Tawazun Dalam Memanfaatkan Harta
Sesorang yang dikaruniai oleh Alloh kelebihan harta, terkadang tidak mampu mengelola pemanfaatan apa yang ia miliki. Terlalu konsumtif, mudah tergiur setiap ada penawaran produk padahal dirinya sedang tidak membutuhkan barang tersebut. Celakanya apa yang ia lakukan menyebabkan terlupakan dari infaq, shodaqoh dan zakat.
Seorang yang gemar berfoya-foya. Di saat ia menikmati hura-huranya, ia tidak sadar bahwa orang-orang miskin ada di sekelilingnya. Mereka lapar, sementara yang ia saksikan adalah kesombongan si kaya yang lupa terhadap apa yang ia alami. Jangan heran bila si fakir akan berubah menjadi penjahat-penjahat yang iri terhadap kesenjangan yang membuat cemburu.
Berbeda dengan contoh di atas. Ada tipe orang kaya yang pelit, tidak hanya kepada orang lain saja, bahkan terhadap dirinyapun ia pelit. Harta berlimpah ruah, sementara ia tidak pernah merasakan lezatnya daging dan ikan. Bajunya yang ia beli, hanyalah berasal dari tukang loak alias penjual barang bekas. Pergi ke kota ia lakukan dengan jalan kaki padahal angkutan umum berlalu lalang di jalan. Ia merasa sayang bila uangnya berkurang karena digunakan untuk makan makanan yang lezat, bajunya yang bagus dan kepentingan hidup lainnya.
Kalau terhadap dirinya sendiri saja ia bersikap demikian, bagaimana kepada orang lain ? Si kaya yang gemar berfoya-foya lupa akan sedekah, tak beda dengan si kaya yang suka irit dan pelit.
Alloh mengajak untuk tawazun (bersikap seimbang) dengan harta yang merupakan anugerah yang harus dinikmati. Demikian juga rosululloh shollallohu alaihi wasallam, di saat melihat seseorang dengan pakaian buruk, beliau menasehatinya :
فَإِذَا أتَاكَ الله مَالاً فَلْيَرَ أثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَيْكَ وَكَرَامَتِهِ
Kalau Alloh memberimu harta, maka sungguh dia lebih senang menyaksikan bekas nikmatNya yang diberikan kepadamu dan bekas kedermawananNya itu [HR Nasa’i]
Dalam quran Alloh memberi taujih :
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Dan orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak isrof (berlebihan), dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian [alfurqon : 67]
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إلى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ البسط
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu pemurah) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. [al isro’ : 29]
Penulis kitab Muyassar berkata tentang ayat di atas bahwa maksudnya : jangan tahan tanganmu untuk memanfaatkan hartamu untuk jalan kebaikan yang akhirnya menyusahkan dirimu, keluargamu dan orang-orang yang membutuhkan. Jangan pula bersikap boros lalu engkau memberinya di luar kemampuanmu akhirnya engkau menggerutu, dicela manusia sementara engkau menyesal atas pemborosan dan penyia-nyiaan hartamu.
Maroji’ :
Tafsir Almuyassar 5/23 (maktabah syamilah)
Harta Dalam Pandangan Islam (36)
Jangan Hambur-Hamburkan Harta !
Demi mengabadikan jasa pahlawan, dibangunlah patung dengan menghabiskan dana miliaran rupiah. Hal itu ditujukan untuk meneladani perjuangan dan pengorbanannya sehingga bisa dilanjutkan oleh generasi muda. Ketika patung berdiri megah dan jumlah koruptor semakin bertambah, sementara di seberang sana fakir miskin kesulitan mendapatkan makanan untuk menyambung hidupnya.
Demi menyambut bergantinya tahun, petasan sudah disiapkan. Tak terhitung petasan yang sekali meledak menghabiskan dana puluhan ribu rupiah. Suasana bising, harta hilang sia-sia.
Tak sedikit masyarakat Indonesia, untuk sekedar mendapat baju harus pergi ke Singapura, potong rambut berangkat ke Prancis, membeli perhiasan lari ke Amerika dan wisata kuliner bertolak ke Jepang.
Menghambur-hamburkan harta adalah sifat orang kafir. Ia tidak layak ditiru oleh orang beriman. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam memberi nasehat :
عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَن النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Dari Al Mughirah bin Syu'bah dari nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda : Allah membenci untuk kalian tiga hal : Orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya [HR Bukhori Muslim]
Imam Nawawi memberi definisi ‘idloatul maal (menyiakan-nyiakan harta) dengan mengatakan : menghambur-hamburkannya dan menggunakannya untuk tujuan yang tidak diizinkan syariat baik kebaikan akhirat dan dunia serta melalaikan dalam menjaganya padahal dirinya memiliki kemampuan untuk menjaganya.
Adapun Syaikh Mushthofa Albugho berkata : menghambur-hamburkannya untuk tujuan yang diharamkan.
Maroji’ :
Nuzhatul Muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho 2/426
Demi mengabadikan jasa pahlawan, dibangunlah patung dengan menghabiskan dana miliaran rupiah. Hal itu ditujukan untuk meneladani perjuangan dan pengorbanannya sehingga bisa dilanjutkan oleh generasi muda. Ketika patung berdiri megah dan jumlah koruptor semakin bertambah, sementara di seberang sana fakir miskin kesulitan mendapatkan makanan untuk menyambung hidupnya.
Demi menyambut bergantinya tahun, petasan sudah disiapkan. Tak terhitung petasan yang sekali meledak menghabiskan dana puluhan ribu rupiah. Suasana bising, harta hilang sia-sia.
Tak sedikit masyarakat Indonesia, untuk sekedar mendapat baju harus pergi ke Singapura, potong rambut berangkat ke Prancis, membeli perhiasan lari ke Amerika dan wisata kuliner bertolak ke Jepang.
Menghambur-hamburkan harta adalah sifat orang kafir. Ia tidak layak ditiru oleh orang beriman. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam memberi nasehat :
عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَن النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ كَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ
Dari Al Mughirah bin Syu'bah dari nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda : Allah membenci untuk kalian tiga hal : Orang yang menyampaikan setiap hal yang didengarnya, menyia-nyiakan harta dan banyak bertanya [HR Bukhori Muslim]
Imam Nawawi memberi definisi ‘idloatul maal (menyiakan-nyiakan harta) dengan mengatakan : menghambur-hamburkannya dan menggunakannya untuk tujuan yang tidak diizinkan syariat baik kebaikan akhirat dan dunia serta melalaikan dalam menjaganya padahal dirinya memiliki kemampuan untuk menjaganya.
Adapun Syaikh Mushthofa Albugho berkata : menghambur-hamburkannya untuk tujuan yang diharamkan.
Maroji’ :
Nuzhatul Muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho 2/426
Harta Dalam Pandangan Islam (35)
Ghibthoh Terhadap Harta
Iri terbagi menjadi dua, hasad dan ghibthoh. Di saat tetangga membeli mobil, hati resah akan tetapi ketika mendengar berita bahwa mobil tetangga mengalami kecelakaan, hati menjadi bahagia. Inilah yang disebut dengan hasad. Dengan kata lain, hasad adalah susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah.
Tetangga membeli mobil, hatinya ikut bahagia. Ketika melihat mobil tetangga memberi manfaat bagi orang lain, ia ingin memilikinya dengan harapan bisa berbuat apa yang telah dilakukan oleh pemilik mobil. Berapa banyak orang sakit diantar ke rumah sakit, anggota majlis ta’lim yang hendak pergi masjid mendengar ceramah, rombongan ta’ziyyah dan lainnya yang menggunakan mobilnya. Inilah yang disebut ghibthoh.
Alangkah indahnya akhlaq ini. Dunia akan aman bila manusia memilikinya. Orang miskin akan tetap bersyukur manakala melihat si kaya yang dikarunia harta oleh Alloh. Inilah yang terjadi pada diri sahabat :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ نَاساً مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ : أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا يَتَصَدَّقُوْنَ : إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً وَنَهْيٍ عَن مُنْكَرٍ صَدَقَةً وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ .
Dari Abu Dzar radhiallahuanhu : Sesungguhnya sejumlah orang dari shahabat Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam: “ Wahai Rasululullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa pahala yang banyak, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedang kami tidak dapat melakukannya). (Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam) bersabda : Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah ? : Sesungguhnya setiap tashbih merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, amar ma’ruf nahi munkar merupakan sedekah dan setiap kemaluan kalian merupakan sedekah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah masakah dikatakan berpahala seseorang diantara kami yang menyalurkan syahwatnya ?, beliau bersabda : Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan dijalan yang haram, bukankah baginya dosa ?, demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka baginya mendapatkan pahala [HR Muslim]
Orang miskin tidak iri terhadap apa yang dimiliki si kaya melainkan karena mereka bisa mengungguli dalam perolehan pahala sehingga rosululloh shollallohu alaihi wasallam memberi jalan bagi mereka.
Iri terbagi menjadi dua, hasad dan ghibthoh. Di saat tetangga membeli mobil, hati resah akan tetapi ketika mendengar berita bahwa mobil tetangga mengalami kecelakaan, hati menjadi bahagia. Inilah yang disebut dengan hasad. Dengan kata lain, hasad adalah susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah.
Tetangga membeli mobil, hatinya ikut bahagia. Ketika melihat mobil tetangga memberi manfaat bagi orang lain, ia ingin memilikinya dengan harapan bisa berbuat apa yang telah dilakukan oleh pemilik mobil. Berapa banyak orang sakit diantar ke rumah sakit, anggota majlis ta’lim yang hendak pergi masjid mendengar ceramah, rombongan ta’ziyyah dan lainnya yang menggunakan mobilnya. Inilah yang disebut ghibthoh.
Alangkah indahnya akhlaq ini. Dunia akan aman bila manusia memilikinya. Orang miskin akan tetap bersyukur manakala melihat si kaya yang dikarunia harta oleh Alloh. Inilah yang terjadi pada diri sahabat :
عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ نَاساً مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ : أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا يَتَصَدَّقُوْنَ : إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٍ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةً وَنَهْيٍ عَن مُنْكَرٍ صَدَقَةً وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ ؟ قَالَ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ وِزْرٌ ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ .
Dari Abu Dzar radhiallahuanhu : Sesungguhnya sejumlah orang dari shahabat Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam: “ Wahai Rasululullah, orang-orang kaya telah pergi dengan membawa pahala yang banyak, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedang kami tidak dapat melakukannya). (Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam) bersabda : Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian jalan untuk bersedekah ? : Sesungguhnya setiap tashbih merupakan sedekah, setiap takbir merupakan sedekah, setiap tahmid merupakan sedekah, setiap tahlil merupakan sedekah, amar ma’ruf nahi munkar merupakan sedekah dan setiap kemaluan kalian merupakan sedekah. Mereka bertanya : Ya Rasulullah masakah dikatakan berpahala seseorang diantara kami yang menyalurkan syahwatnya ?, beliau bersabda : Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan dijalan yang haram, bukankah baginya dosa ?, demikianlah halnya jika hal tersebut diletakkan pada jalan yang halal, maka baginya mendapatkan pahala [HR Muslim]
Orang miskin tidak iri terhadap apa yang dimiliki si kaya melainkan karena mereka bisa mengungguli dalam perolehan pahala sehingga rosululloh shollallohu alaihi wasallam memberi jalan bagi mereka.
Harta Dalam Pandangan Islam (34)
Ketika Harta Sedikit
Kefakiran identik dengan sedikitmya harta. Ia adalah takdir yang sudah diukur sesuai dengan keadilan Alloh. Kemiskinan tidak menghalangi seseorang untuk beramal solih. Ketika kita adalah orang yang tak punya maka islam mengajarkan :
1. Melihat orang yang lebih sedikit harta dibanding kita.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : Jika salah seorang diantara kalian melihat orang yang dilebihkan harta dan fisiknya, maka hendaknya dia melihat orang yang ada dibawahnya [HR Bukhori Muslim]
Ibnu Hajar Al Atsqolani berkata : hadits ini menerangkan tentang addawa’ (obat) bagi Addaa’ (penyakit). Seseorang bila melihat orang yang berada di atas dalam harta, tidak akan aman dari pengaruh hasad. Maka obatnya adalah melihat orang yang berada di bawahnya agar menjadi motifasi bagi dirinya untuk bersyukur. Pada riwayat marfu’ dari Amru bin Syuaib disebutkan : ada dua hal yang yang Alloh tetapkan sebagai hamba yang bersyukur dan sabar. Barangsiapa melihat dunianya kepada orang yang ada di bawahnya lalu ia bertahmid memuji Alloh atas karunia yang Alloh berikan padanya dan yang kedua, orang yang melihat dinnya kepada orang yang ada di atasnya lalu menirunya. Adapun orang yang melihat dunianya kepada orang yang ada di atasnya maka ia akan merana dengan apa yang ia tidak miliki. Maka hal itu tidak dicatat baginya sebagai orang yang sabar dan syukur.
2. Iffah (menjaga kehormatan)
Dengan tidak mudah meminta belas kasihan dari orang lain. Prinsip seperti ini mendorong untuk berusaha bekerja dan hidup mandiri.
عن أبى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ الْأُكْلَةَ وَالْأُكْلَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِي أَوْ لَا يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam : Bukanlah disebut miskin orang yang bisa diatasi dengan satu atau dua suap makanan. Akan tetapi yang disebut miskin adalah orang yang tidak memiliki kecukupan namun dia menahan diri (malu) atau orang yang tidak meminta-minta secara mendesak [HR Bukhori]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ ثُمَّ يَغْدُوَ أَحْسِبُهُ قَالَ إِلَى الْجَبَلِ فَيَحْتَطِبَ فَيَبِيعَ فَيَأْكُلَ وَيَتَصَدَّقَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda : Sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu pergi. Kata Beliau; ke gunung lalu dia mencari kayu bakar kemudian dia menjualnya lalu dari dia dapat makan dan bershadaqah lebih baik baginya daripada meminta manusia [HR Bukhori]
3. Berusaha tetap berinfaq sesuai kemampuan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ: أَيُّ اَلصَّدَقَةِ أَفْضَلُ ? قَالَ جُهْدُ اَلْمُقِلِّ, وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya : Wahai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sedekah apakah yang paling mulia ? Beliau menjawab : Sedekah orang yang tak punya, dan mulailah (memberi sedekah) atas orang yang banyak tanggungannya. [HR Ahmad dan Abu Dawud]
Inilah yang dilakukan oleh para sahabat pada perang tabuk. Baik yang kaya maupun miskin berusaha berinfaq sesuai kemampuan mereka, meski apa yang mereka lakukan mendapat cibiran dari orang munafiq. Kepada orang kaya yang menyumbang harta berlimpah, dikatakan sebagai riya’. Adapun orang miskin yang memberi sedikit, dikomentarai bahwa Alloh tidak membutuhkan apa yang mereka infakkan. Akhirnya Alloh menurunkan ayat :
الَّذِيْنَ يَلْمِزُوْنَ الْمُطَّوِعِيْنَ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ فِى الصَّدَقَاتِ وَالَّذِيْنَ لاَيَجِدُوْنَ إلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُوْنَ مِنْهُمْ سَخِرَ الله مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ ألِيْمٌ
(orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih [attaubah : 79]
Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 11/364
Kefakiran identik dengan sedikitmya harta. Ia adalah takdir yang sudah diukur sesuai dengan keadilan Alloh. Kemiskinan tidak menghalangi seseorang untuk beramal solih. Ketika kita adalah orang yang tak punya maka islam mengajarkan :
1. Melihat orang yang lebih sedikit harta dibanding kita.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda : Jika salah seorang diantara kalian melihat orang yang dilebihkan harta dan fisiknya, maka hendaknya dia melihat orang yang ada dibawahnya [HR Bukhori Muslim]
Ibnu Hajar Al Atsqolani berkata : hadits ini menerangkan tentang addawa’ (obat) bagi Addaa’ (penyakit). Seseorang bila melihat orang yang berada di atas dalam harta, tidak akan aman dari pengaruh hasad. Maka obatnya adalah melihat orang yang berada di bawahnya agar menjadi motifasi bagi dirinya untuk bersyukur. Pada riwayat marfu’ dari Amru bin Syuaib disebutkan : ada dua hal yang yang Alloh tetapkan sebagai hamba yang bersyukur dan sabar. Barangsiapa melihat dunianya kepada orang yang ada di bawahnya lalu ia bertahmid memuji Alloh atas karunia yang Alloh berikan padanya dan yang kedua, orang yang melihat dinnya kepada orang yang ada di atasnya lalu menirunya. Adapun orang yang melihat dunianya kepada orang yang ada di atasnya maka ia akan merana dengan apa yang ia tidak miliki. Maka hal itu tidak dicatat baginya sebagai orang yang sabar dan syukur.
2. Iffah (menjaga kehormatan)
Dengan tidak mudah meminta belas kasihan dari orang lain. Prinsip seperti ini mendorong untuk berusaha bekerja dan hidup mandiri.
عن أبى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي تَرُدُّهُ الْأُكْلَةَ وَالْأُكْلَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَيْسَ لَهُ غِنًى وَيَسْتَحْيِي أَوْ لَا يَسْأَلُ النَّاسَ إِلْحَافًا
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam : Bukanlah disebut miskin orang yang bisa diatasi dengan satu atau dua suap makanan. Akan tetapi yang disebut miskin adalah orang yang tidak memiliki kecukupan namun dia menahan diri (malu) atau orang yang tidak meminta-minta secara mendesak [HR Bukhori]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ ثُمَّ يَغْدُوَ أَحْسِبُهُ قَالَ إِلَى الْجَبَلِ فَيَحْتَطِبَ فَيَبِيعَ فَيَأْكُلَ وَيَتَصَدَّقَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda : Sungguh seorang dari kalian yang mengambil talinya lalu pergi. Kata Beliau; ke gunung lalu dia mencari kayu bakar kemudian dia menjualnya lalu dari dia dapat makan dan bershadaqah lebih baik baginya daripada meminta manusia [HR Bukhori]
3. Berusaha tetap berinfaq sesuai kemampuan
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اَللَّهِ: أَيُّ اَلصَّدَقَةِ أَفْضَلُ ? قَالَ جُهْدُ اَلْمُقِلِّ, وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya : Wahai Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sedekah apakah yang paling mulia ? Beliau menjawab : Sedekah orang yang tak punya, dan mulailah (memberi sedekah) atas orang yang banyak tanggungannya. [HR Ahmad dan Abu Dawud]
Inilah yang dilakukan oleh para sahabat pada perang tabuk. Baik yang kaya maupun miskin berusaha berinfaq sesuai kemampuan mereka, meski apa yang mereka lakukan mendapat cibiran dari orang munafiq. Kepada orang kaya yang menyumbang harta berlimpah, dikatakan sebagai riya’. Adapun orang miskin yang memberi sedikit, dikomentarai bahwa Alloh tidak membutuhkan apa yang mereka infakkan. Akhirnya Alloh menurunkan ayat :
الَّذِيْنَ يَلْمِزُوْنَ الْمُطَّوِعِيْنَ مِنَ الْمُؤمِنِيْنَ فِى الصَّدَقَاتِ وَالَّذِيْنَ لاَيَجِدُوْنَ إلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُوْنَ مِنْهُمْ سَخِرَ الله مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ ألِيْمٌ
(orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih [attaubah : 79]
Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 11/364
Harta Dalam Pandangan Islam (34)
Jihad Harta Didahulukan Atas Jihad Nyawa
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan nyawamu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [attaubah : 41]
Harta dan nyawa dalam jihad memiliki kedudukan yang penting. Dengan harta kita memiliki senjata, transportasi dan perbekalan makanan yang dibutuhkan para mujahid. Akan tetapi orang yang siap mengorbankan nyawanya tentu tak kalah penting. Tak aneh bila Alloh sering menyandingkan jihad harta dan nyawa dalam satu ayat.
Dalam ayat, harta didahulukan atas nyawa. Sebagian ulama tidak membahas hikmah di balik pendahuluan ini. Penulis tafsir Zaadul Masir mengutip perkataan Qodli Abu Ya’la : Alloh mewajibkan jihad dengan harta dan nyawa secara bersamaan. Barangsiapa yang memiliki harta sementara dirinya sakit atau atau lemah sehingga tidak mampu berangkat berperang maka baginya melaksanakan jihad dengan harta dengan cara memberikan kepada orang lain sesuatu sehingga berangkat berperang. Bila memiliki kekuatan untuk berangkat maka baginya berperang. Bila dirinya memiliki kekuatan dan harta maka dirinya harus berjihad dengan keduanya. Adapun bila kondisi lemah dan tak berharta, maka ia berjihad dengan cara nasehat untuk Alloh dan rosulNya.
Sebagian ulama lain menerangkan adanya hikmah di balik pendahuluan jihad harta atas nyawa. Ibnu Athiyyah berkata : penyebutan harta didahulukan karena hartalah yang pertama kali diurusi pada saat persiapan.
Ada juga yang berpendapat bahwa bila seseorang dalam urusan harta saja sudah pelit, tidak mau berkorban maka ia akan jauh lebih pelit untuk mengorbankan nyawanya. Oleh karena itu infak harta adalah sarana melatih untuk siap kehilangan sesuatu yang dimiliki.
Ketika jihad harta dan nyawa Alloh sandingkan dalam ayat, rosululloh shollallohu alaihi wasallam menyandingkannya dalam doa :
عن أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
Dari Anas bin Malik dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan : "ALLAHUMMA INII A'UUDZUBIKA MINAL HAMMI WAL HAZANI WAL 'AJZI WAL KASALI WALJUBNI WALBUKHLI WADLALA'ID DAINI WAGHALABATIR RIJAALI (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari was-was dan rasa sedih, lemah dan malas, aljubnu (pengecut) dan (albukhlu) kikir dan terlilit hutang serta dikuasai musuh. [HR Bukhori Muslim]
Ibnu Qoyyim berkata : Aljubnu (pengecut) dan albukhlu (pelit) memiliki kesamaan makna. Bila ketakutan itu berkaitan dengan tubuh (takut luka, sakit dan lainnya) maka ia disebut aljubnu. Sementara kalau ketakutan itu berkaitan dengan berkurangnya harta maka disebut albukhlu.
Maroji’ :
Zadul Masir (maktabah syamilah) 3/180
Ibnu Athiyyah (maktabah syamilah) 3/258
Adda’ Waddawa’, Ibnu Qoyyim Aljauziyyah hal 112
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan nyawamu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [attaubah : 41]
Harta dan nyawa dalam jihad memiliki kedudukan yang penting. Dengan harta kita memiliki senjata, transportasi dan perbekalan makanan yang dibutuhkan para mujahid. Akan tetapi orang yang siap mengorbankan nyawanya tentu tak kalah penting. Tak aneh bila Alloh sering menyandingkan jihad harta dan nyawa dalam satu ayat.
Dalam ayat, harta didahulukan atas nyawa. Sebagian ulama tidak membahas hikmah di balik pendahuluan ini. Penulis tafsir Zaadul Masir mengutip perkataan Qodli Abu Ya’la : Alloh mewajibkan jihad dengan harta dan nyawa secara bersamaan. Barangsiapa yang memiliki harta sementara dirinya sakit atau atau lemah sehingga tidak mampu berangkat berperang maka baginya melaksanakan jihad dengan harta dengan cara memberikan kepada orang lain sesuatu sehingga berangkat berperang. Bila memiliki kekuatan untuk berangkat maka baginya berperang. Bila dirinya memiliki kekuatan dan harta maka dirinya harus berjihad dengan keduanya. Adapun bila kondisi lemah dan tak berharta, maka ia berjihad dengan cara nasehat untuk Alloh dan rosulNya.
Sebagian ulama lain menerangkan adanya hikmah di balik pendahuluan jihad harta atas nyawa. Ibnu Athiyyah berkata : penyebutan harta didahulukan karena hartalah yang pertama kali diurusi pada saat persiapan.
Ada juga yang berpendapat bahwa bila seseorang dalam urusan harta saja sudah pelit, tidak mau berkorban maka ia akan jauh lebih pelit untuk mengorbankan nyawanya. Oleh karena itu infak harta adalah sarana melatih untuk siap kehilangan sesuatu yang dimiliki.
Ketika jihad harta dan nyawa Alloh sandingkan dalam ayat, rosululloh shollallohu alaihi wasallam menyandingkannya dalam doa :
عن أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
Dari Anas bin Malik dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengucapkan : "ALLAHUMMA INII A'UUDZUBIKA MINAL HAMMI WAL HAZANI WAL 'AJZI WAL KASALI WALJUBNI WALBUKHLI WADLALA'ID DAINI WAGHALABATIR RIJAALI (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari was-was dan rasa sedih, lemah dan malas, aljubnu (pengecut) dan (albukhlu) kikir dan terlilit hutang serta dikuasai musuh. [HR Bukhori Muslim]
Ibnu Qoyyim berkata : Aljubnu (pengecut) dan albukhlu (pelit) memiliki kesamaan makna. Bila ketakutan itu berkaitan dengan tubuh (takut luka, sakit dan lainnya) maka ia disebut aljubnu. Sementara kalau ketakutan itu berkaitan dengan berkurangnya harta maka disebut albukhlu.
Maroji’ :
Zadul Masir (maktabah syamilah) 3/180
Ibnu Athiyyah (maktabah syamilah) 3/258
Adda’ Waddawa’, Ibnu Qoyyim Aljauziyyah hal 112
Harta Dalam Pandangan Islam (33)
Waris Atau Hutang Yang Didahulukan ?
Setelah penguburan, keluarga biasa berembuk tentang status harta yang ditinggalkan si mayit. Islam menetapkan bahwa waris hanya dibagi kepada yang berhak setelah urusan hutang dan wasiat selesai dituntaskan. Hal ini berdasar firman Alloh :
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya [annisa’ : 11]
Ayat di atas berbicara tentang pembagian waris. Hal itu dilakukan manakala dua hal yang sangat prinsip diselesaikan, yaitu hutang dan wasiat. Oleh karena itu urut-urutan penyelesaiannya adalah : hutang, wasiat dan terakhir pembagian waris.
Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : pembagian waris di atas hanya bisa dilaksanakan bila telah diselesaikan hutang si mayit baik hutang yang berkenaan dengan Alloh atau hak sesama manusia dan telah rampungnya penyelesaian wasiat yang telah disampaikan si mayit yang harus dilaksanakan sesudah kematiannya. Bila telah selesai dan masih ada sisa maka menjadi hak ahli waris sebagai tirkah (harta warisan)
Maroji’ :
Taisir Kalim Arrohman, Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 1/243
Setelah penguburan, keluarga biasa berembuk tentang status harta yang ditinggalkan si mayit. Islam menetapkan bahwa waris hanya dibagi kepada yang berhak setelah urusan hutang dan wasiat selesai dituntaskan. Hal ini berdasar firman Alloh :
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya [annisa’ : 11]
Ayat di atas berbicara tentang pembagian waris. Hal itu dilakukan manakala dua hal yang sangat prinsip diselesaikan, yaitu hutang dan wasiat. Oleh karena itu urut-urutan penyelesaiannya adalah : hutang, wasiat dan terakhir pembagian waris.
Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : pembagian waris di atas hanya bisa dilaksanakan bila telah diselesaikan hutang si mayit baik hutang yang berkenaan dengan Alloh atau hak sesama manusia dan telah rampungnya penyelesaian wasiat yang telah disampaikan si mayit yang harus dilaksanakan sesudah kematiannya. Bila telah selesai dan masih ada sisa maka menjadi hak ahli waris sebagai tirkah (harta warisan)
Maroji’ :
Taisir Kalim Arrohman, Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 1/243
Harta Dalam Pandangan Islam (32)
Hutang Dan Infak, Mana Yang Didahulukan ?
Sesorang yang belum selesai pelunasan hutangnya, berencana untuk berinfaq dengan harapan Alloh akan gantikan hartanya dengan yang lebih baik selanjutnya iapun akan bisa melunasi hutang-hutangnya. Logika seperti ini nampak benar, akan tetapi rosululloh shollallohu alaihi wasallam memberi contoh bahwa hutang didahulukan atas infaq sebagaimana nasehat beliau kepada Abu Dzar :
عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ قَالَ قَالَ أَبُو ذَرٍّ كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَرَّةِ الْمَدِينَةِ فَاسْتَقْبَلَنَا أُحُدٌ فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ عِنْدِي مِثْلَ أُحُدٍ هَذَا ذَهَبًا تَمْضِي عَلَيَّ ثَالِثَةٌ وَعِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ إِلَّا شَيْئًا أَرْصُدُهُ لِدَيْنٍ إِلَّا أَنْ أَقُولَ بِهِ فِي عِبَادِ اللَّهِ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ وَمِنْ خَلْفِهِ
Dari Al A'masy dari Zaid bin Wahb dia berkata; Abu Dzar berkata ; Aku pernah jalan-jalan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di Harrah Madinah (tempat yang banyak bebatuan hitamnya), lalu kami menghadap ke arah gunung Uhud, beliau pun bersabda : Wahai Abu Dzar ! Jawabku ; Baik, ya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau melanjutkan ; Aku tidak suka bila emas sebesar gunung Uhud ini menjadi milikku dan bermalam di rumahku hingga tiga malam, kemudian aku mempunyai satu dinar darinya, kecuali satu dinar tersebut akan gunakan untuk membayar hutangku. Atau akan memberikannya kepada hamba-hamba Allah begini, begini dan begini.' -Beliau lantas mendemontrasikan (dengan genggaman tangannya) ke kanan, kiri dan ke belakangnya [HR Bukhori Muslim]
Ibnu Hajar Al Atsqolani berkata tentang hadits di atas :
وَفِيْهِ تَقْدِيْمُ وَفَاءِ الدَّيْنِ عَلَى صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ
Hadits ini mengandung pelajaran akan perintah mendahulukan pelunasan hutang atas shodaqoh sunnah
Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 11/305
Sesorang yang belum selesai pelunasan hutangnya, berencana untuk berinfaq dengan harapan Alloh akan gantikan hartanya dengan yang lebih baik selanjutnya iapun akan bisa melunasi hutang-hutangnya. Logika seperti ini nampak benar, akan tetapi rosululloh shollallohu alaihi wasallam memberi contoh bahwa hutang didahulukan atas infaq sebagaimana nasehat beliau kepada Abu Dzar :
عَنْ زَيْدِ بْنِ وَهْبٍ قَالَ قَالَ أَبُو ذَرٍّ كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَرَّةِ الْمَدِينَةِ فَاسْتَقْبَلَنَا أُحُدٌ فَقَالَ يَا أَبَا ذَرٍّ قُلْتُ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا يَسُرُّنِي أَنَّ عِنْدِي مِثْلَ أُحُدٍ هَذَا ذَهَبًا تَمْضِي عَلَيَّ ثَالِثَةٌ وَعِنْدِي مِنْهُ دِينَارٌ إِلَّا شَيْئًا أَرْصُدُهُ لِدَيْنٍ إِلَّا أَنْ أَقُولَ بِهِ فِي عِبَادِ اللَّهِ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ وَمِنْ خَلْفِهِ
Dari Al A'masy dari Zaid bin Wahb dia berkata; Abu Dzar berkata ; Aku pernah jalan-jalan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di Harrah Madinah (tempat yang banyak bebatuan hitamnya), lalu kami menghadap ke arah gunung Uhud, beliau pun bersabda : Wahai Abu Dzar ! Jawabku ; Baik, ya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau melanjutkan ; Aku tidak suka bila emas sebesar gunung Uhud ini menjadi milikku dan bermalam di rumahku hingga tiga malam, kemudian aku mempunyai satu dinar darinya, kecuali satu dinar tersebut akan gunakan untuk membayar hutangku. Atau akan memberikannya kepada hamba-hamba Allah begini, begini dan begini.' -Beliau lantas mendemontrasikan (dengan genggaman tangannya) ke kanan, kiri dan ke belakangnya [HR Bukhori Muslim]
Ibnu Hajar Al Atsqolani berkata tentang hadits di atas :
وَفِيْهِ تَقْدِيْمُ وَفَاءِ الدَّيْنِ عَلَى صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ
Hadits ini mengandung pelajaran akan perintah mendahulukan pelunasan hutang atas shodaqoh sunnah
Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 11/305
Harta Dalam Pandangan Islam (31)
Harta Umat Islam Dari Orang Kafir
1. Ghonimah
Penulis tafsir ayat ahkam memberi definisi ghonimah dengan mengatakan :
ما أخذ من الكفار قهراً بطريق القتال والغلبة
apa yang diambil dari orang kafir secara paksa lewat peperangan dan penaklukkan
Status dari ghonimah adalah halal bagi umat rosululloh shollallohu alaihi wasallam sebagaimana sabda beliau :
عَنْ جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
Dari Jabir bin 'Abdullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci. Maka dimana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa'at, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia [HR Bukhori, Muslim, Ahmad dan Addarimi]
2. Fa’i
Sayyid Sabiq memberi definisi fa’i :
الْمَالُ الّذِى أخَذَهُ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ أعْدَاءِهِمْ دُوْنَ قِتَالٍ
Harta yang diambil kaum muslimin dari musuh-musuh mereka tanpa ada peperangan
Salah satu bentuk fa’i yang pernah didapat oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam adalah pada perang sawiq (gandum). Dituturkan oleh penulis arrohiq almakhtum bahwa Abu Sufyan mencoba untuk menyerang kota Madinah. 200 penunggang kuda ia kerahkan hingga tiba di gunung Tsaib, 12 mil dari kota Madinah. Saat mendengar kedatangan mereka, rosululloh shollallohu alaihi wasallam segera mengejar mereka. Pasukan kafirpun lari. Demi mempercepat langkah kuda, mereka menjatuhkan sawiq (gandum) yang merupakan bagian dari perbekalan mereka. Sampai di Qorqoroh Kudr, umat islam pulang dengan membawa gandum sehingga perang ini disebut ghozwatu sawiq.
3. Jizyah
Jizyah adalah pajak yang diberlakukan bagi ahlu dzimmah (orang kafir yang terlindungi) yang tinggal di negeri islam. Bagi kaum hali kitab diberi tiga opsi yang mereka pilih salah satunya, yaitu : masuk islam, membayar jizyah atau diperangi. Ayat yang mengaturnya adalah firman Alloh :
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk [attaubah : 29]
عَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَخَذَهَا يَعْنِي: اَلْجِزْيَةُ مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ
Dari Abdurrahman Ibnu 'Auf Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengambilnya, yaitu upeti, dari kaum Majusi Hajar [HR Bukhari]
Dalam madzhab Syafi’i sebagaimana yang dituturkan oleh pengarang Kifayatul Akhyar, prosedur diterimanya orang kafir tinggal di negeri islam adalah : Perkataan seorang imam atau yang mewakilinya “ Aku izinkan kalian tinggal di negeri islam dengan syarat kalian tunduk kepada hukum islam dan membayar jizyah setiap tahunnya sekian “. Ahlu dzimmahpun menjawab “ Saya terima atau saya ridlo “
Selanjutnya ketentuan pembayaran jizyah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khothob adalah : satu dinar bagi miskin yang memiliki pekerjaan, dua dinar bagi kalangan menengah dan empat dinar teruntuk orang kaya.
4. Salab
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menerangkan tentang salab dengan berkata : apa yang ada pada orang kafir yang terbunuh baik berupa pakaian, perhiasan, sabuk, baju besi, tameng, mahkota, sepatu, pedang, senapan, ikat pinggang meski terbuat dari emas, mobil, motor, pesawat yang digunakan untuk menyerang dan lainnya.
Pengarang Almizan Alkubro berpendapat bahwa dalam madzhab Syafi’i dan Hambali, salab berhak dimiliki oleh si pembunuh baik ada persetujuan dari pemimpin atau tidak. Adapun dalil tentang disyariatkannya salab adalah dua hadits di bawah ini :
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَضَى بِالسَّلَبِ لِلْقَاتِلِ
Dari 'Auf Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan harta rampasan perang itu bagi sang pembunuh [HR Muslim dan Abu Dawud]
َعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ رضي الله عنه فِي قِصَّةِ قَتْلِ أَبِي جَهْلٍ قَالَ فَابْتَدَرَاهُ بِسَيْفَيْهِمَا حَتَّى قَتَلَاهُ, ثُمَّ انْصَرَفَا إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَاهُ, فَقَالَ: أَيُّكُمَا قَتَلَهُ ? هَلْ مَسَحْتُمَا سَيْفَيْكُمَا ? قَالَا : لَا قَالَ: فَنَظَرَ فِيهِمَا, فَقَالَ: كِلَاكُمَا قَتَلَهُ, سَلْبُهُ لِمُعَاذِ بْنِ عَمْرِوِ بْنِ اَلْجَمُوحِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abdurrahman Ibnu 'Auf Radliyallaahu 'anhu tentang kisah pembunuhan Abu Jahal. Ia berkata : Mereka berdua (Mu'awwidz dan Mu'adz) saling berlomba memancungnya, hingga mereka membunuhnya. Kemudian mereka kembali kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan memberitahukan kepada beliau. Maka beliau bertanya : Siapakah di antara kamu berdua yang membunuhnya ? Apakah kalian sudah membersihkan pedang kalian ?. Mereka menjawab : Belum. Perawi berkata: Lalu beliau memeriksa pedang mereka dan bersabda : Kalian berdua telah membunuhnya. Kemudian beliau memutuskan bahwa harta rampasannya untuk Mu'adz Ibnu Amar Ibnu al-Jamuh. [Muttafaq Alaihi]
5. Fida’
Fida’ adalah tebusan tawanan perang dengan uang. Alloh berfirman :
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ
Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka [Muhammad : 4]
Berdasarkan ayat ini maka tawanan orang kafir bisa dilakukan satu di antara tiga tindakan, yaitu : dibunuh, fida’ (tebusan dengan sejumlah uang) atau almann (dibebaskan sesuai dengan kebijakan imam). Pengarang tafsir Zadul Masir berpendapat bahwa ayat diatas adalah muhkam bukan mansukh. Hal ini selaras dengan pendapat ibnu Umar, Mujahid, Hasan Albashri, Ibnu Sirin, Ahmad dan Syafi’i.
6. Khorroj dan usyr
al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh Negara) sedangkan al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam)
Maroji’ :
Tafsir Ayat Ahkam (maktabah syamilah) 1/272
Arrohiq Almakhtum, Syaikh Shofiyyurrohman Almubarokfuuri hal 288
Kifayatul Akhyar, Taqiyyuddin Abu Bakar Muhammad Alhusaini Alhishni 2/217
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 4/260
Almizan Alkubroabdul Wahhab bin Ahmad bin Ali Al Anshoriy 2/177
Zadul Masir (maktabah syamilah) 5/372
1. Ghonimah
Penulis tafsir ayat ahkam memberi definisi ghonimah dengan mengatakan :
ما أخذ من الكفار قهراً بطريق القتال والغلبة
apa yang diambil dari orang kafir secara paksa lewat peperangan dan penaklukkan
Status dari ghonimah adalah halal bagi umat rosululloh shollallohu alaihi wasallam sebagaimana sabda beliau :
عَنْ جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
Dari Jabir bin 'Abdullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci. Maka dimana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa'at, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia [HR Bukhori, Muslim, Ahmad dan Addarimi]
2. Fa’i
Sayyid Sabiq memberi definisi fa’i :
الْمَالُ الّذِى أخَذَهُ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ أعْدَاءِهِمْ دُوْنَ قِتَالٍ
Harta yang diambil kaum muslimin dari musuh-musuh mereka tanpa ada peperangan
Salah satu bentuk fa’i yang pernah didapat oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam adalah pada perang sawiq (gandum). Dituturkan oleh penulis arrohiq almakhtum bahwa Abu Sufyan mencoba untuk menyerang kota Madinah. 200 penunggang kuda ia kerahkan hingga tiba di gunung Tsaib, 12 mil dari kota Madinah. Saat mendengar kedatangan mereka, rosululloh shollallohu alaihi wasallam segera mengejar mereka. Pasukan kafirpun lari. Demi mempercepat langkah kuda, mereka menjatuhkan sawiq (gandum) yang merupakan bagian dari perbekalan mereka. Sampai di Qorqoroh Kudr, umat islam pulang dengan membawa gandum sehingga perang ini disebut ghozwatu sawiq.
3. Jizyah
Jizyah adalah pajak yang diberlakukan bagi ahlu dzimmah (orang kafir yang terlindungi) yang tinggal di negeri islam. Bagi kaum hali kitab diberi tiga opsi yang mereka pilih salah satunya, yaitu : masuk islam, membayar jizyah atau diperangi. Ayat yang mengaturnya adalah firman Alloh :
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk [attaubah : 29]
عَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَخَذَهَا يَعْنِي: اَلْجِزْيَةُ مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ
Dari Abdurrahman Ibnu 'Auf Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengambilnya, yaitu upeti, dari kaum Majusi Hajar [HR Bukhari]
Dalam madzhab Syafi’i sebagaimana yang dituturkan oleh pengarang Kifayatul Akhyar, prosedur diterimanya orang kafir tinggal di negeri islam adalah : Perkataan seorang imam atau yang mewakilinya “ Aku izinkan kalian tinggal di negeri islam dengan syarat kalian tunduk kepada hukum islam dan membayar jizyah setiap tahunnya sekian “. Ahlu dzimmahpun menjawab “ Saya terima atau saya ridlo “
Selanjutnya ketentuan pembayaran jizyah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khothob adalah : satu dinar bagi miskin yang memiliki pekerjaan, dua dinar bagi kalangan menengah dan empat dinar teruntuk orang kaya.
4. Salab
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menerangkan tentang salab dengan berkata : apa yang ada pada orang kafir yang terbunuh baik berupa pakaian, perhiasan, sabuk, baju besi, tameng, mahkota, sepatu, pedang, senapan, ikat pinggang meski terbuat dari emas, mobil, motor, pesawat yang digunakan untuk menyerang dan lainnya.
Pengarang Almizan Alkubro berpendapat bahwa dalam madzhab Syafi’i dan Hambali, salab berhak dimiliki oleh si pembunuh baik ada persetujuan dari pemimpin atau tidak. Adapun dalil tentang disyariatkannya salab adalah dua hadits di bawah ini :
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَضَى بِالسَّلَبِ لِلْقَاتِلِ
Dari 'Auf Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menetapkan harta rampasan perang itu bagi sang pembunuh [HR Muslim dan Abu Dawud]
َعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ رضي الله عنه فِي قِصَّةِ قَتْلِ أَبِي جَهْلٍ قَالَ فَابْتَدَرَاهُ بِسَيْفَيْهِمَا حَتَّى قَتَلَاهُ, ثُمَّ انْصَرَفَا إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخْبَرَاهُ, فَقَالَ: أَيُّكُمَا قَتَلَهُ ? هَلْ مَسَحْتُمَا سَيْفَيْكُمَا ? قَالَا : لَا قَالَ: فَنَظَرَ فِيهِمَا, فَقَالَ: كِلَاكُمَا قَتَلَهُ, سَلْبُهُ لِمُعَاذِ بْنِ عَمْرِوِ بْنِ اَلْجَمُوحِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abdurrahman Ibnu 'Auf Radliyallaahu 'anhu tentang kisah pembunuhan Abu Jahal. Ia berkata : Mereka berdua (Mu'awwidz dan Mu'adz) saling berlomba memancungnya, hingga mereka membunuhnya. Kemudian mereka kembali kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan memberitahukan kepada beliau. Maka beliau bertanya : Siapakah di antara kamu berdua yang membunuhnya ? Apakah kalian sudah membersihkan pedang kalian ?. Mereka menjawab : Belum. Perawi berkata: Lalu beliau memeriksa pedang mereka dan bersabda : Kalian berdua telah membunuhnya. Kemudian beliau memutuskan bahwa harta rampasannya untuk Mu'adz Ibnu Amar Ibnu al-Jamuh. [Muttafaq Alaihi]
5. Fida’
Fida’ adalah tebusan tawanan perang dengan uang. Alloh berfirman :
فَإِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا فَضَرْبَ الرِّقَابِ حَتَّى إِذَا أَثْخَنْتُمُوهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَ فَإِمَّا مَنًّا بَعْدُ وَإِمَّا فِدَاءً حَتَّى تَضَعَ الْحَرْبُ أَوْزَارَهَا ذَلِكَ وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لِيَبْلُوَ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍ وَالَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَنْ يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ
Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) Maka pancunglah batang leher mereka. sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka Maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka [Muhammad : 4]
Berdasarkan ayat ini maka tawanan orang kafir bisa dilakukan satu di antara tiga tindakan, yaitu : dibunuh, fida’ (tebusan dengan sejumlah uang) atau almann (dibebaskan sesuai dengan kebijakan imam). Pengarang tafsir Zadul Masir berpendapat bahwa ayat diatas adalah muhkam bukan mansukh. Hal ini selaras dengan pendapat ibnu Umar, Mujahid, Hasan Albashri, Ibnu Sirin, Ahmad dan Syafi’i.
6. Khorroj dan usyr
al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh Negara) sedangkan al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam)
Maroji’ :
Tafsir Ayat Ahkam (maktabah syamilah) 1/272
Arrohiq Almakhtum, Syaikh Shofiyyurrohman Almubarokfuuri hal 288
Kifayatul Akhyar, Taqiyyuddin Abu Bakar Muhammad Alhusaini Alhishni 2/217
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 4/260
Almizan Alkubroabdul Wahhab bin Ahmad bin Ali Al Anshoriy 2/177
Zadul Masir (maktabah syamilah) 5/372
Harta Dalam Pandangan Islam (30)
Mengembangkan Harta Dalam Islam
Tentu kita menginginkan harta yang kita miliki tidak diam. Kita menginginkannya agar selalu bertambah dan berkembang. Tanpa adanya perputaran, lambat laun apa yang kita miliki akan habis tak bersisa. Islam memberi petunjuk kepada kita dengan sebaik-baik petunjuk. Di antara cara yang diajarkan oleh din ini adalah :
1. Shodaqoh
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya [HR Muslim]
Sepintas seolah mustahil, bagaimana mungkin bisa terjadi, harta berkurang justru akan bertambah dan berkembang. Si miskin yang merasa telah mendapat manfaat dari bantuan si kaya tentu akan berdoa demi kebaikan si pemberi. Sementara makhluq lain yang tidak pernah berbuat maksiat, yaitu malaikat senantiasa berdoa bagi yang gemar bersodaqoh sebagaimana diterangkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم ما من يوم يصبح العباد فيه إلا ملكان ينزلان فيقول أحدهما اللهم أعط منفقاً خلفاً ويقول الآخر اللهم أعط ممسكاً تلفاً مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
Dari Abu Huroiroh rodliyallohu anhu : bersabda rosululloh shollallohu alaihi wasallam : tidaklah hari dimana pagi tiba kecuali ada dua malaikat yang turun. Satu dari malaikat berdoa : Ya Alloh berikan kepada yang gemar berinfak penggantian. Sedang malaikat yang kedua berdoa : Ya Alloh jadikan orang yang pelit hartanya binasa [muttafaq alaih]
Tak ketinggalan Alloh memberi jaminan :
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa [albaqoroh : 276]
Penulis tafsir ayat ahkam menerangkan maksud kata yurbish shodaqoot (Alloh mengembangkan shodaqoh) : yaitu : Alloh akan menambah dan mengembangkannya serta melipatgandakan pahalanya di akhirat. Dari keterangan ini disimpulkan bahwa orang yang rajin bershodaqoh akan beroleh dua keuntungan : dunia berupa dikembangkan dan ditambah oleh Alloh, kedua berupa keuntungan akhirat dengan lipat ganda pahala.
2. Jual beli
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata,: Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam telah bersabda : Barangsiapa yang bershadaqah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kananNya lalu mengasuhnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya hingga membesar seperti gunung [HR Bukhori]
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ ? قَالَ: ( عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ ) رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ
Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya : Pekerjaan apakah yang paling baik ?. Beliau bersabda : Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih [HR al-Bazzar]
Dengan transaksi jual beli maka roda ekonomi akan terus berputar. Satu benda dengan harga tertentu akan bertambah nilainya manakala dilempar kepada orang lain lewat jual beli. Hal itulah yang pernah terjadi pada diri Urwah Albariqi :
عَنْ عُرْوَةَ الْبَارِقِيِّ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي بِهِ أُضْحِيَّةً, أَوْ شَاةً, فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ, فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ, فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ, فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ, فَكَانَ لَوْ اِشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ. وَقَدْ أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ ضِمْنَ حَدِيثٍ, وَلَمْ يَسُقْ لَفْظَهُ
Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor hewan kurban atau kambing. Ia membeli dengan uang tersebut dua ekor kambing dan menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang kepada beliau dengan seekor kambing dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual-belinya diberkahi Allah, sehingga kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh keuntungan. [HR Imam Lima kecuali Nasa'i]
3. Musyarokah dan mudlorobah
Kedua kata di atas memiliki kemiripan makna. Musyarokah yang terkadang disebut juga dengan syirkah adalah berkumpulnya dua orang atau lebih atas harta yang mereka miliki masing-masing untuk dikembangkan baik dengan cara jual beli, produksi atau pertanian dan tentu keuntungan akan dibagi di antara mereka sesuai besarnya saham yang mereka keluarkan.
Adapun mudlorobah adalah : seseorang yang menyerahkan hartanya kepada seseorang untuk dikembangkan dan selanjutnya dibagi antara keduanya sesuai syarat-syarat yang telah disepakati oleh keduanya.
Dua akad ini sangat bermanfaat. Terkadang seseorang tidak mampu mengembangkan harta sendirian kecuali setelah bertemu dan berkumpul dengan orang lain. Dalam kasus lain ada orang yang mempunyai ketrampilan akan tetapi tidak memiliki modal usaha sementara di pihak lain ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak tahu bagaimana cara mengembangkannya karena tidak memiliki skil usaha. Kedua muamalah di atas sudah ada sejak rosululloh shollallohu alaihi wasallam masih hidup sebagaimana yang ditunjukkkan oleh hadits di bawah ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( قَالَ اَللَّهُ: أَنَا ثَالِثُ اَلشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَإِذَا خَانَ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Allah berfirman: Aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan) mereka. [HR Abu Dawud]
عَنْ اَلسَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ اَلْمَخْزُومِيِّ ( أَنَّهُ كَانَ شَرِيكَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَبْلَ اَلْبَعْثَةِ, فَجَاءَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ, فَقَالَ: مَرْحَباً بِأَخِي وَشَرِيكِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَةَ
Dari al-Saib al-Mahzumy Radliyallaahu 'anhu bahwa ia dahulu adalah sekutu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Ketika ia datang pada hari penaklukan kota Mekkah, beliau bersabda : Selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku [HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah]
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ اِشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ فِيمَا نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku, Ammar, dan Sa'ad bersekutu dalam harta rampasan yang akan kami peroleh dari perang Badar [HR Nasa'i]
4. Musaqot dan muzaro’ah
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin memberi definisi tentang musaqot dengan mengatakan : menyerahkan pohon kepada orang lain untuk dipelihara dengan imbalan sebagian dari hasil pohon yang dipelihara. Adapun Muzaroah, sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam adalah menyerahkan tanah kepada seseorang untuk ditanami dengan imbalan dari hasil yang dicapai darinya.
Hal ini terjadi manakala seorang yang memiliki tanah yang subur akan tetapi buta dengan ilmu pertanian. Selanjutnya ia percayakan pengelolaannya kepada petani yang sudah mengenal dengan baik seluk beluk tanaman. Diantara dalil disyariatkannya akad ini adalah :
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ, أَوْ زَرْعٍ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا: فَسَأَلُوا أَنْ يُقِرَّهُمْ بِهَا عَلَى أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ اَلثَّمَرِ, فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا, فَقَرُّوا بِهَا, حَتَّى أَجْلَاهُمْ عُمَرُ ). وَلِمُسْلِمٍ: ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ, وَلَهُ شَطْرُ ثَمَرِهَا
)
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah-buahan dan tanaman. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Bukhari-Muslim : Mereka meminta beliau menetapkan mereka mengerjakan tanah (Khaibar) dengan memperoleh setengah dari hasil kurma, maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Kami tetapkan kalian dengan ketentuan seperti itu selama kami menghendaki. Lalu mereka mengakui dengan ketetapan itu samapi Umar mengusir mereka. Menurut riwayat Muslim : Bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberikan pohon kurma dan tanah Khaibar kepada kaum Yahudi di Khaibar dengan perjanjian mereka mengerjakan dengan modal mereka dan bagi mereka setengah dari hasil buahnya
5. Ihyaul mawat (menghidupkan tanah tak bertuan)
Tanah tak bertuan bila dikelola akan mendatangkan manfaat. Tentunya yang melakukannya adalah orang yang bisa dipercaya. Pengarang kitab kifayatul Akhyar menerangkan bahwa tanah tersebut menjadi hak bagi yang menghidupkannya. Ihyaul mawat tidak boleh dilakukan oleh orang kafir dzammi kalau tanah yang ia ambil berada di negeri muslim, akan tetapi bila tanah itu berada di negeri kafir maka hak bagi mereka untuk mengambilnya. Landasan syar’i dalam masalah ini adalah :
عَنْ عُرْوَةَ, عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا-; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنْ عَمَّرَ أَرْضاً لَيْسَتْ لِأَحَدٍ, فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا ) قَالَ عُرْوَةُ: وَقَضَى بِهِ عُمَرُ فِي خِلَافَتِهِ. رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Urwah, dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa memakmurkan tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun maka ia lebih berhak dengan tanah tersebut. Urwah berkata : Umar memberlakukan hukum itu pada masa khilafahnya. [HR Bukhari]
Maroji’ :
Tafsir Ayat Ahkam (maktabah syamilah) 1/170
Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi hal 332 dan 334
Syarhul Mumthi’ ‘Ala Zadil Mustqni’, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 4/286
Taisirul Alam Syarh Umdatul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam hal 386
Kifayatul Akhyar, Al Imam Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad Alhusaini 1/316
Tentu kita menginginkan harta yang kita miliki tidak diam. Kita menginginkannya agar selalu bertambah dan berkembang. Tanpa adanya perputaran, lambat laun apa yang kita miliki akan habis tak bersisa. Islam memberi petunjuk kepada kita dengan sebaik-baik petunjuk. Di antara cara yang diajarkan oleh din ini adalah :
1. Shodaqoh
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
Dari Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya [HR Muslim]
Sepintas seolah mustahil, bagaimana mungkin bisa terjadi, harta berkurang justru akan bertambah dan berkembang. Si miskin yang merasa telah mendapat manfaat dari bantuan si kaya tentu akan berdoa demi kebaikan si pemberi. Sementara makhluq lain yang tidak pernah berbuat maksiat, yaitu malaikat senantiasa berdoa bagi yang gemar bersodaqoh sebagaimana diterangkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
وعن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قال قال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم ما من يوم يصبح العباد فيه إلا ملكان ينزلان فيقول أحدهما اللهم أعط منفقاً خلفاً ويقول الآخر اللهم أعط ممسكاً تلفاً مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
Dari Abu Huroiroh rodliyallohu anhu : bersabda rosululloh shollallohu alaihi wasallam : tidaklah hari dimana pagi tiba kecuali ada dua malaikat yang turun. Satu dari malaikat berdoa : Ya Alloh berikan kepada yang gemar berinfak penggantian. Sedang malaikat yang kedua berdoa : Ya Alloh jadikan orang yang pelit hartanya binasa [muttafaq alaih]
Tak ketinggalan Alloh memberi jaminan :
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa [albaqoroh : 276]
Penulis tafsir ayat ahkam menerangkan maksud kata yurbish shodaqoot (Alloh mengembangkan shodaqoh) : yaitu : Alloh akan menambah dan mengembangkannya serta melipatgandakan pahalanya di akhirat. Dari keterangan ini disimpulkan bahwa orang yang rajin bershodaqoh akan beroleh dua keuntungan : dunia berupa dikembangkan dan ditambah oleh Alloh, kedua berupa keuntungan akhirat dengan lipat ganda pahala.
2. Jual beli
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَصَدَّقَ بِعَدْلِ تَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ وَلَا يَقْبَلُ اللَّهُ إِلَّا الطَّيِّبَ وَإِنَّ اللَّهَ يَتَقَبَّلُهَا بِيَمِينِهِ ثُمَّ يُرَبِّيهَا لِصَاحِبِهِ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata,: Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam telah bersabda : Barangsiapa yang bershadaqah dengan sebutir kurma hasil dari usahanya sendiri yang baik (halal), sedangkan Allah tidak menerima kecuali yang baik saja, maka sungguh Allah akan menerimanya dengan tangan kananNya lalu mengasuhnya untuk pemiliknya sebagaimana jika seorang dari kalian mengasuh anak kudanya hingga membesar seperti gunung [HR Bukhori]
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ ? قَالَ: ( عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ ) رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ
Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya : Pekerjaan apakah yang paling baik ?. Beliau bersabda : Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih [HR al-Bazzar]
Dengan transaksi jual beli maka roda ekonomi akan terus berputar. Satu benda dengan harga tertentu akan bertambah nilainya manakala dilempar kepada orang lain lewat jual beli. Hal itulah yang pernah terjadi pada diri Urwah Albariqi :
عَنْ عُرْوَةَ الْبَارِقِيِّ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي بِهِ أُضْحِيَّةً, أَوْ شَاةً, فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ, فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ, فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ, فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ, فَكَانَ لَوْ اِشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ. وَقَدْ أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ ضِمْنَ حَدِيثٍ, وَلَمْ يَسُقْ لَفْظَهُ
Dari Urwah al-Bariqy Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor hewan kurban atau kambing. Ia membeli dengan uang tersebut dua ekor kambing dan menjual salah satunya dengan harga satu dinar. Lalu ia datang kepada beliau dengan seekor kambing dan satu dinar. Beliau mendoakan agar jual-belinya diberkahi Allah, sehingga kalaupun ia membeli debu, ia akan memperoleh keuntungan. [HR Imam Lima kecuali Nasa'i]
3. Musyarokah dan mudlorobah
Kedua kata di atas memiliki kemiripan makna. Musyarokah yang terkadang disebut juga dengan syirkah adalah berkumpulnya dua orang atau lebih atas harta yang mereka miliki masing-masing untuk dikembangkan baik dengan cara jual beli, produksi atau pertanian dan tentu keuntungan akan dibagi di antara mereka sesuai besarnya saham yang mereka keluarkan.
Adapun mudlorobah adalah : seseorang yang menyerahkan hartanya kepada seseorang untuk dikembangkan dan selanjutnya dibagi antara keduanya sesuai syarat-syarat yang telah disepakati oleh keduanya.
Dua akad ini sangat bermanfaat. Terkadang seseorang tidak mampu mengembangkan harta sendirian kecuali setelah bertemu dan berkumpul dengan orang lain. Dalam kasus lain ada orang yang mempunyai ketrampilan akan tetapi tidak memiliki modal usaha sementara di pihak lain ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak tahu bagaimana cara mengembangkannya karena tidak memiliki skil usaha. Kedua muamalah di atas sudah ada sejak rosululloh shollallohu alaihi wasallam masih hidup sebagaimana yang ditunjukkkan oleh hadits di bawah ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( قَالَ اَللَّهُ: أَنَا ثَالِثُ اَلشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَإِذَا خَانَ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Allah berfirman: Aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan) mereka. [HR Abu Dawud]
عَنْ اَلسَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ اَلْمَخْزُومِيِّ ( أَنَّهُ كَانَ شَرِيكَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَبْلَ اَلْبَعْثَةِ, فَجَاءَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ, فَقَالَ: مَرْحَباً بِأَخِي وَشَرِيكِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَةَ
Dari al-Saib al-Mahzumy Radliyallaahu 'anhu bahwa ia dahulu adalah sekutu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Ketika ia datang pada hari penaklukan kota Mekkah, beliau bersabda : Selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku [HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah]
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ اِشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ فِيمَا نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku, Ammar, dan Sa'ad bersekutu dalam harta rampasan yang akan kami peroleh dari perang Badar [HR Nasa'i]
4. Musaqot dan muzaro’ah
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin memberi definisi tentang musaqot dengan mengatakan : menyerahkan pohon kepada orang lain untuk dipelihara dengan imbalan sebagian dari hasil pohon yang dipelihara. Adapun Muzaroah, sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam adalah menyerahkan tanah kepada seseorang untuk ditanami dengan imbalan dari hasil yang dicapai darinya.
Hal ini terjadi manakala seorang yang memiliki tanah yang subur akan tetapi buta dengan ilmu pertanian. Selanjutnya ia percayakan pengelolaannya kepada petani yang sudah mengenal dengan baik seluk beluk tanaman. Diantara dalil disyariatkannya akad ini adalah :
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ, أَوْ زَرْعٍ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةٍ لَهُمَا: فَسَأَلُوا أَنْ يُقِرَّهُمْ بِهَا عَلَى أَنْ يَكْفُوا عَمَلَهَا وَلَهُمْ نِصْفُ اَلثَّمَرِ, فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( نُقِرُّكُمْ بِهَا عَلَى ذَلِكَ مَا شِئْنَا, فَقَرُّوا بِهَا, حَتَّى أَجْلَاهُمْ عُمَرُ ). وَلِمُسْلِمٍ: ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ, وَلَهُ شَطْرُ ثَمَرِهَا
)
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan memperoleh setengah dari hasilnya berupa buah-buahan dan tanaman. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat Bukhari-Muslim : Mereka meminta beliau menetapkan mereka mengerjakan tanah (Khaibar) dengan memperoleh setengah dari hasil kurma, maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Kami tetapkan kalian dengan ketentuan seperti itu selama kami menghendaki. Lalu mereka mengakui dengan ketetapan itu samapi Umar mengusir mereka. Menurut riwayat Muslim : Bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memberikan pohon kurma dan tanah Khaibar kepada kaum Yahudi di Khaibar dengan perjanjian mereka mengerjakan dengan modal mereka dan bagi mereka setengah dari hasil buahnya
5. Ihyaul mawat (menghidupkan tanah tak bertuan)
Tanah tak bertuan bila dikelola akan mendatangkan manfaat. Tentunya yang melakukannya adalah orang yang bisa dipercaya. Pengarang kitab kifayatul Akhyar menerangkan bahwa tanah tersebut menjadi hak bagi yang menghidupkannya. Ihyaul mawat tidak boleh dilakukan oleh orang kafir dzammi kalau tanah yang ia ambil berada di negeri muslim, akan tetapi bila tanah itu berada di negeri kafir maka hak bagi mereka untuk mengambilnya. Landasan syar’i dalam masalah ini adalah :
عَنْ عُرْوَةَ, عَنْ عَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا-; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنْ عَمَّرَ أَرْضاً لَيْسَتْ لِأَحَدٍ, فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا ) قَالَ عُرْوَةُ: وَقَضَى بِهِ عُمَرُ فِي خِلَافَتِهِ. رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Urwah, dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa memakmurkan tanah yang tidak dimiliki oleh siapapun maka ia lebih berhak dengan tanah tersebut. Urwah berkata : Umar memberlakukan hukum itu pada masa khilafahnya. [HR Bukhari]
Maroji’ :
Tafsir Ayat Ahkam (maktabah syamilah) 1/170
Minhajul Muslim, Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi hal 332 dan 334
Syarhul Mumthi’ ‘Ala Zadil Mustqni’, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 4/286
Taisirul Alam Syarh Umdatul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam hal 386
Kifayatul Akhyar, Al Imam Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad Alhusaini 1/316
Harta Dalam Pandangan Islam (29)
Harta Yang Tidak Perlu Dizakati
1. Semua harta yang tidak mencapai nishob
َعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنَ اَلْوَرِقِ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسٍ ذَوْدٍ مِنَ اَلْإِبِلِ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ مِنَ اَلتَّمْرِ صَدَقَةٌ ) رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Tak ada zakat pada perak yang kurang dari 5 auqiyah (600 gram), unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor, dan kurma yang kurang dari 5 ausaq (1050 liter) [HR Muslim]
2. Semua hasil bumi yang tidak ditakar, tidak bisa bertahan lama dan bukan makanan pokok
َوَلِلدَّارَقُطْنِيِّ, عَنْ مُعَاذٍ: ( فَأَمَّا اَلْقِثَّاءُ, وَالْبِطِّيخُ, وَالرُّمَّانُ, وَالْقَصَبُ, فَقَدْ عَفَا عَنْهُ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ) وَإِسْنَادُهُ ضَعِيف
ٌ
Menurut Daruquthni bahwa Mu'adz Radliyallaahu 'anhu berkata: Adapun mengenai ketimun, semangka, delima dan tebu, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah membebaskan (zakat)-nya. Sanadnya lemah.
3. Barang luqthoh
Dikecualikan pada harta rikaz
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم قَالَ وَفِي اَلرِّكَازِ: اَلْخُمُسُ مُتَّفَقٌ عَلَيْه
ِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Zakat rikaz (harta peninggalan purbakala) adalah seperlima. [Muttafaq Alaihi]
4. Hewan yang tidak ditujukan untuk peternakan
عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: ( لَيْسَ فِي اَلْبَقَرِ اَلْعَوَامِلِ صَدَقَةٌ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Ali Radliyallaahu 'anhu berkata : Tidak ada zakat atas sapi yang dipekerjakan [HR Abu Dawud]
5. Harta Yang tidak diniatkan untuk perdagangan
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin memberi contoh dengan berkata : seseorang membeli mobil yang digunakan untuk diperjualbelikan. Maka mobil ini dinilai barang dagangan sehingga bila mencapai nishob maka wajib mengeluarkan zakatnya. Adapun bila membeli mobil dengan tujuan sebagai kendaraan, di kemudian hari ia menjualnya maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengeluarkan zakat. Hal ini dikarenakan di saat hendak dimiliki dirinya tidak meniatkan untuk perdagangan.
Kendati demikian bila dengan kerelaan hati akhirnya kita mengeluarkan sedekah apa yang telah Alloh berikan kepada kita maka hal ini adalah lebih baik.
Maroji’ :
Syarhul Mumthi ‘Ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 2/665
1. Semua harta yang tidak mencapai nishob
َعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رضي الله عنه عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ مِنَ اَلْوَرِقِ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسٍ ذَوْدٍ مِنَ اَلْإِبِلِ صَدَقَةٌ, وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ مِنَ اَلتَّمْرِ صَدَقَةٌ ) رَوَاهُ مُسْلِم ٌ
Dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Tak ada zakat pada perak yang kurang dari 5 auqiyah (600 gram), unta yang jumlahnya kurang dari 5 ekor, dan kurma yang kurang dari 5 ausaq (1050 liter) [HR Muslim]
2. Semua hasil bumi yang tidak ditakar, tidak bisa bertahan lama dan bukan makanan pokok
َوَلِلدَّارَقُطْنِيِّ, عَنْ مُعَاذٍ: ( فَأَمَّا اَلْقِثَّاءُ, وَالْبِطِّيخُ, وَالرُّمَّانُ, وَالْقَصَبُ, فَقَدْ عَفَا عَنْهُ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ) وَإِسْنَادُهُ ضَعِيف
ٌ
Menurut Daruquthni bahwa Mu'adz Radliyallaahu 'anhu berkata: Adapun mengenai ketimun, semangka, delima dan tebu, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah membebaskan (zakat)-nya. Sanadnya lemah.
3. Barang luqthoh
Dikecualikan pada harta rikaz
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم قَالَ وَفِي اَلرِّكَازِ: اَلْخُمُسُ مُتَّفَقٌ عَلَيْه
ِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Zakat rikaz (harta peninggalan purbakala) adalah seperlima. [Muttafaq Alaihi]
4. Hewan yang tidak ditujukan untuk peternakan
عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: ( لَيْسَ فِي اَلْبَقَرِ اَلْعَوَامِلِ صَدَقَةٌ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Ali Radliyallaahu 'anhu berkata : Tidak ada zakat atas sapi yang dipekerjakan [HR Abu Dawud]
5. Harta Yang tidak diniatkan untuk perdagangan
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin memberi contoh dengan berkata : seseorang membeli mobil yang digunakan untuk diperjualbelikan. Maka mobil ini dinilai barang dagangan sehingga bila mencapai nishob maka wajib mengeluarkan zakatnya. Adapun bila membeli mobil dengan tujuan sebagai kendaraan, di kemudian hari ia menjualnya maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengeluarkan zakat. Hal ini dikarenakan di saat hendak dimiliki dirinya tidak meniatkan untuk perdagangan.
Kendati demikian bila dengan kerelaan hati akhirnya kita mengeluarkan sedekah apa yang telah Alloh berikan kepada kita maka hal ini adalah lebih baik.
Maroji’ :
Syarhul Mumthi ‘Ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 2/665
Harta Dalam Pandangan Islam (28)
Harta Yang Wajib Dizakati
1. Emas dan perak
Termasuk di dalamnya dinar dan dirham serta semua mata uang (rupiah, real, dolar dll)
عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ- فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ, وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا, وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ, فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ, فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ, وَلَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ اَلْحَوْلُ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
,
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Apabila engkau memiliki 200 dirham dan telah melewati satu tahun, maka zakatnya 5 dirham. Tidak wajib atasmu zakat kecuali engkau memiliki 20 dinar dan telah melewati setahun, maka zakatnya 1/2 dinar. Jika lebih dari itu, maka zakatnya menurut perhitungannya. Harta tidak wajib dikeluarkan zakat kecuali telah melewati setahun [HR Abu Dawud]
2. Peternakan
Seperti sapi, unta dan kambing
َوَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ أَبَا بَكْرٍ اَلصِّدِّيقَ رضي الله عنه كَتَبَ لَه ُ ( هَذِهِ فَرِيضَةُ اَلصَّدَقَةِ اَلَّتِي فَرَضَهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى اَلْمُسْلِمِينَ, وَاَلَّتِي أَمَرَ اَللَّهُ بِهَا رَسُولَه ُ فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنَ اَلْإِبِلِ فَمَا دُونَهَا اَلْغَنَم ُ فِي كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ, فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ أُنْثَى فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَابْنُ لَبُونٍ ذَكَر ٍ فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَثَلَاثِينَ إِلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُون ٍ أُنْثَى, فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَأَرْبَعِينَ إِلَى سِتِّينَ فَفِيهَا حِقَّةٌ طَرُوقَةُ اَلْجَمَل ِ فَإِذَا بَلَغَتْ وَاحِدَةً وَسِتِّينَ إِلَى خَمْسٍ وَسَبْعِينَ فَفِيهَا جَذَعَة ٌ فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَسَبْعِينَ إِلَى تِسْعِينَ فَفِيهَا بِنْتَا لَبُونٍ, فَإِذَا بَلَغَتْ إِحْدَى وَتِسْعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِيهَا حِقَّتَانِ طَرُوقَتَا اَلْجَمَلِ, فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ, وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ, وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ إِلَّا أَرْبَعٌ مِنَ اَلْإِبِلِ فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا وَفِي صَدَقَةِ اَلْغَنَمِ سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةِ شَاة ٍ شَاةٌ, فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ إِلَى مِائَتَيْنِ فَفِيهَا شَاتَانِ, فَإِذَا زَادَتْ عَلَى مِائَتَيْنِ إِلَى ثَلَاثمِائَةٍ فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاه ٍ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى ثَلَاثِمِائَةٍ فَفِي كُلِّ مِائَةٍ شَاةٌ، فَإِذَا كَانَتْ سَائِمَةُ اَلرَّجُلِ نَاقِصَةً مِنْ أَرْبَعِينَ شَاة ٍ شَاةً وَاحِدَةً فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ, إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا. وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ اَلصَّدَقَةِ, وَمَا كَانَ مِنْ خَلِيطَيْنِ فَإِنَّهُمَا يَتَرَاجَعَانِ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ, وَلَا يُخْرَجُ فِي اَلصَّدَقَةِ هَرِمَة ٌ وَلَا ذَاتُ عَوَارٍ, إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اَلْمُصَّدِّقُ، وَفِي اَلرِّقَة ِ رُبُعُ اَلْعُشْرِ, فَإِنْ لَمْ تَكُن ْ إِلَّا تِسْعِينَ وَمِائَةً فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا, وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنَ اَلْإِبِلِ صَدَقَةُ اَلْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ, فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ اَلْحِقَّةُ, وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنِ اِسْتَيْسَرَتَا لَهُ, أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا, وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ اَلْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ اَلْحِقَّةُ, وَعِنْدَهُ اَلْجَذَعَةُ, فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ اَلْجَذَعَةُ, وَيُعْطِيهِ اَلْمُصَّدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ
Dari Anas bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq Radliyallaahu 'anhu menulis surat kepadanya: Ini adalah kewajiban zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam atas kaum muslimin. Yang diperintahkan Allah atas rasul-Nya ialah setiap 24 ekor unta ke bawah wajib mengeluarkan kambing, yaitu setiap kelipatan lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua, jika tidak ada zakatnya seekor anak unta jantan yang umurnya telah menginjak tahun ketiga. Jika mencapai 36 hingga 45 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun ketiga. Jika mencapai 46 hingga 60 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah masuk tahun keempat dan bisa dikawini unta jantan. Jika mencapai 61 hingga 75 ekor unta, zakatnya seekor unta betina yang umurnya telah masuk tahun kelima. Jika mencapai 79 hingga 90 ekor unta, zakatnya dua ekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua. Jika mencapai 91 hingga 120 ekor unta, maka setiap 40 ekor zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga dan setiap 50 ekor zakatnya seekor unta betina yang umurnya masuk tahun keempat. Bagi yang hanya memiliki 4 ekor unta, tidak wajib atasnya zakat kecuali bila pemiliknya menginginkan. Mengenai zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika mencapai 40 hingga 120 ekor kambing, zakatnya seekor kambing. Jika lebih dari 120 hingga 200 ekor kambing, zakatnya dua ekor kambing. Jika lebih dari 200 hingga 300 kambing, zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari 300 ekor kambing, maka setiap 100 ekor zakatnya seekor kambing. Apabila jumlah kambing yang dilepas mencari makan sendiri kurang dari 40 ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menginginkan. Tidak boleh dikumpulkan antara hewan-hewan ternak terpisah dan tidak boleh dipisahkan antara hewan-hewan ternak yang terkumpul karena takut mengeluarkan zakat. Hewan ternak kumpulan dari dua orang, pada waktu zakat harus kembali dibagi rata antara keduanya. Tidak boleh dikeluarkan untuk zakat hewan yang tua dan yang cacat, dan tidak boleh dikeluarkan yang jantan kecuali jika pemiliknya menghendaki. Tentang zakat perak, setiap 200 dirham zakatnya seperempatnya (2 1/2%). Jika hanya 190 dirham, tidak wajib atasnya zakat kecuali bila pemiliknya menghendaki. Barangsiapa yang jumlah untanya telah wajib mengeluarkan seekor unta betina yang seumurnya masuk tahun kelima, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing jika tidak keberatan, atau 20 dirham. Barangsiapa yang sudah wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kelima, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing. [ HR Bukhari]
3. Hasil bumi
Hanya berlaku bagi hasil yang bisa ditakar, disimpan lama dan bersifat bahan pokok seperti beras, gandum, kurma dan lainnya. Adapun semangka, wortel dan sebangsanya tidak dikenakan zakat.
عَنْ أَبِي مُوسَى اَلْأَشْعَرِيِّ; وَمُعَاذٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهُمَا: ( لَا تَأْخُذَا فِي اَلصَّدَقَةِ إِلَّا مِنْ هَذِهِ اَلْأَصْنَافِ اَلْأَرْبَعَةِ: اَلشَّعِيرِ, وَالْحِنْطَةِ, وَالزَّبِيبِ, وَالتَّمْرِ ) رَوَاهُ اَلطَّبَرَانِيُّ, وَالْحَاكِم
ُ
Dari Abu Musa al-Asy'ary dan Mu'adz Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepada keduanya: Jangan mengambil zakat kecuali dari keempat jenis ini, yakni : sya'ir, gandum, anggur kering, dan kurma [HR Thabrani dan Hakim]
4. Barang rikaz
Barang temuan yang diyakini berasal dari kaum terdahulu
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ وَفِي اَلرِّكَازِ: اَلْخُمُسُ مُتَّفَقٌ عَلَيْه
ِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Zakat rikaz (harta peninggalan purbakala) adalah seperlima. [Muttafaq Alaihi]
5. Barang dagangan
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رضي الله عنه قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنَا; أَنْ نُخْرِجَ اَلصَّدَقَةَ مِنَ اَلَّذِي نَعُدُّهُ لِلْبَيْعِ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
ٌ
Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari harta yang kita siapkan untuk berjualan. [HR Abu Dawud]
1. Emas dan perak
Termasuk di dalamnya dinar dan dirham serta semua mata uang (rupiah, real, dolar dll)
عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ- فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ, وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَيْءٌ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا, وَحَالَ عَلَيْهَا اَلْحَوْلُ, فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ, فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ, وَلَيْسَ فِي مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ اَلْحَوْلُ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
,
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Apabila engkau memiliki 200 dirham dan telah melewati satu tahun, maka zakatnya 5 dirham. Tidak wajib atasmu zakat kecuali engkau memiliki 20 dinar dan telah melewati setahun, maka zakatnya 1/2 dinar. Jika lebih dari itu, maka zakatnya menurut perhitungannya. Harta tidak wajib dikeluarkan zakat kecuali telah melewati setahun [HR Abu Dawud]
2. Peternakan
Seperti sapi, unta dan kambing
َوَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ أَبَا بَكْرٍ اَلصِّدِّيقَ رضي الله عنه كَتَبَ لَه ُ ( هَذِهِ فَرِيضَةُ اَلصَّدَقَةِ اَلَّتِي فَرَضَهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى اَلْمُسْلِمِينَ, وَاَلَّتِي أَمَرَ اَللَّهُ بِهَا رَسُولَه ُ فِي أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ مِنَ اَلْإِبِلِ فَمَا دُونَهَا اَلْغَنَم ُ فِي كُلِّ خَمْسٍ شَاةٌ, فَإِذَا بَلَغَتْ خَمْسًا وَعِشْرِينَ إِلَى خَمْسٍ وَثَلَاثِينَ فَفِيهَا بِنْتُ مَخَاضٍ أُنْثَى فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فَابْنُ لَبُونٍ ذَكَر ٍ فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَثَلَاثِينَ إِلَى خَمْسٍ وَأَرْبَعِينَ فَفِيهَا بِنْتُ لَبُون ٍ أُنْثَى, فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَأَرْبَعِينَ إِلَى سِتِّينَ فَفِيهَا حِقَّةٌ طَرُوقَةُ اَلْجَمَل ِ فَإِذَا بَلَغَتْ وَاحِدَةً وَسِتِّينَ إِلَى خَمْسٍ وَسَبْعِينَ فَفِيهَا جَذَعَة ٌ فَإِذَا بَلَغَتْ سِتًّا وَسَبْعِينَ إِلَى تِسْعِينَ فَفِيهَا بِنْتَا لَبُونٍ, فَإِذَا بَلَغَتْ إِحْدَى وَتِسْعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِيهَا حِقَّتَانِ طَرُوقَتَا اَلْجَمَلِ, فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ فَفِي كُلِّ أَرْبَعِينَ بِنْتُ لَبُونٍ, وَفِي كُلِّ خَمْسِينَ حِقَّةٌ, وَمَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ إِلَّا أَرْبَعٌ مِنَ اَلْإِبِلِ فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا وَفِي صَدَقَةِ اَلْغَنَمِ سَائِمَتِهَا إِذَا كَانَتْ أَرْبَعِينَ إِلَى عِشْرِينَ وَمِائَةِ شَاة ٍ شَاةٌ, فَإِذَا زَادَتْ عَلَى عِشْرِينَ وَمِائَةٍ إِلَى مِائَتَيْنِ فَفِيهَا شَاتَانِ, فَإِذَا زَادَتْ عَلَى مِائَتَيْنِ إِلَى ثَلَاثمِائَةٍ فَفِيهَا ثَلَاثُ شِيَاه ٍ فَإِذَا زَادَتْ عَلَى ثَلَاثِمِائَةٍ فَفِي كُلِّ مِائَةٍ شَاةٌ، فَإِذَا كَانَتْ سَائِمَةُ اَلرَّجُلِ نَاقِصَةً مِنْ أَرْبَعِينَ شَاة ٍ شَاةً وَاحِدَةً فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ, إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا. وَلَا يُجْمَعُ بَيْنَ مُتَفَرِّقٍ وَلَا يُفَرَّقُ بَيْنَ مُجْتَمِعٍ خَشْيَةَ اَلصَّدَقَةِ, وَمَا كَانَ مِنْ خَلِيطَيْنِ فَإِنَّهُمَا يَتَرَاجَعَانِ بَيْنَهُمَا بِالسَّوِيَّةِ, وَلَا يُخْرَجُ فِي اَلصَّدَقَةِ هَرِمَة ٌ وَلَا ذَاتُ عَوَارٍ, إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اَلْمُصَّدِّقُ، وَفِي اَلرِّقَة ِ رُبُعُ اَلْعُشْرِ, فَإِنْ لَمْ تَكُن ْ إِلَّا تِسْعِينَ وَمِائَةً فَلَيْسَ فِيهَا صَدَقَةٌ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ رَبُّهَا, وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنَ اَلْإِبِلِ صَدَقَةُ اَلْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ, فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ اَلْحِقَّةُ, وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنِ اِسْتَيْسَرَتَا لَهُ, أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا, وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ اَلْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ اَلْحِقَّةُ, وَعِنْدَهُ اَلْجَذَعَةُ, فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ اَلْجَذَعَةُ, وَيُعْطِيهِ اَلْمُصَّدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيّ
Dari Anas bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq Radliyallaahu 'anhu menulis surat kepadanya: Ini adalah kewajiban zakat yang diwajibkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam atas kaum muslimin. Yang diperintahkan Allah atas rasul-Nya ialah setiap 24 ekor unta ke bawah wajib mengeluarkan kambing, yaitu setiap kelipatan lima ekor unta zakatnya seekor kambing. Jika mencapai 25 hingga 35 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua, jika tidak ada zakatnya seekor anak unta jantan yang umurnya telah menginjak tahun ketiga. Jika mencapai 36 hingga 45 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun ketiga. Jika mencapai 46 hingga 60 ekor unta, zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya telah masuk tahun keempat dan bisa dikawini unta jantan. Jika mencapai 61 hingga 75 ekor unta, zakatnya seekor unta betina yang umurnya telah masuk tahun kelima. Jika mencapai 79 hingga 90 ekor unta, zakatnya dua ekor anak unta betina yang umurnya telah menginjak tahun kedua. Jika mencapai 91 hingga 120 ekor unta, maka setiap 40 ekor zakatnya seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun ketiga dan setiap 50 ekor zakatnya seekor unta betina yang umurnya masuk tahun keempat. Bagi yang hanya memiliki 4 ekor unta, tidak wajib atasnya zakat kecuali bila pemiliknya menginginkan. Mengenai zakat kambing yang dilepas mencari makan sendiri, jika mencapai 40 hingga 120 ekor kambing, zakatnya seekor kambing. Jika lebih dari 120 hingga 200 ekor kambing, zakatnya dua ekor kambing. Jika lebih dari 200 hingga 300 kambing, zakatnya tiga ekor kambing. Jika lebih dari 300 ekor kambing, maka setiap 100 ekor zakatnya seekor kambing. Apabila jumlah kambing yang dilepas mencari makan sendiri kurang dari 40 ekor, maka tidak wajib atasnya zakat kecuali jika pemiliknya menginginkan. Tidak boleh dikumpulkan antara hewan-hewan ternak terpisah dan tidak boleh dipisahkan antara hewan-hewan ternak yang terkumpul karena takut mengeluarkan zakat. Hewan ternak kumpulan dari dua orang, pada waktu zakat harus kembali dibagi rata antara keduanya. Tidak boleh dikeluarkan untuk zakat hewan yang tua dan yang cacat, dan tidak boleh dikeluarkan yang jantan kecuali jika pemiliknya menghendaki. Tentang zakat perak, setiap 200 dirham zakatnya seperempatnya (2 1/2%). Jika hanya 190 dirham, tidak wajib atasnya zakat kecuali bila pemiliknya menghendaki. Barangsiapa yang jumlah untanya telah wajib mengeluarkan seekor unta betina yang seumurnya masuk tahun kelima, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah dua ekor kambing jika tidak keberatan, atau 20 dirham. Barangsiapa yang sudah wajib mengeluarkan seekor anak unta betina yang umurnya masuk tahun keempat, padahal ia tidak memilikinya dan ia memiliki unta betina yang umurnya masuk tahun kelima, maka ia boleh mengeluarkannya ditambah 20 dirham atau dua ekor kambing. [ HR Bukhari]
3. Hasil bumi
Hanya berlaku bagi hasil yang bisa ditakar, disimpan lama dan bersifat bahan pokok seperti beras, gandum, kurma dan lainnya. Adapun semangka, wortel dan sebangsanya tidak dikenakan zakat.
عَنْ أَبِي مُوسَى اَلْأَشْعَرِيِّ; وَمُعَاذٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهُمَا: ( لَا تَأْخُذَا فِي اَلصَّدَقَةِ إِلَّا مِنْ هَذِهِ اَلْأَصْنَافِ اَلْأَرْبَعَةِ: اَلشَّعِيرِ, وَالْحِنْطَةِ, وَالزَّبِيبِ, وَالتَّمْرِ ) رَوَاهُ اَلطَّبَرَانِيُّ, وَالْحَاكِم
ُ
Dari Abu Musa al-Asy'ary dan Mu'adz Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepada keduanya: Jangan mengambil zakat kecuali dari keempat jenis ini, yakni : sya'ir, gandum, anggur kering, dan kurma [HR Thabrani dan Hakim]
4. Barang rikaz
Barang temuan yang diyakini berasal dari kaum terdahulu
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ وَفِي اَلرِّكَازِ: اَلْخُمُسُ مُتَّفَقٌ عَلَيْه
ِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Zakat rikaz (harta peninggalan purbakala) adalah seperlima. [Muttafaq Alaihi]
5. Barang dagangan
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رضي الله عنه قَالَ: ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنَا; أَنْ نُخْرِجَ اَلصَّدَقَةَ مِنَ اَلَّذِي نَعُدُّهُ لِلْبَيْعِ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
ٌ
Samurah Ibnu Jundab Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami agar mengeluarkan zakat dari harta yang kita siapkan untuk berjualan. [HR Abu Dawud]
Harta Dalam Pandangan Islam (27)
Darimana Harta Didapat ?
1. Bekerja
Hal ini berlaku pada pertanian, berdagang, wiraswasta dan lainnya :
عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Dari Al Miqdam radliallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Tidak ada seorang yang memakan satu makananpun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud AS memakan makanan dari hasil usahanya sendiri [HR Abu Daud]
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ ? قَالَ عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ
،
Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya : Pekerjaan apakah yang paling baik ?. Beliau bersabda : Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih [HR al-Bazzar]
2. Ghonimah
Ghonimah adalah harta yang diperoleh dari orang kafir dalam peperangan. Ia merupakan kekhususan yang Alloh berikan kepada umat rosululloh shollallohu alaihi wasallam
عَنْ جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
Dari Jabir bin 'Abdullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci. Maka dimana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa'at, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia [HR Bukhori Muslim]
3. Hibah
Hibah didefinisikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq dengan : akad yang ditujukan sebagai peralihan kepemilikan harta seseorang kepada orang lain di masa dirinya masih hidup dengan tanpa adanya pengganti.
Dari definisi ini kita mengerti bahwa pinjam meminjam tidak disebut dengan hibah karena ia bukan merupakan akad kepemilikan, akan tetapi ia adalah akad hak pakai. Demikian jual beli, karena di dalamnya terkandung aturan beralihnya kepemilikan dengan adanya pengganti berupa uang. Dan warisan juga dikeluarkan dari bagain hibah, karena kepemilikan terjadi setelah pemilik meninggal dunia.
Wakaf, hadiah, sedekah dan lainnya adalah satu di antara sekian contoh hibah. Bila akad hibah telah ditetapkan maka kepemilikan dinyatakan beralih kepada pihak yang diberi.
Salah satu dalil akan tetapnya kepemilikan hibah adalah sabda nabi shollallohu alaihi wasallam
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ( اَلْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ, ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( لَيْسَ لَنَا مَثَلُ اَلسَّوْءِ, اَلَّذِي يَعُودُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَرْجِعُ فِي قَيْئِهِ
)
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Orang yang menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang muntah kemudian menjilat kembali muntahannya. Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Bukhari : Kami tidak mempunyai perumpamaan yang buruk, bagi orang yang menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang muntah kemudian menjilat kembali muntahannya.
4. Mahar
Tentang mahar, Syaikh Abu Malik berkata : mahar adalah hak bagi wanita bukan walinya, hal ini berdasar firman Alloh :
وَءَاتُوْا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan [annisa : 4]
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَاتُوْهُنَّ أجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةًَ
Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban [annisa : 24]
5. Barang temuan
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيِّ رضي الله عنه قَالَ : ( جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلَهُ عَنِ اللُّقَطَةِ ? فَقَالَ : اِعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا , ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً , فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَشَأْنُكَ بِهَا
Zaid Ibnu Khalid al-Juhany berkata : Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menanyakan tentang barang temuan. Beliau bersabda : Perhatikan tempat dan pengikatnya, lalu umumkan selama setahun. Jika pemiliknya datang, berikanlah dan jika tidak, maka terserah engkau [Muttafaq Alaihi]
عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ وَجَدَ لُقَطَةً فَلْيُشْهِدْ ذَوَيْ عَدْلٍ , وَلْيَحْفَظْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا , ثُمَّ لَا يَكْتُمْ , وَلَا يُغَيِّبْ , فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا , وَإِلَّا فَهُوَ مَالُ اَللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Dari Iyadl Ibnu Himar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa menemukan barang hilang, hendaknya ia mencari kesaksian dua orang adil, menjaga tempat dan pengikatnya, serta tidak menyembunyikan dan menghilangkannya. Apabila pemiliknya datang, ia lebih berhak dengannya. Apabila tidak datang, ia adalah harta Allah yang bisa diberikan kepada orang yang dikehendaki [HR Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi]
Syaikh Muhammad Sholih Fauzan berkata : setelah diumumkan selama setahun penuh, ternyata pemiliknya tidak datang maka barang dimiliki si penemu akan tetapi wajib baginya sebelum memanfaaatkannya mengenali dengan baik sifat benda tersebut. Hal itu dilakukan manakala suatu saat sang pemilik datang dengan menyebut ciri barang yang hilang maka ia harus mengembalikannya bila masih ada atau dikembalikannya dengan nilai seharga barang sebagai pengganti karena kepemilikan barang batal dengan datangnya si pemilik asli.
6. Waris
Alloh berfirman :
ءَامِنُوْا بِالله وَرَسُوْلِهِ وَأنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya [alhadid : 7]
Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi berkata : cara kepemilikan harta tersebut adalah bahwa seorang hamba akan mendapat harta waris dari orang sebelumnya lalu akhirnya ia akan mati dan meninggalkan harta itu kepada orang sesudahnya. Oleh karena harta tidak boleh dikubur bersama si mayit
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 3/388
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Sayyid Salim 3/166
Almulakhkhosh Alfiqhi, Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdulloh Alu Fauzan hal 525-526
Aisaruttafasir, Syaikh Abu Bakar Aljazairi hal 1581
1. Bekerja
Hal ini berlaku pada pertanian, berdagang, wiraswasta dan lainnya :
عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
Dari Al Miqdam radliallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Tidak ada seorang yang memakan satu makananpun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud AS memakan makanan dari hasil usahanya sendiri [HR Abu Daud]
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ ? قَالَ عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ
،
Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah ditanya : Pekerjaan apakah yang paling baik ?. Beliau bersabda : Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih [HR al-Bazzar]
2. Ghonimah
Ghonimah adalah harta yang diperoleh dari orang kafir dalam peperangan. Ia merupakan kekhususan yang Alloh berikan kepada umat rosululloh shollallohu alaihi wasallam
عَنْ جَابِر بْن عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
Dari Jabir bin 'Abdullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci. Maka dimana saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang yang tidak pernah dihalalkan untuk orang sebelumku, aku diberikan (hak) syafa'at, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia [HR Bukhori Muslim]
3. Hibah
Hibah didefinisikan oleh Syaikh Sayyid Sabiq dengan : akad yang ditujukan sebagai peralihan kepemilikan harta seseorang kepada orang lain di masa dirinya masih hidup dengan tanpa adanya pengganti.
Dari definisi ini kita mengerti bahwa pinjam meminjam tidak disebut dengan hibah karena ia bukan merupakan akad kepemilikan, akan tetapi ia adalah akad hak pakai. Demikian jual beli, karena di dalamnya terkandung aturan beralihnya kepemilikan dengan adanya pengganti berupa uang. Dan warisan juga dikeluarkan dari bagain hibah, karena kepemilikan terjadi setelah pemilik meninggal dunia.
Wakaf, hadiah, sedekah dan lainnya adalah satu di antara sekian contoh hibah. Bila akad hibah telah ditetapkan maka kepemilikan dinyatakan beralih kepada pihak yang diberi.
Salah satu dalil akan tetapnya kepemilikan hibah adalah sabda nabi shollallohu alaihi wasallam
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ( اَلْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَقِيءُ, ثُمَّ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِيِّ : ( لَيْسَ لَنَا مَثَلُ اَلسَّوْءِ, اَلَّذِي يَعُودُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَرْجِعُ فِي قَيْئِهِ
)
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Orang yang menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang muntah kemudian menjilat kembali muntahannya. Muttafaq Alaihi. Dalam riwayat Bukhari : Kami tidak mempunyai perumpamaan yang buruk, bagi orang yang menarik kembali pemberiannya bagaikan anjing yang muntah kemudian menjilat kembali muntahannya.
4. Mahar
Tentang mahar, Syaikh Abu Malik berkata : mahar adalah hak bagi wanita bukan walinya, hal ini berdasar firman Alloh :
وَءَاتُوْا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan [annisa : 4]
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَاتُوْهُنَّ أجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةًَ
Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban [annisa : 24]
5. Barang temuan
عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيِّ رضي الله عنه قَالَ : ( جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَسَأَلَهُ عَنِ اللُّقَطَةِ ? فَقَالَ : اِعْرِفْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا , ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً , فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَشَأْنُكَ بِهَا
Zaid Ibnu Khalid al-Juhany berkata : Ada seseorang datang kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menanyakan tentang barang temuan. Beliau bersabda : Perhatikan tempat dan pengikatnya, lalu umumkan selama setahun. Jika pemiliknya datang, berikanlah dan jika tidak, maka terserah engkau [Muttafaq Alaihi]
عَنْ عِيَاضِ بْنِ حِمَارٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ وَجَدَ لُقَطَةً فَلْيُشْهِدْ ذَوَيْ عَدْلٍ , وَلْيَحْفَظْ عِفَاصَهَا وَوِكَاءَهَا , ثُمَّ لَا يَكْتُمْ , وَلَا يُغَيِّبْ , فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا , وَإِلَّا فَهُوَ مَالُ اَللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Dari Iyadl Ibnu Himar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa menemukan barang hilang, hendaknya ia mencari kesaksian dua orang adil, menjaga tempat dan pengikatnya, serta tidak menyembunyikan dan menghilangkannya. Apabila pemiliknya datang, ia lebih berhak dengannya. Apabila tidak datang, ia adalah harta Allah yang bisa diberikan kepada orang yang dikehendaki [HR Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi]
Syaikh Muhammad Sholih Fauzan berkata : setelah diumumkan selama setahun penuh, ternyata pemiliknya tidak datang maka barang dimiliki si penemu akan tetapi wajib baginya sebelum memanfaaatkannya mengenali dengan baik sifat benda tersebut. Hal itu dilakukan manakala suatu saat sang pemilik datang dengan menyebut ciri barang yang hilang maka ia harus mengembalikannya bila masih ada atau dikembalikannya dengan nilai seharga barang sebagai pengganti karena kepemilikan barang batal dengan datangnya si pemilik asli.
6. Waris
Alloh berfirman :
ءَامِنُوْا بِالله وَرَسُوْلِهِ وَأنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya [alhadid : 7]
Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi berkata : cara kepemilikan harta tersebut adalah bahwa seorang hamba akan mendapat harta waris dari orang sebelumnya lalu akhirnya ia akan mati dan meninggalkan harta itu kepada orang sesudahnya. Oleh karena harta tidak boleh dikubur bersama si mayit
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 3/388
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Sayyid Salim 3/166
Almulakhkhosh Alfiqhi, Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdulloh Alu Fauzan hal 525-526
Aisaruttafasir, Syaikh Abu Bakar Aljazairi hal 1581
Harta Dalam Pandangan Islam (26)
Perolehan Harta Sudah Ditentukan
Kaya dan miskin sudah merupakan takdir. Perolehan harta setiap manusia tidaklah sama. Seorang mengais rizki dengan berdagang, ia pilih toko di tempat strategis. Untuk menarik minat pembeli, ia berikan harga murah plus hadiah. Dengan keramahan ia sambut setiap calon pembeli. Semua cara ia usahakan, apa daya tokonya sepi pembeli. Di toko lain yang tidak terlalu strategis, dengan produk mahal dan tanpa iming-iming hadiah ternyata toko itu ramai dikunjungi konsumen. Begitulah takdir.
Seorang ditetapkan oleh Alloh sebagai orang yang yang kaya raya. Rumahnya megah dan itu jumlahnya tidak satu. Mobil yang mengkilat dan berganti merk tiap tahunnya. Baju yang mewah membuat orang iri melihatnya. Sementara di tempat lain ada orang miskin yang tinggal di bedeng-bedeng pinggiran rel kereta api. Bisa saja tempat tinggalnya berpindah tiga kali dalam sepekan karena terusir oleh polisi pamong praja. Kaki adalah kendaraannya pergi kemana saja ia pergi sementara bajunya hanyalah yang melekat di badan. Begitulah takdir.
Ada orang mendapat rezeki dari hasil haram. Menjarah, korupsi dan menipu adalah pekerjaan hariannya tanpa merasa bersalah. Di sisi lain ada orang yang begitu hati-hati dalam mendapatkan rizki. Sikap waro dan zuhud adalah patokan. Ia punya prinsip lebih baik lapar daripada memasukkan makanan haram ke perutnya. Begitulah takdir.
Inilah yang diterangkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan : Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga. [HR Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban]
Apa yang dimaksud dengan bikatbi rizkihi (ditulis rezekinya) pada hadits di atas ? penulis Aunul Ma’bud berkata : takdir akan sedikit atau banyak dan sifatnya apakah ia peroleh dengan cara halal atau haram ?
Maroji’ :
Aunul Ma’bud, Abu Thoyyib Muhammad Syamsul Haq Al Adzim Abaadi 8/89
Kaya dan miskin sudah merupakan takdir. Perolehan harta setiap manusia tidaklah sama. Seorang mengais rizki dengan berdagang, ia pilih toko di tempat strategis. Untuk menarik minat pembeli, ia berikan harga murah plus hadiah. Dengan keramahan ia sambut setiap calon pembeli. Semua cara ia usahakan, apa daya tokonya sepi pembeli. Di toko lain yang tidak terlalu strategis, dengan produk mahal dan tanpa iming-iming hadiah ternyata toko itu ramai dikunjungi konsumen. Begitulah takdir.
Seorang ditetapkan oleh Alloh sebagai orang yang yang kaya raya. Rumahnya megah dan itu jumlahnya tidak satu. Mobil yang mengkilat dan berganti merk tiap tahunnya. Baju yang mewah membuat orang iri melihatnya. Sementara di tempat lain ada orang miskin yang tinggal di bedeng-bedeng pinggiran rel kereta api. Bisa saja tempat tinggalnya berpindah tiga kali dalam sepekan karena terusir oleh polisi pamong praja. Kaki adalah kendaraannya pergi kemana saja ia pergi sementara bajunya hanyalah yang melekat di badan. Begitulah takdir.
Ada orang mendapat rezeki dari hasil haram. Menjarah, korupsi dan menipu adalah pekerjaan hariannya tanpa merasa bersalah. Di sisi lain ada orang yang begitu hati-hati dalam mendapatkan rizki. Sikap waro dan zuhud adalah patokan. Ia punya prinsip lebih baik lapar daripada memasukkan makanan haram ke perutnya. Begitulah takdir.
Inilah yang diterangkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radiallahuanhu beliau berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan : Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara : menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada Ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga. [HR Bukhori, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban]
Apa yang dimaksud dengan bikatbi rizkihi (ditulis rezekinya) pada hadits di atas ? penulis Aunul Ma’bud berkata : takdir akan sedikit atau banyak dan sifatnya apakah ia peroleh dengan cara halal atau haram ?
Maroji’ :
Aunul Ma’bud, Abu Thoyyib Muhammad Syamsul Haq Al Adzim Abaadi 8/89
Harta Dalam Pandangan Islam (25)
Si Kaya Yang Lupa Pada Hartanya
Seorang yang kaya raya. Hartanya berlimpah tak terhitung. Selalu sukses, tak pernah sakit, banyak pengagum dan sejumlah kesenangan lainnya. Hanya satu yang tidak dimiliki, yaitu iman. Saat pertama kali masuk neraka, ia tidak ingat lagi dengan apa yang ia peroleh di dunia.
Di tempat ada lain, ada seorang miskin. Hidupnya penuh dengan penderitaan. Tidak ada orang yang tertarik untuk mengenalnya. Keberadaannya di tengah masyarakat dianggap tidak adanya, sebaliknya di saat ia pergi dan mati tidak ada satupun manusia yang merasa kehilangan dengannya. Bahkan kematiannya adalah kematiannya yang tragis. Ditangkap orang kafir dan siksa hingga menemui ajalnya. Meski hidup tidak pernah mengenal kesenangan dunia, ia masih memiliki sesuatu yang bernilai, yaitu iman. Kelak di akhirat saat pertama kali masuk aljannah, semua nestapa yang pernah ia rasakan terlupakan. Bahkan ia akhirnya mengucapkan :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ
Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Rob Kami benar-benar Maha Pengampum lagi Maha Mensyukuri [fathir : 34]
Dua kisah inilah yang dituturkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ
Dari Anas bin Malik berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda : Orang termewah sedunia yang termasuk penghuni neraka didatangkan pada hari kiamat lalu dicelupkan sekali ke neraka, setelah itu dikatakan padanya : Wahai anak cucu Adam, apa kau pernah melihat kebaikan sedikit pun, apa kau pernah merasakan kenikmatan sedikit pun ? ia menjawab : Tidak, demi Allah, wahai Rabb. Kemudian orang paling sengsara d idunia yang termasuk penghuni aljannah didatangkan kemudian ditempatkan di aljannah sebentar, setelah itu dikatakan padanya : Hai anak cucu Adam, apa kau pernah melihat kesengsaraan sedikit pun, apa kau pernah merasa sengsara sedikit pun ? ia menjawab : Tidak, demi Allah, wahai Rabb, aku tidak pernah merasa sengsara sedikit pun dan aku tidak pernah melihat kesengsaraan pun [HR Muslim dan Nasa’i]
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin mengomentari hadits di atas dengan mengatakan : kalau orang kafir lupa (akan nikmat yang ia rasakan di dunia) saat pertama kali masuk ke dalam neraka, lalu bagaimana dengan orang yang berada kekal di dalamnya ? wal iyaadzu billah.
Maroji’ :
Syarh riyadlush sholihin, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 1/793
Seorang yang kaya raya. Hartanya berlimpah tak terhitung. Selalu sukses, tak pernah sakit, banyak pengagum dan sejumlah kesenangan lainnya. Hanya satu yang tidak dimiliki, yaitu iman. Saat pertama kali masuk neraka, ia tidak ingat lagi dengan apa yang ia peroleh di dunia.
Di tempat ada lain, ada seorang miskin. Hidupnya penuh dengan penderitaan. Tidak ada orang yang tertarik untuk mengenalnya. Keberadaannya di tengah masyarakat dianggap tidak adanya, sebaliknya di saat ia pergi dan mati tidak ada satupun manusia yang merasa kehilangan dengannya. Bahkan kematiannya adalah kematiannya yang tragis. Ditangkap orang kafir dan siksa hingga menemui ajalnya. Meski hidup tidak pernah mengenal kesenangan dunia, ia masih memiliki sesuatu yang bernilai, yaitu iman. Kelak di akhirat saat pertama kali masuk aljannah, semua nestapa yang pernah ia rasakan terlupakan. Bahkan ia akhirnya mengucapkan :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُورٌ شَكُورٌ
Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Rob Kami benar-benar Maha Pengampum lagi Maha Mensyukuri [fathir : 34]
Dua kisah inilah yang dituturkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيمٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ يَا ابْنَ آدَمَ هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ فَيَقُولُ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطُّ وَلَا رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ
Dari Anas bin Malik berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda : Orang termewah sedunia yang termasuk penghuni neraka didatangkan pada hari kiamat lalu dicelupkan sekali ke neraka, setelah itu dikatakan padanya : Wahai anak cucu Adam, apa kau pernah melihat kebaikan sedikit pun, apa kau pernah merasakan kenikmatan sedikit pun ? ia menjawab : Tidak, demi Allah, wahai Rabb. Kemudian orang paling sengsara d idunia yang termasuk penghuni aljannah didatangkan kemudian ditempatkan di aljannah sebentar, setelah itu dikatakan padanya : Hai anak cucu Adam, apa kau pernah melihat kesengsaraan sedikit pun, apa kau pernah merasa sengsara sedikit pun ? ia menjawab : Tidak, demi Allah, wahai Rabb, aku tidak pernah merasa sengsara sedikit pun dan aku tidak pernah melihat kesengsaraan pun [HR Muslim dan Nasa’i]
Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin mengomentari hadits di atas dengan mengatakan : kalau orang kafir lupa (akan nikmat yang ia rasakan di dunia) saat pertama kali masuk ke dalam neraka, lalu bagaimana dengan orang yang berada kekal di dalamnya ? wal iyaadzu billah.
Maroji’ :
Syarh riyadlush sholihin, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 1/793
Harta Dalam Pandangan Islam (24)
Nasehat Orang Berilmu Kepada Orang Yang Silau Terhadap Harta
Bila tiba-tiba kita silau terhadap dunia lalu hati kita tertarik padanya maka segeralah mencari orang yang berilmu. Bisa saja terpukaunya kita kepada orang-orang sukses dunia, justru akan melalaikan kita dari akhirat.
Orang yang berilmu sangat memahami maslahat terhadap satu pilihan, yaitu antara pilihan terhadap akhirat atau mementingkan nafsu menguasai dunia.
Kaum bani israil sempat terpedaya oleh kekayaan melimpah yang diperoleh Qorun. Sejenak mereka lalai dari ajaran Musa. Allohpun menyelamatkan mereka dengan perantara alladziina uutul ilma (orang yang dianugerahi ilmu) yang oleh Abu Bakar Jabir aljazairi ditafsirkan dengan ahli din sehingga mengenal Alloh, kampung akhirat dan sumber kebahagiaan dan kesengsaraan.
Alloh menuturkan kisah mereka :
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ
79. Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia : Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar .
80. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu : Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar [alqoshosh : 79-80]
Ternyata apa yang disampaikan oleh kaumberilmu adalah benar. Tidak lama setelah nasehat itu disampaikan, Alloh turunkan adzab kepada Qorun :
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالْأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
81. Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan Tiadalah ia Termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).
82. Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu, berkata: Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya, kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah) [alqoshosh : 81-82]
Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi menyimpulkan kisah di atas dengan mengatakan :
• Penjelasan akan fitnah harta akan cepat menyerang hati para pecinta materi (hamba dunia) wal iyaadzubillah
• Penjelasan akan pentingnya kedudukan orang yang berilmu terhadap din dimana mereka adalah hukama (ahli nasehat) yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar
Maroji’ :
Aisaruttafasir, Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi (maktabah syamilah) 3/186
Bila tiba-tiba kita silau terhadap dunia lalu hati kita tertarik padanya maka segeralah mencari orang yang berilmu. Bisa saja terpukaunya kita kepada orang-orang sukses dunia, justru akan melalaikan kita dari akhirat.
Orang yang berilmu sangat memahami maslahat terhadap satu pilihan, yaitu antara pilihan terhadap akhirat atau mementingkan nafsu menguasai dunia.
Kaum bani israil sempat terpedaya oleh kekayaan melimpah yang diperoleh Qorun. Sejenak mereka lalai dari ajaran Musa. Allohpun menyelamatkan mereka dengan perantara alladziina uutul ilma (orang yang dianugerahi ilmu) yang oleh Abu Bakar Jabir aljazairi ditafsirkan dengan ahli din sehingga mengenal Alloh, kampung akhirat dan sumber kebahagiaan dan kesengsaraan.
Alloh menuturkan kisah mereka :
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ
79. Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia : Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar .
80. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu : Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar [alqoshosh : 79-80]
Ternyata apa yang disampaikan oleh kaumberilmu adalah benar. Tidak lama setelah nasehat itu disampaikan, Alloh turunkan adzab kepada Qorun :
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالْأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلَا أَنْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
81. Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan Tiadalah ia Termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).
82. Dan jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Karun itu, berkata: Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya, kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita benar-benar Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai benarlah, tidak beruntung orang- orang yang mengingkari (nikmat Allah) [alqoshosh : 81-82]
Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi menyimpulkan kisah di atas dengan mengatakan :
• Penjelasan akan fitnah harta akan cepat menyerang hati para pecinta materi (hamba dunia) wal iyaadzubillah
• Penjelasan akan pentingnya kedudukan orang yang berilmu terhadap din dimana mereka adalah hukama (ahli nasehat) yang senantiasa menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar
Maroji’ :
Aisaruttafasir, Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi (maktabah syamilah) 3/186
Harta Dalam Pandangan Islam (23)
Keunggulan Ilmu Atas Harta
Kebanyakan manusia lebih terpesona pada harta dari ilmu. Bila diadakan pilihan untuk menentukan antara keduanya, tentu pilihan harta akan menempati peminat yang lebih banyak.
Ibnu Qoyyim menyadarkan kita betapa penilaian seperti itu sangatlah tidak benar. Beliau sebutkan kemuliaan ilmu atas harta, diantaranya :
1. Ilmu adalah warisan para nabi, sedangkan harta warisan Qorun dan teman-temannya. Tentu berbeda, di saat para nabi meninggalkan warisan berupa ilmu dan menjamin bahwa siapa mengambilnya akan mendapat keuntungan yang besar dengan harta yang belum tentu akan memberi kebahagiaan.
2. Ilmu menjaga dan memelihara pemiliknya. Ia akan mengajaknya berbuat yang makruf dan mengingatkannya di saat akan berbuat yang munkar. Sebaliknya harta selalu dijaga pemiliknya.
3. Memiliki ilmu berarti memiliki banyak sahabat. Kehadirannya senantiasa ditunggu, adapun pemilik harta terkadang memiliki banyak musuh. Dari yang iri dan yang ingin merebutnya.
4. Ilmu bila diberikan dengan cara mengajarkan dan mendakwahkannya akan semakin bertambah. Harta bila diberikan kepada orang lain akan berkurang.
5. Ilmu tidak mungkin dicuri, sedang harta begitu mudahnya dicuri, dirampok dan dirampas.
6. Ilmu tidak akan lapuk oleh zaman sedang harta akan lenyap dan usang seiring bergantinya waktu dan jaman.
7. Ilmu tidak memiliki ujung dan batas, adapun harta bisa dihitung dan dikalkulasi jumlahnya.
8. Ilmu adalah cahaya yang memancarkan sinar kebaikan dengannya hati akan merasa tenang. Sebaliknya harta bisa menggelapkan pemiliknya karena belum tentu ia bisa membeli kebahagiaan.
9. Pemilik ilmu yang senantiasa menyebarkan kebajikan akan mengundang penyebutan mulia “ ustadz, alim dan lainnya “. Tak sedikit orang yang berharta melimpah mendapat sebutan “ si kikir “
10. Ilmu mengajak pemiliknya untuk mencintai Alloh, sedangkan harta terkadang membangkitkan kesombongan dan tinggi hati
Sebagai pelengkap, mari kita simak sabda rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak [HR Abu Daud dan Tirmidzi]
Kebanyakan manusia lebih terpesona pada harta dari ilmu. Bila diadakan pilihan untuk menentukan antara keduanya, tentu pilihan harta akan menempati peminat yang lebih banyak.
Ibnu Qoyyim menyadarkan kita betapa penilaian seperti itu sangatlah tidak benar. Beliau sebutkan kemuliaan ilmu atas harta, diantaranya :
1. Ilmu adalah warisan para nabi, sedangkan harta warisan Qorun dan teman-temannya. Tentu berbeda, di saat para nabi meninggalkan warisan berupa ilmu dan menjamin bahwa siapa mengambilnya akan mendapat keuntungan yang besar dengan harta yang belum tentu akan memberi kebahagiaan.
2. Ilmu menjaga dan memelihara pemiliknya. Ia akan mengajaknya berbuat yang makruf dan mengingatkannya di saat akan berbuat yang munkar. Sebaliknya harta selalu dijaga pemiliknya.
3. Memiliki ilmu berarti memiliki banyak sahabat. Kehadirannya senantiasa ditunggu, adapun pemilik harta terkadang memiliki banyak musuh. Dari yang iri dan yang ingin merebutnya.
4. Ilmu bila diberikan dengan cara mengajarkan dan mendakwahkannya akan semakin bertambah. Harta bila diberikan kepada orang lain akan berkurang.
5. Ilmu tidak mungkin dicuri, sedang harta begitu mudahnya dicuri, dirampok dan dirampas.
6. Ilmu tidak akan lapuk oleh zaman sedang harta akan lenyap dan usang seiring bergantinya waktu dan jaman.
7. Ilmu tidak memiliki ujung dan batas, adapun harta bisa dihitung dan dikalkulasi jumlahnya.
8. Ilmu adalah cahaya yang memancarkan sinar kebaikan dengannya hati akan merasa tenang. Sebaliknya harta bisa menggelapkan pemiliknya karena belum tentu ia bisa membeli kebahagiaan.
9. Pemilik ilmu yang senantiasa menyebarkan kebajikan akan mengundang penyebutan mulia “ ustadz, alim dan lainnya “. Tak sedikit orang yang berharta melimpah mendapat sebutan “ si kikir “
10. Ilmu mengajak pemiliknya untuk mencintai Alloh, sedangkan harta terkadang membangkitkan kesombongan dan tinggi hati
Sebagai pelengkap, mari kita simak sabda rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan ampun oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan seorang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak [HR Abu Daud dan Tirmidzi]
Harta Dalam Pandangan Islam (22)
Si Miskin Harta : Mayoritas Pengikut Nabi
Di saat Abu Sufyan (masih kafir) menghadap raja Heraklus. Terjadilah dialog seputar profil dakwah rosululloh shollallohu alaihi wasallam yang didustakan oleh kaumnya. Raja Heraklus bertanya :
فَأَشْرَافُ النَّاسِ يَتَّبِعُونَهُ أَمْ ضُعَفَاؤُهُمْ
Apakah yang mengikuti dia (rosululloh) adalah orang-orang yang terpandang atau orang-orang yang rendah ?
Abu Sufyan menjawab :
بَلْ ضُعَفَاؤُهُمْ
Bahkan yang mengikutinya adalah orang-orang yang rendah
Raja Heraklus berkata :
وَكَذَلِكَ الرُّسُلُ
Memang begitulah yang menjadi para pengikut Rasul
Demikianlah, kenyataan mengatakan bahwa orang miskinlah mayoritas pengikut dakwah. Dalam alquran, Alloh menyebutkan penghinaan kaum kafir kepada para nabi dengan alasan mayoritas pengikutnya adalah kaum fakir. Di antaranya :
Pengikut kaum Nuh
قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya : Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas Kami, bahkan Kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta [hud : 27]
Ibnu Abbas menafsirkan kata arodziluna (hina dina) dengan : orang rendahan dan kaum lemah
Pengikut kaum Sholih
قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِمَنْ آَمَنَ مِنْهُمْ أَتَعْلَمُونَ أَنَّ صَالِحًا مُرْسَلٌ مِنْ رَبِّهِ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلَ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka : Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya ?. mereka menjawab : Sesungguhnya Kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya. [al a’rof : 75]
Imam Ath Thobari menafsirkan kata ustudl’ifu (kaum lemah) dengan : orang miskin, bukan dari kalangan orang terpandang dan memiliki kedudukan
Pengikut kaum Musa
فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَيْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ
Dan mereka berkata : Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), Padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita ? [almu’minun : 47]
Imam Baidlofi menafsirkan kata lanaa ‘abidun (menghambakan diri kepada kami) dengan : pelayan yang senantiasa tunduk seperti para budak.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ
قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ انْظُرْ مَاذَا تَقُولُ قَالَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ انْظُرْ مَاذَا تَقُولُ قَالَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَقَالَ إِنْ كُنْتَ تُحِبُّنِي فَأَعِدَّ لِلْفَقْرِ تِجْفَافًا فَإِنَّ الْفَقْرَ أَسْرَعُ إِلَى مَنْ يُحِبُّنِي مِنْ السَّيْلِ إِلَى مُنْتَهَاهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Amru bin Nabhan bin Shafwan Ats Tsaqafi Al Bashri telah menceritakan kepada kami Rauh bin Aslam telah menceritakan kepada kami Syaddad Abu Thalhah Ar Rasibi dari Abul Wazi' dari 'Abdullah bin Mughaffal dia berkata bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sangat mencintai baginda. Beliau bersabda : Perhatikan apa yang kamu katakan. Dia berkata lagi: Demi Allah sungguh aku sangat mencintai baginda. Nabi bersabda lagi : Perhatikan apa yang kamu katakan. Dia berkata lagi : Demi Allah sungguh aku sangat mencintai baginda. tiga kali dia mengucapkannya, lalu beliau bersabda : Jia kamu mencintaiku maka persiapkanlah perisai untuk kefakiran, karena kefakiran lebih cepat kepada orang yang mencintaiku melebihi aliran menuju hilir. Telah menceritakan kepada kami Nashr bin 'Ali telah menceritakan kepada kami bapakku dari Syaddad Abu Thalhah dengan hadits yang semakna, Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib, adapun Abul Waza' Ar Rasibi namanya adalah Jabir bin 'Amru, dia adalah orang Bashrah.
Maroji’ :
Tafsir Ibnu Abbas (maktabah syamilah) 1/234
Tafsir Ath Thobari (maktabah syamilah) 12/542
Di saat Abu Sufyan (masih kafir) menghadap raja Heraklus. Terjadilah dialog seputar profil dakwah rosululloh shollallohu alaihi wasallam yang didustakan oleh kaumnya. Raja Heraklus bertanya :
فَأَشْرَافُ النَّاسِ يَتَّبِعُونَهُ أَمْ ضُعَفَاؤُهُمْ
Apakah yang mengikuti dia (rosululloh) adalah orang-orang yang terpandang atau orang-orang yang rendah ?
Abu Sufyan menjawab :
بَلْ ضُعَفَاؤُهُمْ
Bahkan yang mengikutinya adalah orang-orang yang rendah
Raja Heraklus berkata :
وَكَذَلِكَ الرُّسُلُ
Memang begitulah yang menjadi para pengikut Rasul
Demikianlah, kenyataan mengatakan bahwa orang miskinlah mayoritas pengikut dakwah. Dalam alquran, Alloh menyebutkan penghinaan kaum kafir kepada para nabi dengan alasan mayoritas pengikutnya adalah kaum fakir. Di antaranya :
Pengikut kaum Nuh
قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ
Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya : Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara Kami yang lekas percaya saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas Kami, bahkan Kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta [hud : 27]
Ibnu Abbas menafsirkan kata arodziluna (hina dina) dengan : orang rendahan dan kaum lemah
Pengikut kaum Sholih
قَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا مِنْ قَوْمِهِ لِلَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا لِمَنْ آَمَنَ مِنْهُمْ أَتَعْلَمُونَ أَنَّ صَالِحًا مُرْسَلٌ مِنْ رَبِّهِ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلَ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka : Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya ?. mereka menjawab : Sesungguhnya Kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya. [al a’rof : 75]
Imam Ath Thobari menafsirkan kata ustudl’ifu (kaum lemah) dengan : orang miskin, bukan dari kalangan orang terpandang dan memiliki kedudukan
Pengikut kaum Musa
فَقَالُوا أَنُؤْمِنُ لِبَشَرَيْنِ مِثْلِنَا وَقَوْمُهُمَا لَنَا عَابِدُونَ
Dan mereka berkata : Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), Padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada kita ? [almu’minun : 47]
Imam Baidlofi menafsirkan kata lanaa ‘abidun (menghambakan diri kepada kami) dengan : pelayan yang senantiasa tunduk seperti para budak.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ
قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ انْظُرْ مَاذَا تَقُولُ قَالَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ انْظُرْ مَاذَا تَقُولُ قَالَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَقَالَ إِنْ كُنْتَ تُحِبُّنِي فَأَعِدَّ لِلْفَقْرِ تِجْفَافًا فَإِنَّ الْفَقْرَ أَسْرَعُ إِلَى مَنْ يُحِبُّنِي مِنْ السَّيْلِ إِلَى مُنْتَهَاهُ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Amru bin Nabhan bin Shafwan Ats Tsaqafi Al Bashri telah menceritakan kepada kami Rauh bin Aslam telah menceritakan kepada kami Syaddad Abu Thalhah Ar Rasibi dari Abul Wazi' dari 'Abdullah bin Mughaffal dia berkata bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sangat mencintai baginda. Beliau bersabda : Perhatikan apa yang kamu katakan. Dia berkata lagi: Demi Allah sungguh aku sangat mencintai baginda. Nabi bersabda lagi : Perhatikan apa yang kamu katakan. Dia berkata lagi : Demi Allah sungguh aku sangat mencintai baginda. tiga kali dia mengucapkannya, lalu beliau bersabda : Jia kamu mencintaiku maka persiapkanlah perisai untuk kefakiran, karena kefakiran lebih cepat kepada orang yang mencintaiku melebihi aliran menuju hilir. Telah menceritakan kepada kami Nashr bin 'Ali telah menceritakan kepada kami bapakku dari Syaddad Abu Thalhah dengan hadits yang semakna, Abu Isa berkata: Hadits ini hasan gharib, adapun Abul Waza' Ar Rasibi namanya adalah Jabir bin 'Amru, dia adalah orang Bashrah.
Maroji’ :
Tafsir Ibnu Abbas (maktabah syamilah) 1/234
Tafsir Ath Thobari (maktabah syamilah) 12/542
Harta Dalam Pandangan Islam (21)
Harta Di Mata Assalaf Ash Sholih
Betapa remeh harta di mata khoirul qurun yaitu tiga generasi bila dibandingkan dengan akhirat. Mereka rela kehilangan dunia dan melepaskannya asal itu tidak terjadi pada akhiratnya. Di bawah ini beberapa kisah tentang kezuhudan mereka terhadap harta yang selalu dijadikan ajang rebutan oleh kebanyakan manusia.
1. Amir bin Abdulloh
Di saat usai perang Qodishiyyah, Saad bin Abi Waqosh mengumpulkan harta rampasan perang. Tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yang kusut dan berdebu membawa kotak perhiasan yang berukuran besar dan berat bebannya. Dia angkat dengan dua tangannya sekaligus.
Manusia memperhatikan dengan seksama. Ternyata kotak itu berisi permata dan intan. Mereka bertanya : Dimanakah anda mendapatkan simpanan itu ? Aku mendapatkannya pada perang anu dan di tempat anu. Mereka bertanya : Sudahkah anda mengambilnya ? Orang itu berkata : Semoga Alloh memberi hidayah kepada kalian, Demi Alloh sesungguhnya kotak perhiasan ini dan seluruh apa yang dimiliki raja-raja Persi bagiku tidaklah sebanding dengan kuku hitamku. Kalaulah bukan karena ini merupakan hak kaum muslimin niscaya aku tidak sudi mengangkatnya dari dalam tanah dan tidak aku bawa ke sini.
Orang-orang bertanya :Siapakah anda, semoga Alloh memuliakan anda ? Orang itu menjawab : Demi Alloh aku tidak akan memberitahukannya kepada kalian karena nanti akan memujiku, tidak pula aku ceritakan kepada selain kalian karena mereka menyanjungku akan tetapi aku memuji Alloh Ta’ala dan mengharap pahalaNya. Kemudian orang itu meninggalkan mereka dan pergi. Mereka menyuruh seseorang untuk mengikuti laki-laki tersebut. Akhirnya diketahui bahwa orang tersebut adalah ahli zuhudnya penduduk Bashroh, Amir bin Abdulloh Attamimi.
2. Arrobi’ Alkhuwaitsim
Dihidangkan roti manis dan lezat ke hadapan Arrobi’ Alkhuwaitsim. Tiba-tiba pintu diketuk. Ternyata seorang tua yang berpakaian compang-camping. Arrobi’ memberi isyarat kepada puteranya agar roti itu diberikan kepada orang tersebut. Dengan lahap orang itu memakannya hingga habis tanpa sisa.
Anaknya berkata : Semoga Alloh merahmati ayah, ibu sudah bersusah payah membuat roti ini untuk ayah. Kami berharap agar ayah sudi menyantapnya, namun tiba-tiba ayah berikan roti kepada orang itu. Arrobi’ berkata : wahai puteraku, bukankah Alloh berfirman :
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menginfakkan sehahagian harta yang kamu cintai [ali imron : 92]
3. Salim bin Abdulloh bin Umar bin Khothob
Salim bin Abdulloh adalah cucu Umar bin Khothob. Tak terhitung seringnya kholifah Bani Umayyah ingin memberikan hadiah berbagai kenikmatan kepadanya. Namun ia tetap berpegang teguh pada kezuhudannya.
Pasa saat musim haji, kholifah Sulaiman menunaikan thowaf. Ia melihat Salim tengah bersimpuh di depan ka’bah dengan khusyu. Lidahnya bergerak membaca alquran dengan tartil sementara air matanya berlinang.
Usai thowaf dan sholat dua rokaat, kholifah berusaha menghampirinya namun Salim tidak menghiraukannya. Ketika ada kesempatan, kholifah mengucapkan salam kepadanya. Setelah mendapat jawaban, kholifah berkata : katakanlah apa yang menjadi kebutuhan anda wahai Abu Umar, saya akan memenuhinya. Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga kholifah menyangka dia tidak mendengar kata-katanya. Sambil merapat, kholifah mengulangi perkataannya. Salim menjawab : Demi Alloh, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin aku sedang berada di rumah Alloh tetapi meminta kepada selainNya ?
Ketika berada di luar masjid, kholifah berkata : Sekarang kita berada di luar masjid maka katakanlah kebutuhan anda. Salim bertanya : Dari kebutuhan dunia ataukah akhirat ? Kholifah menjawab : Tentunya dari kebutuhan akhirat. Salim berkata : Saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada Yang MemilikiNya, bagaimana mungkin saya meminta kepada yang bukan memilikinya ?
Kholifah malu dan berguman : Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan taqwa wahai keturunan Alkhothob, alangkah kayanya kalian dengan Alloh, semoga Alloh memberkahi kalian sekeluarga.
4. Hasan Albashri
Hasan Albasri ketika ditanya tentang dunia, ia menjawab : Sungguh perumpamaan dunia dan akhirat adalah ibarat timur dan barat. Bila yang satu mendekat maka yang lain akan menjauh.
Sebagai penutuop ada baiknya bila kita memperhatikan riwayat di bawah ini :
عَنْ إِبْرَاهِيمَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ بِطَعَامٍ وَكَانَ صَائِمًا فَقَالَ قُتِلَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّي كُفِّنَ فِي بُرْدَةٍ إِنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ بَدَتْ رِجْلَاهُ وَإِنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ وَأُرَاهُ قَالَ وَقُتِلَ حَمْزَةُ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّي ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنْ الدُّنْيَا مَا بُسِطَ أَوْ قَالَ أُعْطِينَا مِنْ الدُّنْيَا مَا أُعْطِينَا وَقَدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حَتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ
Dari Ibrahim bahwa ; Pada suatu hari 'Abdurrahman bin 'Auf dihidangkan makanan kepadanya saat itu ia sedang berpuasa. Lalu ia berkata, Mus'ab bin Umair telah terbunuh. Ia adalah orang yang lebih baik dariku, namun saat (hendak dikafani) tidak ada kain kafan yang bisa membungkusnya kecuali hanyalah burdah (kain bergaris) yang apabila kepalanya akan ditutup, kakinya terbuka (karena kain yang pendek) dan bila kakinya yang hendak ditutup kepalanyalah yang terbuka. Dan aku melihat dia berkata, pula. Hamzah pun atau orang lain yang lebih baik dariku telah terbunuh. Kemudian setelah itu dunia telah dibukakan buat kami atau katanya kami telah diberi kenikmatan dunia dan sungguh kami khawatir bila kebaikan-kebaikan kami disegerakan balasannya buat kami (berupa kenikmatan dunia). Lalu ia pun mulai menangis dan meninggalkan makan. [muttafaq alaih]
Maroji’ :
Jejak para Tabiin, DR Abdurrohman Ra’fat Basya
Betapa remeh harta di mata khoirul qurun yaitu tiga generasi bila dibandingkan dengan akhirat. Mereka rela kehilangan dunia dan melepaskannya asal itu tidak terjadi pada akhiratnya. Di bawah ini beberapa kisah tentang kezuhudan mereka terhadap harta yang selalu dijadikan ajang rebutan oleh kebanyakan manusia.
1. Amir bin Abdulloh
Di saat usai perang Qodishiyyah, Saad bin Abi Waqosh mengumpulkan harta rampasan perang. Tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yang kusut dan berdebu membawa kotak perhiasan yang berukuran besar dan berat bebannya. Dia angkat dengan dua tangannya sekaligus.
Manusia memperhatikan dengan seksama. Ternyata kotak itu berisi permata dan intan. Mereka bertanya : Dimanakah anda mendapatkan simpanan itu ? Aku mendapatkannya pada perang anu dan di tempat anu. Mereka bertanya : Sudahkah anda mengambilnya ? Orang itu berkata : Semoga Alloh memberi hidayah kepada kalian, Demi Alloh sesungguhnya kotak perhiasan ini dan seluruh apa yang dimiliki raja-raja Persi bagiku tidaklah sebanding dengan kuku hitamku. Kalaulah bukan karena ini merupakan hak kaum muslimin niscaya aku tidak sudi mengangkatnya dari dalam tanah dan tidak aku bawa ke sini.
Orang-orang bertanya :Siapakah anda, semoga Alloh memuliakan anda ? Orang itu menjawab : Demi Alloh aku tidak akan memberitahukannya kepada kalian karena nanti akan memujiku, tidak pula aku ceritakan kepada selain kalian karena mereka menyanjungku akan tetapi aku memuji Alloh Ta’ala dan mengharap pahalaNya. Kemudian orang itu meninggalkan mereka dan pergi. Mereka menyuruh seseorang untuk mengikuti laki-laki tersebut. Akhirnya diketahui bahwa orang tersebut adalah ahli zuhudnya penduduk Bashroh, Amir bin Abdulloh Attamimi.
2. Arrobi’ Alkhuwaitsim
Dihidangkan roti manis dan lezat ke hadapan Arrobi’ Alkhuwaitsim. Tiba-tiba pintu diketuk. Ternyata seorang tua yang berpakaian compang-camping. Arrobi’ memberi isyarat kepada puteranya agar roti itu diberikan kepada orang tersebut. Dengan lahap orang itu memakannya hingga habis tanpa sisa.
Anaknya berkata : Semoga Alloh merahmati ayah, ibu sudah bersusah payah membuat roti ini untuk ayah. Kami berharap agar ayah sudi menyantapnya, namun tiba-tiba ayah berikan roti kepada orang itu. Arrobi’ berkata : wahai puteraku, bukankah Alloh berfirman :
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menginfakkan sehahagian harta yang kamu cintai [ali imron : 92]
3. Salim bin Abdulloh bin Umar bin Khothob
Salim bin Abdulloh adalah cucu Umar bin Khothob. Tak terhitung seringnya kholifah Bani Umayyah ingin memberikan hadiah berbagai kenikmatan kepadanya. Namun ia tetap berpegang teguh pada kezuhudannya.
Pasa saat musim haji, kholifah Sulaiman menunaikan thowaf. Ia melihat Salim tengah bersimpuh di depan ka’bah dengan khusyu. Lidahnya bergerak membaca alquran dengan tartil sementara air matanya berlinang.
Usai thowaf dan sholat dua rokaat, kholifah berusaha menghampirinya namun Salim tidak menghiraukannya. Ketika ada kesempatan, kholifah mengucapkan salam kepadanya. Setelah mendapat jawaban, kholifah berkata : katakanlah apa yang menjadi kebutuhan anda wahai Abu Umar, saya akan memenuhinya. Salim tidak mengatakan apa-apa sehingga kholifah menyangka dia tidak mendengar kata-katanya. Sambil merapat, kholifah mengulangi perkataannya. Salim menjawab : Demi Alloh, aku malu mengatakannya. Bagaimana mungkin aku sedang berada di rumah Alloh tetapi meminta kepada selainNya ?
Ketika berada di luar masjid, kholifah berkata : Sekarang kita berada di luar masjid maka katakanlah kebutuhan anda. Salim bertanya : Dari kebutuhan dunia ataukah akhirat ? Kholifah menjawab : Tentunya dari kebutuhan akhirat. Salim berkata : Saya tidak meminta kebutuhan dunia kepada Yang MemilikiNya, bagaimana mungkin saya meminta kepada yang bukan memilikinya ?
Kholifah malu dan berguman : Alangkah mulianya kalian dengan zuhud dan taqwa wahai keturunan Alkhothob, alangkah kayanya kalian dengan Alloh, semoga Alloh memberkahi kalian sekeluarga.
4. Hasan Albashri
Hasan Albasri ketika ditanya tentang dunia, ia menjawab : Sungguh perumpamaan dunia dan akhirat adalah ibarat timur dan barat. Bila yang satu mendekat maka yang lain akan menjauh.
Sebagai penutuop ada baiknya bila kita memperhatikan riwayat di bawah ini :
عَنْ إِبْرَاهِيمَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أُتِيَ بِطَعَامٍ وَكَانَ صَائِمًا فَقَالَ قُتِلَ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّي كُفِّنَ فِي بُرْدَةٍ إِنْ غُطِّيَ رَأْسُهُ بَدَتْ رِجْلَاهُ وَإِنْ غُطِّيَ رِجْلَاهُ بَدَا رَأْسُهُ وَأُرَاهُ قَالَ وَقُتِلَ حَمْزَةُ وَهُوَ خَيْرٌ مِنِّي ثُمَّ بُسِطَ لَنَا مِنْ الدُّنْيَا مَا بُسِطَ أَوْ قَالَ أُعْطِينَا مِنْ الدُّنْيَا مَا أُعْطِينَا وَقَدْ خَشِينَا أَنْ تَكُونَ حَسَنَاتُنَا عُجِّلَتْ لَنَا ثُمَّ جَعَلَ يَبْكِي حَتَّى تَرَكَ الطَّعَامَ
Dari Ibrahim bahwa ; Pada suatu hari 'Abdurrahman bin 'Auf dihidangkan makanan kepadanya saat itu ia sedang berpuasa. Lalu ia berkata, Mus'ab bin Umair telah terbunuh. Ia adalah orang yang lebih baik dariku, namun saat (hendak dikafani) tidak ada kain kafan yang bisa membungkusnya kecuali hanyalah burdah (kain bergaris) yang apabila kepalanya akan ditutup, kakinya terbuka (karena kain yang pendek) dan bila kakinya yang hendak ditutup kepalanyalah yang terbuka. Dan aku melihat dia berkata, pula. Hamzah pun atau orang lain yang lebih baik dariku telah terbunuh. Kemudian setelah itu dunia telah dibukakan buat kami atau katanya kami telah diberi kenikmatan dunia dan sungguh kami khawatir bila kebaikan-kebaikan kami disegerakan balasannya buat kami (berupa kenikmatan dunia). Lalu ia pun mulai menangis dan meninggalkan makan. [muttafaq alaih]
Maroji’ :
Jejak para Tabiin, DR Abdurrohman Ra’fat Basya
Harta Dalam Pandangan Islam (20)
Miskin Harta : Mayoritas Ahlul Jannah
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ
Dari 'Imran bin Hushain radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda : Aku pernah menengok aljannah, ternyata kebanyakan penghuninya adalah orang-orang miskin, dan aku juga menengok ke neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita [HR Bukhori Muslim]
Hadits ini merupakan kabar gembira bagi kaum faqir. Ada secercah harapan dan hiburan bagi mereka. Di saat hidup serba kekurangan di dunia, mereka menghadapinya dengan penuh kesabaran. Terselip harapan semoga dirinya masuk bagian rombongan kaum miskin yang masuk ke dalam aljannah sebagaimana yang dijanjikan.
Ibnu Hajar Al Atsqolani menilai bahwa orang faqir adalah mayoritas penduduk dunia sehingga demikianlah keadaan yang ada di dalam aljannah. Akan tetapi bukan sembarang faqir yang akan dimasukkan ke dalam aljannah. Hanya faqir yang sholih saja yang akan mendapatkan janji itu.
Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 11/315
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ
Dari 'Imran bin Hushain radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda : Aku pernah menengok aljannah, ternyata kebanyakan penghuninya adalah orang-orang miskin, dan aku juga menengok ke neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita [HR Bukhori Muslim]
Hadits ini merupakan kabar gembira bagi kaum faqir. Ada secercah harapan dan hiburan bagi mereka. Di saat hidup serba kekurangan di dunia, mereka menghadapinya dengan penuh kesabaran. Terselip harapan semoga dirinya masuk bagian rombongan kaum miskin yang masuk ke dalam aljannah sebagaimana yang dijanjikan.
Ibnu Hajar Al Atsqolani menilai bahwa orang faqir adalah mayoritas penduduk dunia sehingga demikianlah keadaan yang ada di dalam aljannah. Akan tetapi bukan sembarang faqir yang akan dimasukkan ke dalam aljannah. Hanya faqir yang sholih saja yang akan mendapatkan janji itu.
Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 11/315
Harta Dalam Pandangan Islam (19)
Harta Bukan Pemisah Antara Si Kaya Dan Si Miskin
Sholat jumat dihadiri semua kalangan dari kaum muslimin, kaya maupun miskin. Di sore hari selepas kerja di sebuah kantor diadakan pengajian kalangan eksekutif. Tentu kaum berdasi saja yang berhak menghadirinya.
Di sebuah pondok pesantren santri yang menuntut ilmu sangat majemuk. Anak yang orang tuanya berasal dari kaum fakir dan orang berada, bercampur menjadi satu. Agar tidak terjadi jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, pihak pesantren menerapkan aturan. Kepemilikan uang dibatasi sehingga santri yang memilki banyak uang tidak sering jajan. Pakaian yang dikenakan untuk belajar dan keseharian diseragamkan sehingga tidak tampak perbedaan antara mereka.
Sementara di sebuah sekolah elit. Siswa yang belajar hanya berasal dari kalangan menengah ke atas. Antar mereka sering terjadi persaingan unjuk kekayaan. Mobil, alat komunikasi, merk tas yang ada di pundak dan lainnya. Tak terbayang, mereka hidup dalam kemewahan. Tidak pernah melihat bahkan bergaul dengan anak-anak miskin.
Dalam riwayat disebutkan, nyaris terjadi pemisahan antara si miskin dan si kaya dalam arena majlis ta’lim rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Dalam tafsir Abu Suud disebutkan : Para pembesar kafir datang menemui rosululloh shollallohu alaihi wasallam dan berkata : Jauhkan mereka orang-orang budak ini karena bau mereka seperti kambing, sehingga kami bisa bermajlis dengan engkau. Alloh akhirnya menurunkan ayat :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas [alkahfi : 18]
Penulis tafsir Almuyassar menerangkan maksud ayat ini dengan mengatakan : bersabarlah engkau wahai nabi bersama para sahabatmu dari kalangan orang-orang fakir beriman yang senantiasa beribadah kepada Robnya semata. Bermunajat di pagi dan sore hari dengan mengharapkan wajahNya. Duduklah dan bergaullah bersama mereka. Jangan engkau palingkan pandanganmu dari mereka lalu engkau alihkan kepada orang-orang kafir karena menginginkan kesenangan dengan perhiasan dunia. Jangan engkau taati orang yang telah Kami tutup hatinya dari mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya atas ketaatan Alloh ……
Senada dengan ayat di atas, pada surat lain Alloh berfirman :
وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Robnya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki wajahNya. kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim) [al an’am : 52]
Maroji’ :
Tafsir Abu Suud (maktabah syamilah) 4/255
Tafsir Almuyassar (maktabah syamilah) 5/131
Sholat jumat dihadiri semua kalangan dari kaum muslimin, kaya maupun miskin. Di sore hari selepas kerja di sebuah kantor diadakan pengajian kalangan eksekutif. Tentu kaum berdasi saja yang berhak menghadirinya.
Di sebuah pondok pesantren santri yang menuntut ilmu sangat majemuk. Anak yang orang tuanya berasal dari kaum fakir dan orang berada, bercampur menjadi satu. Agar tidak terjadi jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, pihak pesantren menerapkan aturan. Kepemilikan uang dibatasi sehingga santri yang memilki banyak uang tidak sering jajan. Pakaian yang dikenakan untuk belajar dan keseharian diseragamkan sehingga tidak tampak perbedaan antara mereka.
Sementara di sebuah sekolah elit. Siswa yang belajar hanya berasal dari kalangan menengah ke atas. Antar mereka sering terjadi persaingan unjuk kekayaan. Mobil, alat komunikasi, merk tas yang ada di pundak dan lainnya. Tak terbayang, mereka hidup dalam kemewahan. Tidak pernah melihat bahkan bergaul dengan anak-anak miskin.
Dalam riwayat disebutkan, nyaris terjadi pemisahan antara si miskin dan si kaya dalam arena majlis ta’lim rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Dalam tafsir Abu Suud disebutkan : Para pembesar kafir datang menemui rosululloh shollallohu alaihi wasallam dan berkata : Jauhkan mereka orang-orang budak ini karena bau mereka seperti kambing, sehingga kami bisa bermajlis dengan engkau. Alloh akhirnya menurunkan ayat :
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas [alkahfi : 18]
Penulis tafsir Almuyassar menerangkan maksud ayat ini dengan mengatakan : bersabarlah engkau wahai nabi bersama para sahabatmu dari kalangan orang-orang fakir beriman yang senantiasa beribadah kepada Robnya semata. Bermunajat di pagi dan sore hari dengan mengharapkan wajahNya. Duduklah dan bergaullah bersama mereka. Jangan engkau palingkan pandanganmu dari mereka lalu engkau alihkan kepada orang-orang kafir karena menginginkan kesenangan dengan perhiasan dunia. Jangan engkau taati orang yang telah Kami tutup hatinya dari mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya atas ketaatan Alloh ……
Senada dengan ayat di atas, pada surat lain Alloh berfirman :
وَلَا تَطْرُدِ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَيْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُونَ مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Robnya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki wajahNya. kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim) [al an’am : 52]
Maroji’ :
Tafsir Abu Suud (maktabah syamilah) 4/255
Tafsir Almuyassar (maktabah syamilah) 5/131
Harta Dalam Pandangan Islam (18)
Harta Bukan Barometer
Penampilan dzohir sering dijadikan kesimpulan awal bahkan menjadi pegangan utama bagi sebagian orang. Menerima jodoh, teman bergaul dan lainnya selalu diukur dengan materi.
Betapa banyak wanita menerima pinangan laki-laki hanya karena yang datang adalah orang kaya padahal ia belum tahu siapa jati diri orang itu sebenarnya. Ditambah wajahnyapun jauh dari standar ganteng.
Kita dapati orang tertentu akan merasa nyaman bila memiliki teman yangberasal dari kalangan orang berada. Di saat perhelatan pernikahan anaknya, hanya kalangan menengah ke atas sajalah yang diundang.
Pandangan ini bila dihadapkan dengan standart islam sungguh sangat bertentangan karena Alloh tidak pernah menilai seseorang semata dari seseuatu yang nampak di mata :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Dari Abu Hurairah dia berkata ; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian [HR Muslim]
Dua kisah di bawah ini cukup menjadi pelajaran bagi kita, ternyata kita sering meleset menilai orang berdasar penglihatan yang nampak dari perolehan harta yang ia miliki :
عَنْ سَهْلٍ قَالَ مَرَّ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا قَالُوا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ يُسْتَمَعَ قَالَ ثُمَّ سَكَتَ فَمَرَّ رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا قَالُوا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ لَا يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ لَا يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ لَا يُسْتَمَعَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الْأَرْضِ مِثْلَ هَذَا
Dari Sahl ia berkata; Seorang laki-laki lewat di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau pun bertanya kepada sahabatnya : Bagaimana pendapat kalian mengenai orang ini ? mereka menjawab, Ia begitu berwibawa. Bila ia meminang pasti diterima, dan bila memberi perlindungan pasti akan dipenuhi, dan bila ia berbicara, niscaya akan didengarkan. Beliau kemudian terdiam, lalu lewatlah seorang laki-laki dari fuqara kaum muslimin, dan beliau pun bertanya lagi : Lalu bagaimanakah pendapat kalian terhadap orang ini? mereka menjawab, ia pantas bila meminang untuk ditolak, jika memberi perlindungan tak akan digubris, dan bila berbicara niscaya ia tidak didengarkan. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Sesungguhnya orang ini lebih baik daripada seluruh kekayaan dunia yang seperti ini [HR Bukhori]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَمْ يَتَكَلَّمْ فِي الْمَهْدِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ وَكَانَتْ امْرَأَةٌ تُرْضِعُ ابْنًا لَهَا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ فَمَرَّ بِهَا رَجُلٌ رَاكِبٌ ذُو شَارَةٍ فَقَالَتْ اللَّهُمَّ اجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهُ فَتَرَكَ ثَدْيَهَا وَأَقْبَلَ عَلَى الرَّاكِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى ثَدْيِهَا يَمَصُّهُ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمَصُّ إِصْبَعَهُ ثُمَّ مُرَّ بِأَمَةٍ فَقَالَتْ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ ابْنِي مِثْلَ هَذِهِ فَتَرَكَ ثَدْيَهَا فَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا فَقَالَتْ لِمَ ذَاكَ فَقَالَ الرَّاكِبُ جَبَّارٌ مِنْ الْجَبَابِرَةِ وَهَذِهِ الْأَمَةُ يَقُولُونَ سَرَقْتِ زَنَيْتِ وَلَمْ تَفْعَلْ
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : ….. Dan (yang ketiga), ada seorang wanita dari kalangan Bani Isra'il yang ketika sedang menyusui bayinya ada seorang laki-laki tampan dan gagah sambil menunggang tunggangannya lewat di hadapan wanita itu. Wanita itu berkata ; Ya Allah, jadikanlah anakku ini seperti pemuda itu. Maka spontan saja bayinya melepaskan puting susu ibunya dan memandang laki-laki tampan itu lalu berkata ; Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti dia. Lalu dia kembali mengisap puting susu ibunya. Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Seakan aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengisap jari beliau. Lalu lewat seorang budak wanita, maka ibunya berkata ; Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti dia. Maka sang bayi kembali melepaskan putting susu ibunya lalu berkata ; Ya Allah, jadikanlah aku seperti dia (budak wanita itu). Ibunya bertanya : Mengapa kamu berkata begitu ?. Bayi itu menjawab: Sesungguhnya pemuda penunggang itu sebenarnya salah seorang dari orang-orang kejam (diktator) sedangkan budak wanita ini, orang-orang menuduhnya dengan mengatakan ; kamu mencuri, kamu berzina, padahal dia tidak pernah melakukannya [HR Bukhori Muslim]
Penampilan dzohir sering dijadikan kesimpulan awal bahkan menjadi pegangan utama bagi sebagian orang. Menerima jodoh, teman bergaul dan lainnya selalu diukur dengan materi.
Betapa banyak wanita menerima pinangan laki-laki hanya karena yang datang adalah orang kaya padahal ia belum tahu siapa jati diri orang itu sebenarnya. Ditambah wajahnyapun jauh dari standar ganteng.
Kita dapati orang tertentu akan merasa nyaman bila memiliki teman yangberasal dari kalangan orang berada. Di saat perhelatan pernikahan anaknya, hanya kalangan menengah ke atas sajalah yang diundang.
Pandangan ini bila dihadapkan dengan standart islam sungguh sangat bertentangan karena Alloh tidak pernah menilai seseorang semata dari seseuatu yang nampak di mata :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Dari Abu Hurairah dia berkata ; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian [HR Muslim]
Dua kisah di bawah ini cukup menjadi pelajaran bagi kita, ternyata kita sering meleset menilai orang berdasar penglihatan yang nampak dari perolehan harta yang ia miliki :
عَنْ سَهْلٍ قَالَ مَرَّ رَجُلٌ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا قَالُوا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ يُسْتَمَعَ قَالَ ثُمَّ سَكَتَ فَمَرَّ رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ مَا تَقُولُونَ فِي هَذَا قَالُوا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ لَا يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ لَا يُشَفَّعَ وَإِنْ قَالَ أَنْ لَا يُسْتَمَعَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الْأَرْضِ مِثْلَ هَذَا
Dari Sahl ia berkata; Seorang laki-laki lewat di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau pun bertanya kepada sahabatnya : Bagaimana pendapat kalian mengenai orang ini ? mereka menjawab, Ia begitu berwibawa. Bila ia meminang pasti diterima, dan bila memberi perlindungan pasti akan dipenuhi, dan bila ia berbicara, niscaya akan didengarkan. Beliau kemudian terdiam, lalu lewatlah seorang laki-laki dari fuqara kaum muslimin, dan beliau pun bertanya lagi : Lalu bagaimanakah pendapat kalian terhadap orang ini? mereka menjawab, ia pantas bila meminang untuk ditolak, jika memberi perlindungan tak akan digubris, dan bila berbicara niscaya ia tidak didengarkan. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Sesungguhnya orang ini lebih baik daripada seluruh kekayaan dunia yang seperti ini [HR Bukhori]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَمْ يَتَكَلَّمْ فِي الْمَهْدِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ وَكَانَتْ امْرَأَةٌ تُرْضِعُ ابْنًا لَهَا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ فَمَرَّ بِهَا رَجُلٌ رَاكِبٌ ذُو شَارَةٍ فَقَالَتْ اللَّهُمَّ اجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهُ فَتَرَكَ ثَدْيَهَا وَأَقْبَلَ عَلَى الرَّاكِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى ثَدْيِهَا يَمَصُّهُ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمَصُّ إِصْبَعَهُ ثُمَّ مُرَّ بِأَمَةٍ فَقَالَتْ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ ابْنِي مِثْلَ هَذِهِ فَتَرَكَ ثَدْيَهَا فَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا فَقَالَتْ لِمَ ذَاكَ فَقَالَ الرَّاكِبُ جَبَّارٌ مِنْ الْجَبَابِرَةِ وَهَذِهِ الْأَمَةُ يَقُولُونَ سَرَقْتِ زَنَيْتِ وَلَمْ تَفْعَلْ
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : ….. Dan (yang ketiga), ada seorang wanita dari kalangan Bani Isra'il yang ketika sedang menyusui bayinya ada seorang laki-laki tampan dan gagah sambil menunggang tunggangannya lewat di hadapan wanita itu. Wanita itu berkata ; Ya Allah, jadikanlah anakku ini seperti pemuda itu. Maka spontan saja bayinya melepaskan puting susu ibunya dan memandang laki-laki tampan itu lalu berkata ; Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti dia. Lalu dia kembali mengisap puting susu ibunya. Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Seakan aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengisap jari beliau. Lalu lewat seorang budak wanita, maka ibunya berkata ; Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti dia. Maka sang bayi kembali melepaskan putting susu ibunya lalu berkata ; Ya Allah, jadikanlah aku seperti dia (budak wanita itu). Ibunya bertanya : Mengapa kamu berkata begitu ?. Bayi itu menjawab: Sesungguhnya pemuda penunggang itu sebenarnya salah seorang dari orang-orang kejam (diktator) sedangkan budak wanita ini, orang-orang menuduhnya dengan mengatakan ; kamu mencuri, kamu berzina, padahal dia tidak pernah melakukannya [HR Bukhori Muslim]
Harta Dalam Pandangan Islam (17)
Kekhawatiran Nabi Shollallohu Alaihi Wasallam Akan Terbentangnya Harta
Dulu kaum muhajirin adalah kaum fakir. Meninggalkan Mekah berikut kekayaannya. Tiba di Madinah mereka tinggal di masjid sehingga sering disebut Ashhabush shuffah. Untuk makan mengandalkan kemurahan penduduk Madinah. Kaum anshor sering menggantungkan kurma di tiang masjid. Dari situlah mereka makan. Pakaian yang mereka kenakan adalah selembar kain yang mereka ikat di leher. Bila duduk, mereka harus memegang ujung kain bagian bawah agar aurot tidak terlihat. Melihat kondisi itu, pantas saja bila nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda kepada mereka yang ingin nikah “ iltamis walau khotiman min hadiid : berikan mahar meski dengan cincin dari besi “.
Di saat berangkat berperang, mereka membawa senjata seadanya. Kuda sebagai kendaraan terkadang dinaiki bergantian dengan yang lain. Dalam sebuah pengiriman sariyyah (ekspedisi) Abu Ubaidah sebagai panglima memberi setiap prajurit sebutir kurma untuk makan dalam satu harinya. Mereka emut kurma itu agar terasa lama di mulut. Minum adalah cara yang mereka lakukan untuk sekedar membuat perut mereka kenyang. Kisah ini bisa dilihat di shohih Muslim bab ash shoid wadzabaih hadits ke 1935.
Mereka terlihat sederhana dan hidup apa adanya. Kenyataan mengatakan mereka mendapat gelar dari Alloh rodliyallohu anhum warodlu anhu, disebut oleh nabi shollallohu alaihi wasallam sebagai khoirul qurun dan hampir peperangan yang mereka lakukan untuk menghadapi orang kafir dimenangkannya. Demikianlah kondisi hidup bersahaja ternyata mampu melahirkan prestasi yang luar biasa.
Untuk itulah rosululloh shollallohu alaihi wasallam mengingatkan :
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
Demi Allah bukan kemiskinan yang aku takutkan pada kalian, tapi aku takut dunia dibentangkan untuk kalian seperti halnya dibentangkan pada orang sebelum kalian, lalu kalian memperlombakannya sebagaimana mereka memperlombakannya lalu ia membinasakan kalian seperti halnya mereka [HR Bukhori Muslim]
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مَا يُخْرِجُ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا
Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah sesuatu yang akan dikeluarkan oleh Allah untuk kalian berupa keindahan dunia [HR Bukhori Muslim]
Syaikh Mushthofa Albugho mengomentari hadits di atas dengan mengatakan : berlomba-lomba dalam urusan dunia terkadang menyeret manusia kedalam rusaknya din.
Demikianlah akhirnya Alloh bentangkan kekuasan bagi umat islam. Harta melimpah tapi justru akhirnya umat terlena sehingga dengan mudah ditaklukkan oleh musuh. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ, وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اَلْبَقَرِ, وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ, وَتَرَكْتُمْ اَلْجِهَادَ, سَلَّطَ اَللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Jika engkau sekalian berjual-beli dengan 'inah (hanya sekedar mengejar keuntungan materi belaka), selalu membuntuti ekor-ekor sapi, hanya puas menunggui tanaman, dan meninggalkan jihad maka Allah akan meliputi dirimu dengan suatu kehinaan yang tidak akan dicabut sebelum kamu kembali kepada agamamu [HR Abu Daud]
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : hadits ini menerangkan keharaman condong terhadap dunia dan menyibukkannya yang akhirnya melalaikan dari din dan perkara din yang paling besar adalah aljihad fisabilillah yang merupakan puncak menara tertinggi dalam islam. Umat islam bila menyibukkan diri dalam pertanian dan sibuk mengumpulkan harta lalu melupakan jihad fisabilillah maka Alloh akan membalasnya dengan kehinaan di hadapan musuh-musuhnya. Akhirnya mereka terjajah dan terhina sebagai balasan atas berpalingnya dari din dimana din itulah yang membuat mereka mulia dan terjaga dan beroleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kita tentu tahu sejarah pejuang kemerdekaan, angkatan 66 dan mahasiswa pasca reformasi. Mereka giat berjuang dengan kesederhanaan dan hidup apa adanya. Apa yang terjadi setelah mereka berhasil ? Kita tentu apa tahu apa yang mereka lakukan setelah sejumlah jabatan mereka pegang.
Maroji’ :
Nuzhatul Muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho 1/348
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/216
Dulu kaum muhajirin adalah kaum fakir. Meninggalkan Mekah berikut kekayaannya. Tiba di Madinah mereka tinggal di masjid sehingga sering disebut Ashhabush shuffah. Untuk makan mengandalkan kemurahan penduduk Madinah. Kaum anshor sering menggantungkan kurma di tiang masjid. Dari situlah mereka makan. Pakaian yang mereka kenakan adalah selembar kain yang mereka ikat di leher. Bila duduk, mereka harus memegang ujung kain bagian bawah agar aurot tidak terlihat. Melihat kondisi itu, pantas saja bila nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda kepada mereka yang ingin nikah “ iltamis walau khotiman min hadiid : berikan mahar meski dengan cincin dari besi “.
Di saat berangkat berperang, mereka membawa senjata seadanya. Kuda sebagai kendaraan terkadang dinaiki bergantian dengan yang lain. Dalam sebuah pengiriman sariyyah (ekspedisi) Abu Ubaidah sebagai panglima memberi setiap prajurit sebutir kurma untuk makan dalam satu harinya. Mereka emut kurma itu agar terasa lama di mulut. Minum adalah cara yang mereka lakukan untuk sekedar membuat perut mereka kenyang. Kisah ini bisa dilihat di shohih Muslim bab ash shoid wadzabaih hadits ke 1935.
Mereka terlihat sederhana dan hidup apa adanya. Kenyataan mengatakan mereka mendapat gelar dari Alloh rodliyallohu anhum warodlu anhu, disebut oleh nabi shollallohu alaihi wasallam sebagai khoirul qurun dan hampir peperangan yang mereka lakukan untuk menghadapi orang kafir dimenangkannya. Demikianlah kondisi hidup bersahaja ternyata mampu melahirkan prestasi yang luar biasa.
Untuk itulah rosululloh shollallohu alaihi wasallam mengingatkan :
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
Demi Allah bukan kemiskinan yang aku takutkan pada kalian, tapi aku takut dunia dibentangkan untuk kalian seperti halnya dibentangkan pada orang sebelum kalian, lalu kalian memperlombakannya sebagaimana mereka memperlombakannya lalu ia membinasakan kalian seperti halnya mereka [HR Bukhori Muslim]
أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مَا يُخْرِجُ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا
Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kalian adalah sesuatu yang akan dikeluarkan oleh Allah untuk kalian berupa keindahan dunia [HR Bukhori Muslim]
Syaikh Mushthofa Albugho mengomentari hadits di atas dengan mengatakan : berlomba-lomba dalam urusan dunia terkadang menyeret manusia kedalam rusaknya din.
Demikianlah akhirnya Alloh bentangkan kekuasan bagi umat islam. Harta melimpah tapi justru akhirnya umat terlena sehingga dengan mudah ditaklukkan oleh musuh. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ, وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اَلْبَقَرِ, وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ, وَتَرَكْتُمْ اَلْجِهَادَ, سَلَّطَ اَللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Jika engkau sekalian berjual-beli dengan 'inah (hanya sekedar mengejar keuntungan materi belaka), selalu membuntuti ekor-ekor sapi, hanya puas menunggui tanaman, dan meninggalkan jihad maka Allah akan meliputi dirimu dengan suatu kehinaan yang tidak akan dicabut sebelum kamu kembali kepada agamamu [HR Abu Daud]
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : hadits ini menerangkan keharaman condong terhadap dunia dan menyibukkannya yang akhirnya melalaikan dari din dan perkara din yang paling besar adalah aljihad fisabilillah yang merupakan puncak menara tertinggi dalam islam. Umat islam bila menyibukkan diri dalam pertanian dan sibuk mengumpulkan harta lalu melupakan jihad fisabilillah maka Alloh akan membalasnya dengan kehinaan di hadapan musuh-musuhnya. Akhirnya mereka terjajah dan terhina sebagai balasan atas berpalingnya dari din dimana din itulah yang membuat mereka mulia dan terjaga dan beroleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kita tentu tahu sejarah pejuang kemerdekaan, angkatan 66 dan mahasiswa pasca reformasi. Mereka giat berjuang dengan kesederhanaan dan hidup apa adanya. Apa yang terjadi setelah mereka berhasil ? Kita tentu apa tahu apa yang mereka lakukan setelah sejumlah jabatan mereka pegang.
Maroji’ :
Nuzhatul Muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho 1/348
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/216
Harta Dalam Pandangan Islam (16)
Si Budak Harta
Abdulloh (hamba Alloh) dan Abdul mal (hamba harta) tentu punya gaya hidup yang berbeda. Seorang hamba Alloh tentu akan menyibukkan dirinya dengan amal untuk memperoleh ridlo Alloh. Kalau toh urusan dunia ia jalankan tentu ia tidak ingin mengusik hubungannya dengan Alloh.
Orang seperti ini akan bahagia manakala amal ibadah yang sudah diniatkan terlaksana sambil berusaha untuk mengulanginya dan memperbaikinya. Tidak itu saja, iapun akan mencari barangkali masih ada ibadah lain yang perlu ia tunaikan.
Sementara hamba harta adalah orang yang hanya mementingkan urusan dunia tanpa peduli dengan nasibnya di akhirat. Kebahagian orang seperti ini diukur dengan peroleh dunia yang sudah ia rencanakan. Bila tercapai ia bahagia, sebaliknya bila luput ia akan segera menampakkan kegelisahan. Dua contoh yang berbeda inilah yang disabdakan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تعس عبد الدينار، تعس عبد الدرهم، تعس عبد الحميصة، تعس عبد الخميلة، إن أعطي رضي، وإن لم يعط سخط، تعس وانتكس، وإذا شيك فلا انتقس، طوبى لعبد أخذ بعنان فرسه في سبيل الله ، أشعث رأسه، مغبرة قدماه، إن كان في الحراسة كان في الحراسة، وإن كان في الساقة كان في الساقة، إن استأذن لم يؤذن له، وإن شفع لم يشفع
Celaka hamba dinar, celaka hamba dirham, celaka hamba khomishoh, celaka hamba khomilah, jika diberi ia senang, dan jika tidak diberi ia marah, celakalah ia dan tersungkurlah ia, apabila terkena duri semoga tidak bisa mencabutnya, berbahagialah seorang hamba yang memacu kudanya (berjihad dijalan Allah), dengan kusut rambutnya, dan berdebu kedua kakinya, bila ia ditugaskan sebagai penjaga, dia setia berada di pos penjagaan, dan bila ditugaskan digaris belakang, dia akan tetap setia digaris belakang, jika ia minta izin (untuk menemui raja atau penguasa) tidak diperkenankan dan jika bertindak sebagai pemberi syafa'at (sebagai perantara) maka tidak diterima syafaatnya (perantaraannya) [HR Bukhori, Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Ibnu Hajar menerangkan tentang hamba dinar di atas dengan mengatakan : orang yang sedikit amal karena sibuk dengan urusan dunia sehingga lalai dari melaksanakan perintah untuk menyibukkan diri dengan yang wajib dan sunnah.
Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 11/288
Abdulloh (hamba Alloh) dan Abdul mal (hamba harta) tentu punya gaya hidup yang berbeda. Seorang hamba Alloh tentu akan menyibukkan dirinya dengan amal untuk memperoleh ridlo Alloh. Kalau toh urusan dunia ia jalankan tentu ia tidak ingin mengusik hubungannya dengan Alloh.
Orang seperti ini akan bahagia manakala amal ibadah yang sudah diniatkan terlaksana sambil berusaha untuk mengulanginya dan memperbaikinya. Tidak itu saja, iapun akan mencari barangkali masih ada ibadah lain yang perlu ia tunaikan.
Sementara hamba harta adalah orang yang hanya mementingkan urusan dunia tanpa peduli dengan nasibnya di akhirat. Kebahagian orang seperti ini diukur dengan peroleh dunia yang sudah ia rencanakan. Bila tercapai ia bahagia, sebaliknya bila luput ia akan segera menampakkan kegelisahan. Dua contoh yang berbeda inilah yang disabdakan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تعس عبد الدينار، تعس عبد الدرهم، تعس عبد الحميصة، تعس عبد الخميلة، إن أعطي رضي، وإن لم يعط سخط، تعس وانتكس، وإذا شيك فلا انتقس، طوبى لعبد أخذ بعنان فرسه في سبيل الله ، أشعث رأسه، مغبرة قدماه، إن كان في الحراسة كان في الحراسة، وإن كان في الساقة كان في الساقة، إن استأذن لم يؤذن له، وإن شفع لم يشفع
Celaka hamba dinar, celaka hamba dirham, celaka hamba khomishoh, celaka hamba khomilah, jika diberi ia senang, dan jika tidak diberi ia marah, celakalah ia dan tersungkurlah ia, apabila terkena duri semoga tidak bisa mencabutnya, berbahagialah seorang hamba yang memacu kudanya (berjihad dijalan Allah), dengan kusut rambutnya, dan berdebu kedua kakinya, bila ia ditugaskan sebagai penjaga, dia setia berada di pos penjagaan, dan bila ditugaskan digaris belakang, dia akan tetap setia digaris belakang, jika ia minta izin (untuk menemui raja atau penguasa) tidak diperkenankan dan jika bertindak sebagai pemberi syafa'at (sebagai perantara) maka tidak diterima syafaatnya (perantaraannya) [HR Bukhori, Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Ibnu Hajar menerangkan tentang hamba dinar di atas dengan mengatakan : orang yang sedikit amal karena sibuk dengan urusan dunia sehingga lalai dari melaksanakan perintah untuk menyibukkan diri dengan yang wajib dan sunnah.
Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 11/288
Harta Dalam Pandangan Islam (15)
Bahagia, Tidak Selamanya Dengan Harta
Seorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tidak mampu menikmati apa yang ia miliki. Makan daging merupakan pantangan karena ia mengidap hipertensi, makanan manis harus ia jauhi karena menderita diabetes dan beragam sayur mayur dihindari karena asam urat yang sangat parah yang tak kunjung sembuh. Kalau sudah begini apa yang harus ia makan ?
Hiburan berupa piknik tidak mungkin ia lakukan karena bisnis yang begitu menyita waktu. Di saat tukang becak masih menyempatkan diri tidur siang dengan nyenyak di atas becaknya, dirinya tidak mungkin melakukannya karena roda bisnis terus berputar tanpa henti.
Rumah megah tidak bisa dinikmati karena ia harus berangkat kerja pukul lima pagi dan jam sepuluh malam baru tiba di rumah.
Dengan kekayaannya ia bisa menggaet wanita cantik untuk menjadi istri tapi itu tidak bertahan lama. Cerai adalah ujung dari pernikahannya. Bisa saja itu terjadi karena si wanita memang hanya menginginkan hartanya semata, sehingga cinta hanyalah semu, terlihat di mata akan tetapi tidaklah demikian. Atau boleh jadi si istri tidak mendapat kebahagiaan karena tidak pernah bersua dengan suami kecuali di saat kedatangannya hingga mengantarkannya kembali bekerja di pagi hari.
Mungkin saja perceraian tidak terjadi. Akan tetapi ia mati dan meninggalkan istri dalam keadaan janda yang kemudian dinikah oleh orang lain. Kekayaan yang ditinggal akhirnya dinikmati istrinya dan suaminya yang baru. Tragis !
Betapa banyak pelaku bunuh diri adalah berasal dari kalangan orang kaya, pasangan cerai padahal si suami adalah lelaki ganteng sementara istrinya memiliki daya pikat wajah yang lusr biasa.
Contoh-contoh di atas tidak akan terjadi pada diri orang beriman, karena tolak ukur kebahagiaannya tidak terletak pada materi. Hidupnya tenang karena ia mengisi hari-harinya dengan dzikir. Bukankah Alloh berfirman :
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram [arro’d : 28]
Muqotil memaknai dzikrulloh pada ayat ini adalah dengan mengingat apa yang ada di dalam alquran berupa pahala dan siksa.
Syaikh Abu Bakar Aljazairi berkata : demikianlah orang beriman akan tenang hatinya dengan mengingat Alloh sementara orang kafir ketenangannya adalah mengingat urusan dunia.
Ada juga orang beriman yang kebahagiaannya diukur dari sholat tahajudnya sebagaimana ucapan Muhammad bin Munkadir : kenikmatan dunia itu hanya tersisa pada tiga hal, yaitu : sholat malam, bertemu teman dan sholat berjamaah.
Mu’adhid Al Ajali berkata : kalau sekiranya bukan karena tiga hal : dahaga di tengah hari, panjangnya waktu malam di musim dingin serta nikmatnya melakukan sholat malam dengan membaca kitabulloh niscaya aku tidak akan peduli jika harus menjadi seekor lebah jantan.
Dalam hal ini nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda :
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِى الصَّلاَةِ
Dijadikan penyejuk pandangan mataku di dalam sholat
Akhirnya rosululloh shollallohu alaihi wasallam merangkum sumber kebahagiaan pada tiga hal, yaitu : dijadikan sebagai muslim, dicukupkan rezeki dan diberi sifat qonaah (puas dengan pemberian) :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Dari Abdullah bin Amru bin Ash bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sungguh amat beruntunglah seorang yang memeluk Islam dan diberi rizki yang cukup serta qana'ah terhadap apa yang diberikan Allah [HR Muslim]
Aisaruttafasir, Syaikh Abu Bakar Aljazairi (maktabah syamilah) 2/248
Seorang yang memiliki harta berlimpah, ternyata tidak mampu menikmati apa yang ia miliki. Makan daging merupakan pantangan karena ia mengidap hipertensi, makanan manis harus ia jauhi karena menderita diabetes dan beragam sayur mayur dihindari karena asam urat yang sangat parah yang tak kunjung sembuh. Kalau sudah begini apa yang harus ia makan ?
Hiburan berupa piknik tidak mungkin ia lakukan karena bisnis yang begitu menyita waktu. Di saat tukang becak masih menyempatkan diri tidur siang dengan nyenyak di atas becaknya, dirinya tidak mungkin melakukannya karena roda bisnis terus berputar tanpa henti.
Rumah megah tidak bisa dinikmati karena ia harus berangkat kerja pukul lima pagi dan jam sepuluh malam baru tiba di rumah.
Dengan kekayaannya ia bisa menggaet wanita cantik untuk menjadi istri tapi itu tidak bertahan lama. Cerai adalah ujung dari pernikahannya. Bisa saja itu terjadi karena si wanita memang hanya menginginkan hartanya semata, sehingga cinta hanyalah semu, terlihat di mata akan tetapi tidaklah demikian. Atau boleh jadi si istri tidak mendapat kebahagiaan karena tidak pernah bersua dengan suami kecuali di saat kedatangannya hingga mengantarkannya kembali bekerja di pagi hari.
Mungkin saja perceraian tidak terjadi. Akan tetapi ia mati dan meninggalkan istri dalam keadaan janda yang kemudian dinikah oleh orang lain. Kekayaan yang ditinggal akhirnya dinikmati istrinya dan suaminya yang baru. Tragis !
Betapa banyak pelaku bunuh diri adalah berasal dari kalangan orang kaya, pasangan cerai padahal si suami adalah lelaki ganteng sementara istrinya memiliki daya pikat wajah yang lusr biasa.
Contoh-contoh di atas tidak akan terjadi pada diri orang beriman, karena tolak ukur kebahagiaannya tidak terletak pada materi. Hidupnya tenang karena ia mengisi hari-harinya dengan dzikir. Bukankah Alloh berfirman :
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram [arro’d : 28]
Muqotil memaknai dzikrulloh pada ayat ini adalah dengan mengingat apa yang ada di dalam alquran berupa pahala dan siksa.
Syaikh Abu Bakar Aljazairi berkata : demikianlah orang beriman akan tenang hatinya dengan mengingat Alloh sementara orang kafir ketenangannya adalah mengingat urusan dunia.
Ada juga orang beriman yang kebahagiaannya diukur dari sholat tahajudnya sebagaimana ucapan Muhammad bin Munkadir : kenikmatan dunia itu hanya tersisa pada tiga hal, yaitu : sholat malam, bertemu teman dan sholat berjamaah.
Mu’adhid Al Ajali berkata : kalau sekiranya bukan karena tiga hal : dahaga di tengah hari, panjangnya waktu malam di musim dingin serta nikmatnya melakukan sholat malam dengan membaca kitabulloh niscaya aku tidak akan peduli jika harus menjadi seekor lebah jantan.
Dalam hal ini nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda :
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِى الصَّلاَةِ
Dijadikan penyejuk pandangan mataku di dalam sholat
Akhirnya rosululloh shollallohu alaihi wasallam merangkum sumber kebahagiaan pada tiga hal, yaitu : dijadikan sebagai muslim, dicukupkan rezeki dan diberi sifat qonaah (puas dengan pemberian) :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Dari Abdullah bin Amru bin Ash bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Sungguh amat beruntunglah seorang yang memeluk Islam dan diberi rizki yang cukup serta qana'ah terhadap apa yang diberikan Allah [HR Muslim]
Aisaruttafasir, Syaikh Abu Bakar Aljazairi (maktabah syamilah) 2/248
Langganan:
Postingan (Atom)