beliau adalah rosululloh.

Akhirnya karena tidak puas dengan jawaban Abu Bakar. Umar menemui rosululloh shollallohu alaihi wasallam untuk bertanya dengan pertanyaan yang ia sampaikan kepada Abu Bakar maka beliau menjawabnya dengan jawaban Abu Bakar.

4. Memerangi pembangkang zakat

Tidak lama setelah wafatnya nabi shollallohu alaihi wasallam, muncullah para pembangkang zakat sehingga menimbulkan reaksi keras dari Abu Bakar. Abu Bakar berpendapat untuk memerangi mereka sementara Umar tidak menyetujuinya karena mareka masih bersyahadat dan menunaikan sholat. Sampai akhirnya terjadi diskusi antara keduanya yang menghasilkan tunduknya Umar pada pendapat Abu Bakar :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ بَعْدَهُ وَكَفَرَ مَنْ كَفَرَ مِنْ الْعَرَبِ قَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لِأَبِي بَكْرٍ كَيْفَ تُقَاتِلُ النَّاسَ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَمَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عِقَالًا كَانُوا يُؤَدُّونَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهِ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ رَأَيْتُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ شَرَحَ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ لِلْقِتَالِ قَالَ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ

Dari Abu Hurairah, ia berkata; tatkala Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam meninggal dan Abu Bakr diangkat sebagai khalifah setelah beliau dan telah kafir sebagian orang Arab, Umar bin Al Khathab berkata kepada Abu Bakr; bagaimana engkau memerangi orang-orang tersebut padahal Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam telah bersabda : "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan; LAA ILAAHA ILLALLAAH. Barang siapa yang mengucapkan; LAA ILAAHA ILLALLAAH maka ia telah melindungi dariku harga dan jiwanya kecuali dengan haknya, sedangkan perhitungannya kembali kepada Allah 'azza wajalla. " Maka Abu Bakr berkata; sungguh aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, sesungguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah seandainya mereka menahanku satu 'iqal yang dahulunya mereka tunaikan kepada Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam niscaya aku akan memerangi mereka karena penolakannya. Kemudian Umar bin Al Khathab berkata; Demi Allah sungguh aku melihat Allah 'azza wajalla telah melapangkan dada Abu Bakr untuk memerangi orang-orang tersebut. Umar berkata; maka aku mengetahui bahwa ia adalah yang benar. [HR Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi]

5. Penulisan alquran

عَنْ زَيْد بْن ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ عِنْدَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ تَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُمَرُ هَذَا وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِذَلِكَ وَرَأَيْتُ فِي ذَلِكَ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدٌ قَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ لَا نَتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلُونَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو بَكْرٍ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الْعُسُبِ وَاللِّخَافِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ آخِرَ سُورَةِ التَّوْبَةِ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهَا مَعَ أَحَدٍ غَيْرِهِ لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَتَّى خَاتِمَةِ بَرَاءَةَ فَكَانَتْ الصُّحُفُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ عُمَرَ حَيَاتَهُ ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ

Dari Zaid bin Tsabit radliallahu 'anhu, ia berkata; Abu Bakar mengirim para korban perang Yamamah kepadaku, dan ternyata Umar bin Al Khaththab ada di sisinya. Abu Bakar radliallahu 'anhu berkata, "Sesungguhnya Umar mendatangiku dan berkata, 'Mayoritas korban perang Yamamah adalah para penghafal Al Qur`an. Dengan gugurnya mayoritas penghafal Al Qur`an, maka aku khawatir sebagian besar Al Qur`an juga akan hilang. Maka aku berpendapat, sebaiknya Anda segera memerintahkan guna melakukan dokumentasi alquran.' Maka aku pun bertanya kepada Umar, 'Bagaimana kamu akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam? ' Umar menjawab, 'Perkara ini, demi Allah adalah ide yang baik.' Umar selalu membujukku hingga Allah memberikan kelapangan dadaku, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar. " Zaid berkata; Abu Bakar berkata, "Sesungguhnya kamu adalah seorang pemuda yang cerdas, kami sama sekali tidak curiga sedikit pun padamu. Dan sungguh, kamulah yang telah menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Karena itu, telusurilah Al Qur`an dan kumpulkanlah. " Zaid berkata, "Demi Allah, sekiranya mereka memerintahkanku untuk memindahkan gunung, niscaya hal itu tidaklah lebih berat daripada apa yang mereka perintahkan padaku, yakni dokumentasi alquran. " Zaid bertanya, "Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ? " Ia menjawab, "Demi Allah, itu adalah kebaikan. " Abu Bakar terus membujukku, hinnga Allah pun memberikan kelapangan dadaku, sebagaimana Abu Bakar dan Umar radliallahu 'anhuma. Maka aku pun mulai menelusuri Al Qur`an, mengumpulkannya dari tulang-tulang, kulit-kulit dan dari hafalan para Qari`. Dan akhirnya aku pun mendapatkan bagian akhir dari surat At Taubah bersama Abu Khuzaimah Al Anshari, yang aku tidak mendapatkannya pada seorang pun selainnya. Yakni ayat: 'Sungguh, telah datang pada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, yang sangat berat olehnya kesulitan yang menimpa kalian..'" hingga akhir surat Al Bara`ah. Lembaran-lembaran Al Qur`an itu pun tetap tersimpan pada Abu Bakar hingga Allah mewafatkannya. Kemudian beralih kepada Umar semasa hidupnya, lalu berpindah lagi ke tangan Hafshah binti Umar radliallahu 'anhu. [HR Bukhori dan Tirmidzi]

6. Pengangkatan pemimpin bani Tamim

Dua sahabat yang begitu dekat dan akrab, ternyata tak luput dari pertengkaran keduanya. Hal ini terjadi saat pengangkat pemimpin di bani Tamim sebagaimana riwayat di bawah ini :

عَنْ عَبْدَاللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ أَنَّهُ قَدِمَ رَكْبٌ مِنْ بَنِي تَمِيمٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمِّرْ الْقَعْقَاعَ بْنَ مَعْبَدِ بْنِ زُرَارَةَ قَالَ عُمَرُ بَلْ أَمِّرْ الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا أَرَدْتَ إِلَّا خِلَافِي قَالَ عُمَرُ مَا أَرَدْتُ خِلَافَكَ فَتَمَارَيَا حَتَّى ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا فَنَزَلَ فِي ذَلِكَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا حَتَّى انْقَضَتْ

Dari 'Abdullah bin Az Zubair : Serombongan dari bani Tamim datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar berkata, "Angkatlah Al Qa'qa' bin Ma'bad bin Zurarah. " Sedangkan Umar radliallahu 'anhu berkata, "Angkatlah Al Aqra' bin Habis. " Abu Bakr berkata; 'Apakah kamu ingin menyelisihiku? ' Umar menjawab; 'Ya, aku ingin menyelisihimu.' Maka terjadilah perdebatan antara keduanya hingga suara mereka meninggi. Maka berkenaan dengan hal itu turunlah ayat : 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah' hingga akhir ayat. (QS. Alhujurat ayat 1) [HR Bukhori, Tirmidzi dan Nasa’i]

عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ كَادَ الْخَيِّرَانِ أَنْ يَهْلِكَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا رَفَ عَا أَصْوَاتَهُمَا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ عَلَيْهِ رَكْبُ بَنِي تَمِيمٍ فَأَشَارَ أَحَدُهُمَا بِالْأَقْرَعِ بْنِ حَابِسٍ أَخِي بَنِي مُجَاشِعٍ وَأَشَارَ الْآخَرُ بِرَجُلٍ آخَرَ قَالَ نَافِعٌ لَا أَحْفَظُ اسْمَهُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ لِعُمَرَ مَا أَرَدْتَ إِلَّا خِلَافِي قَالَ مَا أَرَدْتُ خِلَافَكَ فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا فِي ذَلِكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ الْآيَةَ قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ فَمَا كَانَ عُمَرُ يُسْمِعُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ هَذِهِ الْآيَةِ حَتَّى يَسْتَفْهِمَهُ وَلَمْ يَذْكُرْ ذَلِكَ عَنْ أَبِيهِ يَعْنِي أَبَا بَكْرٍ

Dari Ibnu Abu Mulaikah dia berkata; hampir saja dua orang terbaik binasa, yaitu Abu Bakar dan 'Umar radliallahu 'anhuma, keduanya mengangkat suara mereka di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Yaitu tatkala datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam utusan Bani Tamim. salah satu dari keduanya menunjuk Al Aqra' bin Habis Al Hanzhali, saudara Bani Mujasyi', dan yang lain menunjuk pada yang lainnya. Abu Bakar berkata kepada 'Umar, sesungguhnya kamu hanya ingin menyelisihiku. 'Umar berkata, saya tidak menginginkannya, lalu kedua suaranya meninggi di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam maka turunlah ayat; Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, Ibnu Az Zubair berkata, 'Maka Umar setelah turun ayat itu tidaklah mendengar perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hingga ia betul-betul memahaminnya. Dan Ibnu Az Zubair tidak menyebutkan hal itu dari Bapaknya (kakeknya) yaitu Abu Bakr. [HR Bukhori, Tirmidzi dan Nasa’i]

7. Profokasi Abu sufyan usai perang uhud

Setelah perang uhud usai, Abu Sufyan naik ke gunung dan berkata dengan penuh kesombongan : apakah ada di antara kalian Muhammad ? Apakah di antara kalian ada Abu Qohafah ? (Abu Bakar) Apakah di antara kalian ada Umar ? (tidak ada satupun jawaban dari nabi dan para sahabat karena memang beliau melarangnya)
Tiba-tiba Abu Sufyan melanjutkan profokasinya dengan berkata : ternyata mereka sudah binasa. Akhirnya Umarpun tidak dapat menahan dirinya hingga berkata : wahai musuh Alloh ! sesungguhnya orang-orang yang engkau sebut masih hidup, sungguh Alloh akan mengekalkan keburukanmu !

maroji' :

Arrohiq Almakhthum, Syaikh Shoifurrohman Almubarok Fukhri hal 329 dan 401
Kelengkapan Tarikh, Munawar Kholil 3A/159-162