Ilmu Dan Amal
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ
Yaitu jalannya orang yang telah engkau berikan nikmat atas mereka, bukan jalannya orang yang engkau murkai juga bukan orang-orang sesat
Seorang ustadz begitu mendalam ilmu fiqhnya. Dengan runtut ia terangkan akan wajibnya menegakkan sholat berjamaah. Aturan imam dan makmun serta apa saja yang terkait dengan pelaksanaan sholat berjamaah dengan detil ia jelaskan kepada jamaah. Semua dalil yang berkenaan dengannya ia hapal yang membuat orang terkagum.
Sayang masyarakat akhirnya kecewa karena tidak pernah melihat sang ustadz hadir di masjid selain hari jumat. Ilmunya yang luas tidak didukung dengan kenyataan. Kelakuan seperti ini mewakili potret yahudi. Berilmu tapi tidak beramal sehingga Alloh menjulukinya dengan almaghdlub (kaum yang dimurkai)
Pada kasus lain, ada seseorang yang begitu tekun beribadah. Tahajud tidak pernah ia lupakan dan dzikir senantiasa membasahi bibirnya. Sekilas nampak bagus. Akan tetapi bila ditimbang dengan mizan syariat maka kita akan tahu bahwa apa yang selama ini ia lakukan adalah sia-sia.
Keengganannya untuk duduk di majlis ilmu menyebabkan ia buta terhadap sunnah rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Semangatnya dalam beribadah tidak didukung oleh ilmu yang benar sehingga ia tidak memperoleh pahala akibat ibadah yang dilakukan tidak selaras dengan sunnah yang diajarkan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam.
Orang ini mewakili potret kaum nasrani, beramal tanpa ilmu sehingga Alloh menyebutnya dengan adl dlollin (kaum yang sesat)
Ibnu Taimiyyah berkata : kekufuran yahudi bermuara pada tidak adanya amal dengan ilmu mereka. Mereka mengetahui alhaq akan tetapi tidak mengikutinya dengan ucapan atau amalan, atau tidak ada ucapan dan amalan sekaligus. Adapun kekufuran nasrani berasal dari amal mereka yang tidak didasari oleh ilmu. Mereka begitu bersungguh-sungguh dalam serangkaian ibadah akan tetapi tidak berdasar syariat dari Alloh. Mereka mengatakan atas nama Alloh apa yang mereka tidak memiliki dasar ilmunya. Oleh karena itu ulama salaf seperti Sufyan bin Uyainah dan lainnya berkata :orang yang rusak dari kalangan ulama kita maka ia meniru kaum yahudi, sedangkan yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita maka ia meniru kaum nasrani.
Walhasil menggabungkan antara ilmu dan amal adalah jalan selamat.
Maroji’ :
Iqtidlo’ Shirothil Mustaqim, Ibnu Taimiyyah hal 5
Hukum Mencampur Dan Menggabung (25)
Perbekalan Makanan
Dalam sebuah perjalanan jauh, rombongan sepakat untuk istirahat. Merekapun mengeluarkan perbekalan makanan masing-masing. Orang Tasik mengeluarkan raginangnya, orang Purwokerto membuka plastik yang berisi lanting, orang Palembang mengambil krupuk khas daerahnya dari tasnya. Demikianlah para peserta menikmati makanan yang mereka bawa dari rumah.
Sayang, mereka makan sendiri-sendiri. Bila mereka kumpulkan menjadi satu lalu mereka santap bersama, tentu mereka akan memperoleh manfaat. Yang membawa raginang tentu akan merasakan enaknya krupuk khas Palembang dan gurihnya lanting Purwokerto. Demikianlah mereka akan menikmati fariasi hidangan yang tidak akan mereka rasakan bila makan menyendiri.
عَنْ وَحْشِيّ بْن حَرْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلَا نَشْبَعُ قَالَ فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ
Dari Wahsyi bin Harb dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang ? Beliau bersabda : Kemungkinan kalian makan sendiri-sendiri. Mereka menjawab, Ya. Beliau bersabda : Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya [HR Abu Daud]
Syaikh Mushthofa Albugho berkata : makan berjamaah dan membaca basmallah ketika makan akan mendatangkan keberkahan pada makanan dan rasa kenyang.
Maroji’ :
Nuzhatul Muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho 1/526
Dalam sebuah perjalanan jauh, rombongan sepakat untuk istirahat. Merekapun mengeluarkan perbekalan makanan masing-masing. Orang Tasik mengeluarkan raginangnya, orang Purwokerto membuka plastik yang berisi lanting, orang Palembang mengambil krupuk khas daerahnya dari tasnya. Demikianlah para peserta menikmati makanan yang mereka bawa dari rumah.
Sayang, mereka makan sendiri-sendiri. Bila mereka kumpulkan menjadi satu lalu mereka santap bersama, tentu mereka akan memperoleh manfaat. Yang membawa raginang tentu akan merasakan enaknya krupuk khas Palembang dan gurihnya lanting Purwokerto. Demikianlah mereka akan menikmati fariasi hidangan yang tidak akan mereka rasakan bila makan menyendiri.
عَنْ وَحْشِيّ بْن حَرْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نَأْكُلُ وَلَا نَشْبَعُ قَالَ فَلَعَلَّكُمْ تَفْتَرِقُونَ قَالُوا نَعَمْ قَالَ فَاجْتَمِعُوا عَلَى طَعَامِكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ يُبَارَكْ لَكُمْ فِيهِ
Dari Wahsyi bin Harb dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang ? Beliau bersabda : Kemungkinan kalian makan sendiri-sendiri. Mereka menjawab, Ya. Beliau bersabda : Hendaklah kalian makan secara bersama-sama, dan sebutlah nama Allah, maka kalian akan diberi berkah padanya [HR Abu Daud]
Syaikh Mushthofa Albugho berkata : makan berjamaah dan membaca basmallah ketika makan akan mendatangkan keberkahan pada makanan dan rasa kenyang.
Maroji’ :
Nuzhatul Muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho 1/526
Hukum Mencampur Dan Menggabung (24)
Dua Sholat
Seorang dari tim pemadam kebakaran. Di saat sedang menjinakkan api yang berkobar, adzan dzuhur berkumandang. Mungkinkah ia mengatakan kepada si pemilik gedung : maaf pak, saya akan pergi ke masjid untuk menunaikan sholat berjamaah. Seusai sholat penyemprotan akan kita lanjutkan.
Tim dokter bedah sudah memasuki ruangan. Tubuh pasien sudah mulai disayat. Kembali adzan berkumandang. Merekapun sepakat meninggalkan pasien untuk menunaikan sholat berjamaah. Tentu akan berakibat fatal bagi si sakit bila hal ini terjadi.
Islam adalah agama yang penuh kemudahan. Kewajiban sholat yang tidak boleh dilalaikan masih memungkinkan untuk diatur pelaksanaannya sesuai dengan situasi. Di sinilah rukhshoh jama’ diberikan oleh Alloh kepada hambaNya sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits :
عَنْ مُعَاذٍ رضي الله عنه قَالَ ( خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ، فَكَانَ يُصَلِّي اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا, وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Muadz Radliyallaahu 'anhu berkata : Kami pernah pergi bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam perang Tabuk. Beliau Sholat Dhuhur dan Ashar dengan jamak serta Maghrib dan Isya' dengan jamak. [HR Muslim]
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menerangkan tentang pembolehan jama’ bila kondisi diperlukan. Berarti hujan yang sangat lebat yang menyulitkan jamaah untuk kembali ke masjid menyebabkan diperbolehkannya mengambil rukhshoh ini. Termasuk dua contoh di atas bagi dokter bedah dan tim pemadam kebakaran.
Tentu kita masih ingat tentang sholat ashar rosululloh shollallohu alaihi wasallam pada perang khondaq yang beliau laksanakan saat matahari tenggelam karena mengejar target penggalian tanah.
Maroji’ :
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 2/153
Seorang dari tim pemadam kebakaran. Di saat sedang menjinakkan api yang berkobar, adzan dzuhur berkumandang. Mungkinkah ia mengatakan kepada si pemilik gedung : maaf pak, saya akan pergi ke masjid untuk menunaikan sholat berjamaah. Seusai sholat penyemprotan akan kita lanjutkan.
Tim dokter bedah sudah memasuki ruangan. Tubuh pasien sudah mulai disayat. Kembali adzan berkumandang. Merekapun sepakat meninggalkan pasien untuk menunaikan sholat berjamaah. Tentu akan berakibat fatal bagi si sakit bila hal ini terjadi.
Islam adalah agama yang penuh kemudahan. Kewajiban sholat yang tidak boleh dilalaikan masih memungkinkan untuk diatur pelaksanaannya sesuai dengan situasi. Di sinilah rukhshoh jama’ diberikan oleh Alloh kepada hambaNya sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits :
عَنْ مُعَاذٍ رضي الله عنه قَالَ ( خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ، فَكَانَ يُصَلِّي اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا, وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Muadz Radliyallaahu 'anhu berkata : Kami pernah pergi bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dalam perang Tabuk. Beliau Sholat Dhuhur dan Ashar dengan jamak serta Maghrib dan Isya' dengan jamak. [HR Muslim]
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menerangkan tentang pembolehan jama’ bila kondisi diperlukan. Berarti hujan yang sangat lebat yang menyulitkan jamaah untuk kembali ke masjid menyebabkan diperbolehkannya mengambil rukhshoh ini. Termasuk dua contoh di atas bagi dokter bedah dan tim pemadam kebakaran.
Tentu kita masih ingat tentang sholat ashar rosululloh shollallohu alaihi wasallam pada perang khondaq yang beliau laksanakan saat matahari tenggelam karena mengejar target penggalian tanah.
Maroji’ :
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 2/153
Hukum Mencampur Dan Menggabung (23)
Harta Anak Yatim Dan Walinya
Suatu hari ada seseorang ingin makan rujak. Buah mangga, bengkuang dan kedondong ada di meja. Akan tetapi dia kebingungan karena tidak memiliki gula dan cabe sebagai bahan dasar sambalnya. Pada saat yang sama seorang anak yatim memiliki semua bahan sambal dan berhasrat untuk membikin rujak. Ia terbentur oleh buah-buahan yang tidak ia miliki. Gayung bersambut keduanya bertemu dan sepakat untuk menggabungkan apa yang mereka miliki untuk satu tujuan yang sama, yaitu makan rujak. Keduanya merasa sama-sama diuntungkan.
Di hadapan syariat, bagi si yatim tentu tidak masalah. Akan tetapi bagaimana status teman partner si yatim ? Bukankah memakan harta anak yatim tidak boleh ? Bukankah ia merupakan kabair (dosa besar) dan muubiqot (penghancur) yang akan membinasakan pelakunya di akhirat ? Bukankah rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :
اجتنبوا السبع الموبقات، قالوا : يا رسول الله وما هن، قال : الشرك بالله، والسحر، وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم، والتولي يوم الزحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات
Jauhilah tujuh perkara yang membawa kehancuran !, para sahabat bertanya : Apakah ketujuh perkara itu ya Rasulullah ?, beliau menjawab : yaitu syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan oleh agama, makan riba, makan harta anak yatim, membelot dari peperangan, menuduh zina terhadap wanita yang terjaga dirinya dari perbuatan dosa dan tidak memikirkan untuk melakukan dosa, dan beriman kepada Allah [HR Bukhori dan Muslim]
Rupanya pertanyaan-pertanyaan di atas pernah mengganjal di hati para sahabat sehingga Alloh turunkan firmanNya :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ وَإنْ تُخاَلِطُوْهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَالله يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah : Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang Mengadakan perbaikan. [albaqoroh : 220]
Yang dimaksud dengan kata-kata tukhoolithuuhum (bergaul dengan mereka) adalah mencampur makanan milik anak yatim dengan pengasuhnya. Oleh karena itu Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : ayat ini merupakan dalil tentang pembolehan semua jenis pencampuran baik pada makanan, minuman, akad-akad dan lainnya.
Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi berkata : diperbolehkan mencampur harta anak yatim dengan harta milik orang yang mengurusinya bila hal itu lebih mendatangkan keuntungan
Maroji’ :
Taisir Karim Arrohman, Abdurrohman Nashir Assa’di 1/126
Aisaruttafasir, Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi hal 113
Suatu hari ada seseorang ingin makan rujak. Buah mangga, bengkuang dan kedondong ada di meja. Akan tetapi dia kebingungan karena tidak memiliki gula dan cabe sebagai bahan dasar sambalnya. Pada saat yang sama seorang anak yatim memiliki semua bahan sambal dan berhasrat untuk membikin rujak. Ia terbentur oleh buah-buahan yang tidak ia miliki. Gayung bersambut keduanya bertemu dan sepakat untuk menggabungkan apa yang mereka miliki untuk satu tujuan yang sama, yaitu makan rujak. Keduanya merasa sama-sama diuntungkan.
Di hadapan syariat, bagi si yatim tentu tidak masalah. Akan tetapi bagaimana status teman partner si yatim ? Bukankah memakan harta anak yatim tidak boleh ? Bukankah ia merupakan kabair (dosa besar) dan muubiqot (penghancur) yang akan membinasakan pelakunya di akhirat ? Bukankah rosululloh shollallohu alaihi wasallam bersabda :
اجتنبوا السبع الموبقات، قالوا : يا رسول الله وما هن، قال : الشرك بالله، والسحر، وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم، والتولي يوم الزحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات
Jauhilah tujuh perkara yang membawa kehancuran !, para sahabat bertanya : Apakah ketujuh perkara itu ya Rasulullah ?, beliau menjawab : yaitu syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan oleh agama, makan riba, makan harta anak yatim, membelot dari peperangan, menuduh zina terhadap wanita yang terjaga dirinya dari perbuatan dosa dan tidak memikirkan untuk melakukan dosa, dan beriman kepada Allah [HR Bukhori dan Muslim]
Rupanya pertanyaan-pertanyaan di atas pernah mengganjal di hati para sahabat sehingga Alloh turunkan firmanNya :
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ وَإنْ تُخاَلِطُوْهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَالله يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah : Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang Mengadakan perbaikan. [albaqoroh : 220]
Yang dimaksud dengan kata-kata tukhoolithuuhum (bergaul dengan mereka) adalah mencampur makanan milik anak yatim dengan pengasuhnya. Oleh karena itu Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : ayat ini merupakan dalil tentang pembolehan semua jenis pencampuran baik pada makanan, minuman, akad-akad dan lainnya.
Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi berkata : diperbolehkan mencampur harta anak yatim dengan harta milik orang yang mengurusinya bila hal itu lebih mendatangkan keuntungan
Maroji’ :
Taisir Karim Arrohman, Abdurrohman Nashir Assa’di 1/126
Aisaruttafasir, Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi hal 113
Hukum Mencampur Dan Menggabung (22)
Dua Surat Dalam Satu Rokaat
Surat-surat dalam alquran mengiringi bacaan alfatihah dalam sholat. Terkadang nabi shollallohu alaihi wasallam membaca surat panjang, dalam kesempatan lain terkadang beliau memilih bacaan pendek. Dalam sholat tertentu beliau bawakan surat tertentu pula. Pada suatu sholat beliau menyukai menggabungkan dua atau lebih dari dua surat. Dalil disyariatkannya melakukan hal di atas adalah :
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ فَكَانَ رُكُوعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ قَامَ طَوِيلًا قَرِيبًا مِمَّا رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى فَكَانَ سُجُودُهُ قَرِيبًا مِنْ قِيَامِهِ
Dari Hudzaifah ia berkata; Pada suatu malam, saya shalat (Qiyamul Lail) bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau mulai membaca surat Al Baqarah. Kemudian saya pun berkata (dalam hati bahwa beliau) akan ruku' pada ayat yang ke seratus. Kemudian (seratus ayat pun) berlalu, lalu saya berkata (dalam hati bahwa) beliau akan shalat dengan (surat itu) dalam satu raka'at. Namun (surat Al Baqarah pun) berlalu, maka saya berkata (dalam hati bahwa) beliau akan segera sujud. Ternyata beliau melanjutkan dengan mulai membaca surat An Nisa` hingga selesai membacanya. Kemudian beliau melanjutkan ke surat Ali Imran hingga selesai hingga beliau selesai membacanya. Bila beliau membaca ayat tasbih, beliau bertasbih dan bila beliau membaca ayat yang memerintahkan untuk memohon, beliau memohon, dan bila beliau membaca ayat ta'awwudz (ayat yang memerintahkan untuk memohon perlindungan) beliau memohon perlindungan. Kemudian beliau ruku'. Dalam ruku', beliau membaca: "SUBHAANA RABBIYAL 'AZHIIM (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung). Dan lama beliau ruku' hampir sama dengan berdirinya. Kemudian beliau membaca : SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Maha Mendengar Allah akan orang yang memuji-Nya). Kemudian beliau berdiri dan lamanya berdiri lebih kurang sama dengan lamanya ruku'. Sesudah itu beliau sujud, dan dalam sujud beliau membaca : SUBHAANA RABBIYAL A'LAA (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi). Lama beliau sujud hampir sama dengan lamanya berdiri. Sementara di dalam hadits Jarir terdapat tambahan; Beliau membaca : SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH RABBANAA LAKAL HAMDU (Allah Maha Mendengar akan orang yang memuji-Nya, Ya Tuhan kami bagi-Mu segala puji [HR Muslim]
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَلَمَّا رَجَعُوا ذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ فَسَأَلُوهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ
Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seorang lelaki dalam suatu sariyyah (pasukan khusus yang ditugaskan untuk operasi tertentu). Laki-laki tersebut ketika menjadi imam shalat bagi para sahabatnya selalu mengakhiri bacaan suratnya dengan QUL HUWALLAHU AHAD. Ketika mereka pulang, disampaikan berita tersebut kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau bersabda : Tanyakanlah kepadanya kenapa ia melakukan hal itu ? Lalu merekapun menanyakan kepadanya. Ia menjawab, Karena didalamnya terdapat sifat Ar Rahman, dan aku senang untuk selalu membacanya. Mendengar itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Ta'ala juga mencintainya [HR Bukhori Muslim]
َوَعَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رضي الله عنه قَالَ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُوتِرُ بِـ سَبِّحِ اِسْمَ رَبِّكَ اَلْأَعْلَى, و قُلْ يَا أَيُّهَا اَلْكَافِرُونَ, و: قُلْ هُوَ اَللَّهُ أَحَدٌ رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ. وَزَادَ وَلَا يُسَلِّمُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ وَلِأَبِي دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيِّ نَحْوُهُ عَنْ عَائِشَةَ وَفِيهِ كُلَّ سُورَةٍ فِي رَكْعَةٍ, وَفِي اَلْأَخِيرَةِ قُلْ هُوَ اَللَّهُ أَحَدٌ, وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ
Ubay Ibnu Ka'ab Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasanya sholat witir dengan membaca (Sabbihisma rabbikal a'la dan (Qul yaa ayyuhal kaafiruun) dan (Qul huwallaahu Ahad). Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Nasa'i. Nasa'i menambahkan : Beliau tidak salam kecuali pada rakaat terakhir. Menurut riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi terdapat hadits serupa dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu dan didalamnya disebutkan : Masing-masing surat untuk satu rakaat dan dalam rakaat terakhir dibaca (Qul huwallaahu Ahad) serta dua surat al-Falaq dan an-Naas.
Pada hadits pertama kita bisa melihat bahwa rosululloh shollallohu alaihi wasallam membaca surat albaqoroh, annisa’ dan ali imron pada rokaat pertama di sholat tahajudnya.
Pada hadits kedua, rosululloh shollallohu alaihi wasallam membenarkan sahabatnya membaca dua surat di tiap rokaatnya. Surat tertentu di rokaat pertama dan ditutup dengan surat al ikhlash, demikian juga yang dilakukan pada rokaat kedua.
Sedangkan di hadits ketiga, rosululloh shollallohu alaihi wasallam menganjurkan membaca al ikhlash dan mu’awidzatain (alfalaq dan annas) pada rokaat akhir di sholat witir.
Syaikh Mushthofa Albugho berkata : diperbolehkan mengumpulkan dua surat dalam satu rokaat selain surat alfatihah
Maroji’ :
Nuzhatul Muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho 1/300
Surat-surat dalam alquran mengiringi bacaan alfatihah dalam sholat. Terkadang nabi shollallohu alaihi wasallam membaca surat panjang, dalam kesempatan lain terkadang beliau memilih bacaan pendek. Dalam sholat tertentu beliau bawakan surat tertentu pula. Pada suatu sholat beliau menyukai menggabungkan dua atau lebih dari dua surat. Dalil disyariatkannya melakukan hal di atas adalah :
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ فَكَانَ رُكُوعُهُ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ قَامَ طَوِيلًا قَرِيبًا مِمَّا رَكَعَ ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى فَكَانَ سُجُودُهُ قَرِيبًا مِنْ قِيَامِهِ
Dari Hudzaifah ia berkata; Pada suatu malam, saya shalat (Qiyamul Lail) bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau mulai membaca surat Al Baqarah. Kemudian saya pun berkata (dalam hati bahwa beliau) akan ruku' pada ayat yang ke seratus. Kemudian (seratus ayat pun) berlalu, lalu saya berkata (dalam hati bahwa) beliau akan shalat dengan (surat itu) dalam satu raka'at. Namun (surat Al Baqarah pun) berlalu, maka saya berkata (dalam hati bahwa) beliau akan segera sujud. Ternyata beliau melanjutkan dengan mulai membaca surat An Nisa` hingga selesai membacanya. Kemudian beliau melanjutkan ke surat Ali Imran hingga selesai hingga beliau selesai membacanya. Bila beliau membaca ayat tasbih, beliau bertasbih dan bila beliau membaca ayat yang memerintahkan untuk memohon, beliau memohon, dan bila beliau membaca ayat ta'awwudz (ayat yang memerintahkan untuk memohon perlindungan) beliau memohon perlindungan. Kemudian beliau ruku'. Dalam ruku', beliau membaca: "SUBHAANA RABBIYAL 'AZHIIM (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung). Dan lama beliau ruku' hampir sama dengan berdirinya. Kemudian beliau membaca : SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH (Maha Mendengar Allah akan orang yang memuji-Nya). Kemudian beliau berdiri dan lamanya berdiri lebih kurang sama dengan lamanya ruku'. Sesudah itu beliau sujud, dan dalam sujud beliau membaca : SUBHAANA RABBIYAL A'LAA (Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi). Lama beliau sujud hampir sama dengan lamanya berdiri. Sementara di dalam hadits Jarir terdapat tambahan; Beliau membaca : SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH RABBANAA LAKAL HAMDU (Allah Maha Mendengar akan orang yang memuji-Nya, Ya Tuhan kami bagi-Mu segala puji [HR Muslim]
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَلَمَّا رَجَعُوا ذُكِرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ فَسَأَلُوهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ
Dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seorang lelaki dalam suatu sariyyah (pasukan khusus yang ditugaskan untuk operasi tertentu). Laki-laki tersebut ketika menjadi imam shalat bagi para sahabatnya selalu mengakhiri bacaan suratnya dengan QUL HUWALLAHU AHAD. Ketika mereka pulang, disampaikan berita tersebut kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka beliau bersabda : Tanyakanlah kepadanya kenapa ia melakukan hal itu ? Lalu merekapun menanyakan kepadanya. Ia menjawab, Karena didalamnya terdapat sifat Ar Rahman, dan aku senang untuk selalu membacanya. Mendengar itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Ta'ala juga mencintainya [HR Bukhori Muslim]
َوَعَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ رضي الله عنه قَالَ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُوتِرُ بِـ سَبِّحِ اِسْمَ رَبِّكَ اَلْأَعْلَى, و قُلْ يَا أَيُّهَا اَلْكَافِرُونَ, و: قُلْ هُوَ اَللَّهُ أَحَدٌ رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ. وَزَادَ وَلَا يُسَلِّمُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ وَلِأَبِي دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيِّ نَحْوُهُ عَنْ عَائِشَةَ وَفِيهِ كُلَّ سُورَةٍ فِي رَكْعَةٍ, وَفِي اَلْأَخِيرَةِ قُلْ هُوَ اَللَّهُ أَحَدٌ, وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ
Ubay Ibnu Ka'ab Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasanya sholat witir dengan membaca (Sabbihisma rabbikal a'la dan (Qul yaa ayyuhal kaafiruun) dan (Qul huwallaahu Ahad). Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Nasa'i. Nasa'i menambahkan : Beliau tidak salam kecuali pada rakaat terakhir. Menurut riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi terdapat hadits serupa dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu dan didalamnya disebutkan : Masing-masing surat untuk satu rakaat dan dalam rakaat terakhir dibaca (Qul huwallaahu Ahad) serta dua surat al-Falaq dan an-Naas.
Pada hadits pertama kita bisa melihat bahwa rosululloh shollallohu alaihi wasallam membaca surat albaqoroh, annisa’ dan ali imron pada rokaat pertama di sholat tahajudnya.
Pada hadits kedua, rosululloh shollallohu alaihi wasallam membenarkan sahabatnya membaca dua surat di tiap rokaatnya. Surat tertentu di rokaat pertama dan ditutup dengan surat al ikhlash, demikian juga yang dilakukan pada rokaat kedua.
Sedangkan di hadits ketiga, rosululloh shollallohu alaihi wasallam menganjurkan membaca al ikhlash dan mu’awidzatain (alfalaq dan annas) pada rokaat akhir di sholat witir.
Syaikh Mushthofa Albugho berkata : diperbolehkan mengumpulkan dua surat dalam satu rokaat selain surat alfatihah
Maroji’ :
Nuzhatul Muttaqin, Syaikh Mushthofa Albugho 1/300
Hukum Mencampur Dan Menggabung (21)
Hukum Hudud Dan Ta’zir
Islam mengenal hukum hudud dan hukum ta’zir. Hukum hudud adalah hukuman bagi pelaku maksiat yang sudah ditentukan oleh islam. Hal ini meliputi :
1. Zina : dera 100 kali (bagi bujangan atau gadis) dan rajam (bagi yang sudah menikah)
2. Qodzaf : dera 80 kali bagi yang menuduh orang berzina tanpa bukti dan empat orang saksi)
3. Pencuri : potongan tangan bila nishob barang yang dicuri senilai seperempat dinar
4. Pemabuk : dera 40 kali
5. Perompak : hukuman mati dan penyaliban serta potongan kaki dan tangan secara bersilang
6. Murtad dan memberontak : diperangi setelah sebelumnya didakwahi
Hukum ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan. Ia berlaku bagi pelanggaran yang islam tidak memberi aturan hukumannya. Hukuman ini dikeluarkan oleh pemimpin berdasarkan maslahat yang akan timbul dari pelaksanaannya.
Push ap bagi santri yang melakukan pelanggaran pondok adalah termasuk bagian dari hukum ta’zir. Mencuri yang belum mencapai nishob, ciuman dua manusia nerlainan jenis dan lainnya bisa juga dikenakan hukuman ta’zir.
Dalam pelaksanaannya, bisa saja hukum hudud dan ta’zir diberlakukan. Seperti yang pernah dilakukan Umar bin Khothob terhadap pemabok. Setelah mendapat laporan dari Kholid bin Walid bahwa para pemabok menganggap enteng dera 40 kali atas apa yang mereka lakukan, maka Umar menambah jumlah menjadi 80 kali. 40 dera pertama sebagai hukum hudud dan 40 kedua sebagai hukuman ta’zir. Dua riwayat di bawah ini akan memperjelas pembahasan kita :
َعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَتَى بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ اَلْخَمْرَ, فَجَلَدَهُ بِجَرِيدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِينَ. قَالَ: وَفَعَلَهُ أَبُو بَكْرٍ, فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ اِسْتَشَارَ اَلنَّاسَ, فَقَالَ عَبْدُ اَلرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: أَخَفَّ اَلْحُدُودِ ثَمَانُونَ, فَأَمَرَ بِهِ عُمَرُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah didatangkan seorang yang telah minum arak, lalu memukulnya dengan dua pelepah kurma sekitar empat puluh kali. Perawi berkata : Abu Bakar juga melakukan demikian. Pada masa Umar, ia bermusyawarah dengan orang-orang, lalu Abdurrahman Ibnu 'Auf berkata : Hukuman paling ringan adalah delapan puluh kali. Kemudian Umar memerintahkan untuk melaksanakannya [Muttafaq Alaihi]
عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه -فِي قِصَّةِ اَلْوَلِيدِ بْنِ عَقَبَةَ- ( جَلَدَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعِينَ, وَأَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ, وَعُمَرُ ثَمَانِينَ, وَكُلٌّ سُنَّةٌ, وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu -tentang kisah Walid Ibnu Uqbah : Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mencambuknya empat puluh kali, Abu Bakar (mencambuk peminum) empat puluh kali, dan Umar mencambuk delapan puluh kali. Semuanya Sunnah dan ini (yang delapan puluh kali) lebih saya (Ali) sukai [HR Muslim]
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 2/302 dan 497
Subulussalam, Imam Shon’ani 4/30
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 4/203
Islam mengenal hukum hudud dan hukum ta’zir. Hukum hudud adalah hukuman bagi pelaku maksiat yang sudah ditentukan oleh islam. Hal ini meliputi :
1. Zina : dera 100 kali (bagi bujangan atau gadis) dan rajam (bagi yang sudah menikah)
2. Qodzaf : dera 80 kali bagi yang menuduh orang berzina tanpa bukti dan empat orang saksi)
3. Pencuri : potongan tangan bila nishob barang yang dicuri senilai seperempat dinar
4. Pemabuk : dera 40 kali
5. Perompak : hukuman mati dan penyaliban serta potongan kaki dan tangan secara bersilang
6. Murtad dan memberontak : diperangi setelah sebelumnya didakwahi
Hukum ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan. Ia berlaku bagi pelanggaran yang islam tidak memberi aturan hukumannya. Hukuman ini dikeluarkan oleh pemimpin berdasarkan maslahat yang akan timbul dari pelaksanaannya.
Push ap bagi santri yang melakukan pelanggaran pondok adalah termasuk bagian dari hukum ta’zir. Mencuri yang belum mencapai nishob, ciuman dua manusia nerlainan jenis dan lainnya bisa juga dikenakan hukuman ta’zir.
Dalam pelaksanaannya, bisa saja hukum hudud dan ta’zir diberlakukan. Seperti yang pernah dilakukan Umar bin Khothob terhadap pemabok. Setelah mendapat laporan dari Kholid bin Walid bahwa para pemabok menganggap enteng dera 40 kali atas apa yang mereka lakukan, maka Umar menambah jumlah menjadi 80 kali. 40 dera pertama sebagai hukum hudud dan 40 kedua sebagai hukuman ta’zir. Dua riwayat di bawah ini akan memperjelas pembahasan kita :
َعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَتَى بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ اَلْخَمْرَ, فَجَلَدَهُ بِجَرِيدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِينَ. قَالَ: وَفَعَلَهُ أَبُو بَكْرٍ, فَلَمَّا كَانَ عُمَرُ اِسْتَشَارَ اَلنَّاسَ, فَقَالَ عَبْدُ اَلرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: أَخَفَّ اَلْحُدُودِ ثَمَانُونَ, فَأَمَرَ بِهِ عُمَرُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah didatangkan seorang yang telah minum arak, lalu memukulnya dengan dua pelepah kurma sekitar empat puluh kali. Perawi berkata : Abu Bakar juga melakukan demikian. Pada masa Umar, ia bermusyawarah dengan orang-orang, lalu Abdurrahman Ibnu 'Auf berkata : Hukuman paling ringan adalah delapan puluh kali. Kemudian Umar memerintahkan untuk melaksanakannya [Muttafaq Alaihi]
عَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه -فِي قِصَّةِ اَلْوَلِيدِ بْنِ عَقَبَةَ- ( جَلَدَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعِينَ, وَأَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ, وَعُمَرُ ثَمَانِينَ, وَكُلٌّ سُنَّةٌ, وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ
Dari Ali Radliyallaahu 'anhu -tentang kisah Walid Ibnu Uqbah : Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mencambuknya empat puluh kali, Abu Bakar (mencambuk peminum) empat puluh kali, dan Umar mencambuk delapan puluh kali. Semuanya Sunnah dan ini (yang delapan puluh kali) lebih saya (Ali) sukai [HR Muslim]
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 2/302 dan 497
Subulussalam, Imam Shon’ani 4/30
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 4/203
Hukum Mencampur Dan Menggabung (20)
Berbagai Hukum hudud Pada Satu Orang
Islam mengenal pasal berlapis dalam kasus kejahatan. Terkadang satu orang pelaku dikenakan pada dirinya lebih dari satu hukuman. Seorang melakukan tindakan pencurian. Hasil yang ia peroleh dari kejahatannya ia pergunakan untuk mabuk dan berzina dengan pelacur. Di hadapan mahkamah ia akan dikenakan hukum potong tangan karena mencuri, dera seratus kali akibat berzina dan tambahan empat puluh dera sebagai hukuman dari minum khomr.
Bisa saja satu bentuk perbuatan dosa dikenakan dua hukuman. Sebagai contoh dalam kasus perzinahan. Dera seratus kali ditambah pengasingan setahun bagi pelaku yang belum menikah pernah diberlakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Demikian juga beliau pernah memberi intruksi agar pezina yang sudah berkeluarga ditimpakan dera seratus kali dan diakhiri rajam hingga mati :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيِّ رَضِيَ اَللَّهُ عنهما ( أَنَّ رَجُلًا مِنَ اَلْأَعْرَابِ أَتَى رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! أَنْشُدُكَ بِاَللَّهِ إِلَّا قَضَيْتَ لِي بِكِتَابِ اَللَّهِ, فَقَالَ اَلْآخَرُ - وَهُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ - نَعَمْ فَاقَضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اَللَّهِ, وَأْذَنْ لِي, فَقَالَ: قُلْ قَالَ: إنَّ اِبْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِاِمْرَأَتِهِ, وَإِنِّي أُخْبِرْتُ أَنْ عَلَى اِبْنِي اَلرَّجْمَ, فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمَائَةِ شَاةٍ وَوَلِيدَةٍ, فَسَأَلَتُ أَهْلَ اَلْعِلْمِ, فَأَخْبَرُونِي: أَنَّمَا عَلَى اِبْنِيْ جَلْدُ مَائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ, وَأَنَّ عَلَى اِمْرَأَةِ هَذَا اَلرَّجْمَ, فَقَالَ رَسُولُ ا للَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ, لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اَللَّهِ, اَلْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ, وَعَلَى اِبْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ, وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى اِمْرَأَةِ هَذَا, فَإِنْ اِعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, هَذَا وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم
Dari Abu Hurairah dan Zaid Ibnu Kholid al-Juhany bahwa ada seorang Arab Badui menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, dengan nama Allah aku hanya ingin baginda memberi keputusan kepadaku dengan Kitabullah. Temannya berkata -dan ia lebih pandai daripada orang Badui itu : Benar, berilah keputusan di antara kami dengan Kitabullah dan izinkanlah aku (untuk menceritakan masalah kami). Beliau bersabda : Katakanlah. Ia berkata: Anakku menjadi buruh orang ini, lalu ia berzina dengan istrinya. Ada orang yang memberitahukan kepadaku bahwa ia harus dirajam, namun aku menebusnya dengan seratus ekor domba dan seorang budak wanita. Lalu aku bertanya kepada orang-orang alim dan mereka memberitahukan kepadaku bahwa puteraku harus dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun, sedang istri orang ini harus dirajam. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku benar-benar akan memutuskan antara engkau berdua dengan Kitabullah. Budak wanita dan domba kembali kepadamu dan anakmu dihukum cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Berangkatlah, wahai Anas, menemui istri orang ini. Bila ia mengaku, rajamlah ia. Dan lafadz menurut Muslim [Muttafaq Alaihi]
َوَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي فَقَدْ جَعَلَ اَللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ, وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ, وَالرَّجْمُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ubadah Ibnu al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Ambillah (hukum) dariku. Ambillah (hukum) dariku. Allah telah membuat jalan untuk mereka (para pezina). Jejaka berzina dengan gadis hukumannya seratus cambukan dan diasingkan setahun. Duda berzina dengan janda hukumannya seratus cambukan dan dirajam. [HR Muslim]
Imam Shon’ani berpendapat bahwa penggabungan antara dera dan pengasingan selama satu tahun (sekarang penjara) hukumnya wajib dan ia termasuk kesempurnaan hukuman.
Sementara penggabungan antara cambukan dan rajam bagi yang sudah menikah, dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian tidak sependapat karena wanita dari Ghomidiyah dan Ma’iz bin Malik hanya dikenakan hukuman rajam. Adapun Ali bin Abi Tholib menilai perlu adanya penggabungan sehingga ia pernah berkata : aku mencambuknya karena melaksanakan kitabulloh dan aku merajamnya karena melaksanakan sunnah rosululloh shollalohu alaihi wasallam.
Dalam kasus lain, dalam mensikapi ahlul Hirobah (perompak, kelompok yang memiliki persenjataan dan kekuatan, keluar ke tengah padang pasir atau hutan yang jauh dari pemukiman penduduk kota dan desa. Kegiatan mereka adalah menghadang umat islam untuk merampok bahkan disertai pembunuhan sadis)
Berdasarkan surat almaidah ayat 33 mereka dikenakan hukuman :
1. Hukuman mati dan penyaliban
Ditujukan bagi yang melakukan pembunuhan, perampasan dan membuat ketidaknyamanan manusia
2. Hukuman mati
Diperuntukkan bagi yang melakukan pembunuhan saja
3. Hukuman mati dan pemotongan kaki dan tangan secara silang
Dikenakan bagi yang melakukan pembunuhan dan perampokan. Bila kaki kanan yang dipotong maka tangan kiri selanjutnya dipotong demikian juga sebaliknya.
4. Diasingkan
Bila tidak melakukan pembunuhan dan perampokan
Maroji’ :
Subulussalam, Imam Shon’ani 4/4-5
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 4/153
Islam mengenal pasal berlapis dalam kasus kejahatan. Terkadang satu orang pelaku dikenakan pada dirinya lebih dari satu hukuman. Seorang melakukan tindakan pencurian. Hasil yang ia peroleh dari kejahatannya ia pergunakan untuk mabuk dan berzina dengan pelacur. Di hadapan mahkamah ia akan dikenakan hukum potong tangan karena mencuri, dera seratus kali akibat berzina dan tambahan empat puluh dera sebagai hukuman dari minum khomr.
Bisa saja satu bentuk perbuatan dosa dikenakan dua hukuman. Sebagai contoh dalam kasus perzinahan. Dera seratus kali ditambah pengasingan setahun bagi pelaku yang belum menikah pernah diberlakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Demikian juga beliau pernah memberi intruksi agar pezina yang sudah berkeluarga ditimpakan dera seratus kali dan diakhiri rajam hingga mati :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيِّ رَضِيَ اَللَّهُ عنهما ( أَنَّ رَجُلًا مِنَ اَلْأَعْرَابِ أَتَى رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! أَنْشُدُكَ بِاَللَّهِ إِلَّا قَضَيْتَ لِي بِكِتَابِ اَللَّهِ, فَقَالَ اَلْآخَرُ - وَهُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ - نَعَمْ فَاقَضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اَللَّهِ, وَأْذَنْ لِي, فَقَالَ: قُلْ قَالَ: إنَّ اِبْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِاِمْرَأَتِهِ, وَإِنِّي أُخْبِرْتُ أَنْ عَلَى اِبْنِي اَلرَّجْمَ, فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمَائَةِ شَاةٍ وَوَلِيدَةٍ, فَسَأَلَتُ أَهْلَ اَلْعِلْمِ, فَأَخْبَرُونِي: أَنَّمَا عَلَى اِبْنِيْ جَلْدُ مَائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ, وَأَنَّ عَلَى اِمْرَأَةِ هَذَا اَلرَّجْمَ, فَقَالَ رَسُولُ ا للَّهِ صلى الله عليه وسلم وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ, لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اَللَّهِ, اَلْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ عَلَيْكَ, وَعَلَى اِبْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ, وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى اِمْرَأَةِ هَذَا, فَإِنْ اِعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, هَذَا وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم
Dari Abu Hurairah dan Zaid Ibnu Kholid al-Juhany bahwa ada seorang Arab Badui menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, dengan nama Allah aku hanya ingin baginda memberi keputusan kepadaku dengan Kitabullah. Temannya berkata -dan ia lebih pandai daripada orang Badui itu : Benar, berilah keputusan di antara kami dengan Kitabullah dan izinkanlah aku (untuk menceritakan masalah kami). Beliau bersabda : Katakanlah. Ia berkata: Anakku menjadi buruh orang ini, lalu ia berzina dengan istrinya. Ada orang yang memberitahukan kepadaku bahwa ia harus dirajam, namun aku menebusnya dengan seratus ekor domba dan seorang budak wanita. Lalu aku bertanya kepada orang-orang alim dan mereka memberitahukan kepadaku bahwa puteraku harus dicambuk seratus kali dan diasingkan setahun, sedang istri orang ini harus dirajam. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku benar-benar akan memutuskan antara engkau berdua dengan Kitabullah. Budak wanita dan domba kembali kepadamu dan anakmu dihukum cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun. Berangkatlah, wahai Anas, menemui istri orang ini. Bila ia mengaku, rajamlah ia. Dan lafadz menurut Muslim [Muttafaq Alaihi]
َوَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي فَقَدْ جَعَلَ اَللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلاً اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ, وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ, وَالرَّجْمُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Ubadah Ibnu al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Ambillah (hukum) dariku. Ambillah (hukum) dariku. Allah telah membuat jalan untuk mereka (para pezina). Jejaka berzina dengan gadis hukumannya seratus cambukan dan diasingkan setahun. Duda berzina dengan janda hukumannya seratus cambukan dan dirajam. [HR Muslim]
Imam Shon’ani berpendapat bahwa penggabungan antara dera dan pengasingan selama satu tahun (sekarang penjara) hukumnya wajib dan ia termasuk kesempurnaan hukuman.
Sementara penggabungan antara cambukan dan rajam bagi yang sudah menikah, dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian tidak sependapat karena wanita dari Ghomidiyah dan Ma’iz bin Malik hanya dikenakan hukuman rajam. Adapun Ali bin Abi Tholib menilai perlu adanya penggabungan sehingga ia pernah berkata : aku mencambuknya karena melaksanakan kitabulloh dan aku merajamnya karena melaksanakan sunnah rosululloh shollalohu alaihi wasallam.
Dalam kasus lain, dalam mensikapi ahlul Hirobah (perompak, kelompok yang memiliki persenjataan dan kekuatan, keluar ke tengah padang pasir atau hutan yang jauh dari pemukiman penduduk kota dan desa. Kegiatan mereka adalah menghadang umat islam untuk merampok bahkan disertai pembunuhan sadis)
Berdasarkan surat almaidah ayat 33 mereka dikenakan hukuman :
1. Hukuman mati dan penyaliban
Ditujukan bagi yang melakukan pembunuhan, perampasan dan membuat ketidaknyamanan manusia
2. Hukuman mati
Diperuntukkan bagi yang melakukan pembunuhan saja
3. Hukuman mati dan pemotongan kaki dan tangan secara silang
Dikenakan bagi yang melakukan pembunuhan dan perampokan. Bila kaki kanan yang dipotong maka tangan kiri selanjutnya dipotong demikian juga sebaliknya.
4. Diasingkan
Bila tidak melakukan pembunuhan dan perampokan
Maroji’ :
Subulussalam, Imam Shon’ani 4/4-5
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 4/153
Hukum Mencampur Dan Menggabung (19)
Dua Orang Yang Akan Melakukan Usaha
Dua orang sama-sama ingin membeli semangka. Yang tersisa di toko adalah semangka yang terlalu besar. Akhirnya keduanya sepakat untuk membeli satu buah semangka yang kemudian membaginya menjadi dua bagian. Cara seperti ini sangatlah baik. Kenapa ? Karena dengan begitu kedua orang tersebut bisa menikmati semangka. Bila bersendirian dalam membeli, tentu tidak akan tercapai. Di samping harga yang tidak terjangkau, juga keduanya tidak membutuhkan semangka dengan porsi berlebihan.
Ada orang yang memiliki skil usaha akan tetapi tidak memiliki modal. Di sisi lain ada orang yang memiliki kelebihan harta. Ia lemah dalam mengelola harta. Bisa saja itu terjadi karena ia tidak memiliki bakat atau karena kesibukannya dalam bidang tertentu seperti dakwah dan menuntut ilmu. Akhirnya keduanya bertemu untuk saling memadukan potensi yang dimiliki sehingga terciptalah usaha bisnis yang menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam fiqh kasus ini sering disebut dengan syirkah. Secara bahasa ia bermakna : al ikhtilath (bercampur). Secara syar’i berarti : satu akad (perjanjian) antara kedua belah pihak untuk mengelola pokok harta dan keuntungannya.
Dua orang yang mengerjakan pembangunan rumah. Orang pertama bertugas untuk mengaduk pasir dan semen, sementara orang kedua bagian penembok. Pemilik rumah menjanjikan upah seharinya adalah seratus ribu rupiah. Akhirnya keduanya sepakat bahwa perolehan uang dibagi 40 % untuk pengaduk dan 60 % untuk penembok. Akad seperti ini biasa disebut dengan syirkatul abdan.
Dua orang yang memiliki skil dan modal menyepakati sebuah amal usaha. Akad seperti ini disebut dengan syirkatul ‘inan.
Inilah sebagian contoh dari syirkah yang diperbolehkan oleh syariat. Dengan berkembangnya jaman, tentu fariasi syirkah akan terus mengalami perkembangan dan islam sudah pasti menjadi penentu akan halal dan haramnya aqad tersebut.
Akad syirkah sudah dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam dan para sahabat sebagaimana riwayat-riwayat di bawah ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ اَللَّهُ أَنَا ثَالِثُ اَلشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَإِذَا خَانَ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
,
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Allah berfirman : Aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan) mereka [HR Abu Dawud]
عَنْ اَلسَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ اَلْمَخْزُومِيِّ ( أَنَّهُ كَانَ شَرِيكَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَبْلَ اَلْبَعْثَةِ, فَجَاءَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ, فَقَالَ مَرْحَباً بِأَخِي وَشَرِيكِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَةَ
Dari al-Saib al-Mahzumy Radliyallaahu 'anhu bahwa ia dahulu adalah sekutu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Ketika ia datang pada hari penaklukan kota Mekkah, beliau bersabda : Selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku [HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah]
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ اِشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ فِيمَا نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata : Aku, Ammar, dan Sa'ad bersekutu dalam harta rampasan yang akan kami peroleh dari perang Badar. [HR Nasa'i]
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 3/294
Syarhul Mumthi, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 4/252-253
Dua orang sama-sama ingin membeli semangka. Yang tersisa di toko adalah semangka yang terlalu besar. Akhirnya keduanya sepakat untuk membeli satu buah semangka yang kemudian membaginya menjadi dua bagian. Cara seperti ini sangatlah baik. Kenapa ? Karena dengan begitu kedua orang tersebut bisa menikmati semangka. Bila bersendirian dalam membeli, tentu tidak akan tercapai. Di samping harga yang tidak terjangkau, juga keduanya tidak membutuhkan semangka dengan porsi berlebihan.
Ada orang yang memiliki skil usaha akan tetapi tidak memiliki modal. Di sisi lain ada orang yang memiliki kelebihan harta. Ia lemah dalam mengelola harta. Bisa saja itu terjadi karena ia tidak memiliki bakat atau karena kesibukannya dalam bidang tertentu seperti dakwah dan menuntut ilmu. Akhirnya keduanya bertemu untuk saling memadukan potensi yang dimiliki sehingga terciptalah usaha bisnis yang menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam fiqh kasus ini sering disebut dengan syirkah. Secara bahasa ia bermakna : al ikhtilath (bercampur). Secara syar’i berarti : satu akad (perjanjian) antara kedua belah pihak untuk mengelola pokok harta dan keuntungannya.
Dua orang yang mengerjakan pembangunan rumah. Orang pertama bertugas untuk mengaduk pasir dan semen, sementara orang kedua bagian penembok. Pemilik rumah menjanjikan upah seharinya adalah seratus ribu rupiah. Akhirnya keduanya sepakat bahwa perolehan uang dibagi 40 % untuk pengaduk dan 60 % untuk penembok. Akad seperti ini biasa disebut dengan syirkatul abdan.
Dua orang yang memiliki skil dan modal menyepakati sebuah amal usaha. Akad seperti ini disebut dengan syirkatul ‘inan.
Inilah sebagian contoh dari syirkah yang diperbolehkan oleh syariat. Dengan berkembangnya jaman, tentu fariasi syirkah akan terus mengalami perkembangan dan islam sudah pasti menjadi penentu akan halal dan haramnya aqad tersebut.
Akad syirkah sudah dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam dan para sahabat sebagaimana riwayat-riwayat di bawah ini :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ اَللَّهُ أَنَا ثَالِثُ اَلشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ, فَإِذَا خَانَ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
,
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Allah berfirman : Aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan) mereka [HR Abu Dawud]
عَنْ اَلسَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ اَلْمَخْزُومِيِّ ( أَنَّهُ كَانَ شَرِيكَ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَبْلَ اَلْبَعْثَةِ, فَجَاءَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ, فَقَالَ مَرْحَباً بِأَخِي وَشَرِيكِي ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَةَ
Dari al-Saib al-Mahzumy Radliyallaahu 'anhu bahwa ia dahulu adalah sekutu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Ketika ia datang pada hari penaklukan kota Mekkah, beliau bersabda : Selamat datang wahai saudaraku dan sekutuku [HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah]
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ اِشْتَرَكْتُ أَنَا وَعَمَّارٌ وَسَعْدٌ فِيمَا نُصِيبُ يَوْمَ بَدْرٍ رَوَاهُ النَّسَائِيُّ
Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata : Aku, Ammar, dan Sa'ad bersekutu dalam harta rampasan yang akan kami peroleh dari perang Badar. [HR Nasa'i]
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 3/294
Syarhul Mumthi, Syaikh Muhammad Sholih Utsaimin 4/252-253
Hukum Mencampur Dan Menggabung (18)
Dua Dalil Yang Berbeda
Barangkali kita pernah mendapatkan dalil quran dan sunnah nampak bertentangan. Tak jarang antar hadits seolah saling berlawanan. Bagi orang kafir, hal ini bisa dijadikan sarana untuk menjatuhkan ajaran islam di hadapan kaum muslimin.
Sangat disayangkan ketika sebagian umat islam begitu mudahnya membuang dalil dari hadits dengan alasan bahwa hadits ini bertentangan dengan alquran. Padahal bila dirinya mau bersabar untuk mengkaji ulang dan menyempatkan diri bertanya kepada ulama niscaya kita akan mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin kedua sumber hukum islam itu berlawanan. Keduanya serasi dan saling melengkapi.
Jalan keluar dari permasalahan ini adalah mengkompromikan dalil-dalil yang seolah saling berselisih dan menghasilkan kesimpulan bahwa keduanya ada titik temu. Metode semacam ini sering disebut dengan thoriqotul jam’i. Di antara contoh-contoh kompromi dalil melalui teori ini adalah :
1. Waktu sholat jumat
َوَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ اَلْأَكْوَعِ رضي الله عنه قَالَ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلْجُمُعَةَ, ثُمَّ نَنْصَرِفُ وَلَيْسَ لِلْحِيطَانِ ظِلٌّ نَسْتَظِلُّ بِهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيّ ِ وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ كُنَّا نَجْمَعُ مَعَهُ إِذَا زَالَتِ اَلشَّمْسُ, ثُمَّ نَرْجِعُ, نَتَتَبَّعُ اَلْفَيْءَ
Salamah bin Al-Akwa' Radliyallaahu 'anhu berkata : Kami biasa sholat bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam hari Jum'at, kemudian kami bubar pada saat tembok-tembok tidak ada bayangan untuk berteduh. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari. Dalam lafadz menurut riwayat Muslim : Kami sholat Jum'at bersama beliau ketika matahari tergelincir kemudian kami pulang sambil mencari-cari tempat berteduh.
َوَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا كُنَّا نَقِيلُ وَلَا نَتَغَدَّى إِلَّا بَعْدَ اَلْجُمُعَةِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ فِي عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
Sahal Ibnu Sa'ad Radliyallaahu 'anhu berkata : Kami tidak pernah tidur siang dan makan siang kecuali setelah (sholat) Jum'at. Muttafaq Alaihi dengan lafadz menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan : Pada jaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
Dua hadits di atas menerangkan tentang pelaksanaan sholat jumat. Yang pertama menerangkan bahwa pelaksanaannya setelah matahari tergelincir (menyesuaikan waktu dzuhur). Pada hadits selanjutnya menerangkan bahwa sholat jumat selesai semenatara waktu dzuhur belum tiba. Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menjelaskan bahwa kedua dalil di atas sebenarnya tidak bertentangan. Terkadang rosululloh shollallohu alaihi wasallam melakukannya sebelum matahari tergelincir, di lain waktu beliau menunaikannya setelah matahari tergelincir mengikuti jadwal waktu sholat dzuhur. Tak lupa beliau berharap bahwa melaksanakan setelah tergelincir matahari adalah lebih afdhol karena itulah yang sering dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam disamping waktu itu lebih memungkinkan untuk mengumpulkan manusia dan menjauhkan diri dari kemungkinan timbulnya perpecahan di kalangan umat islam.
2. Buang air menghadap ke arah kiblat
َوَعَنْ سَلْمَانَ رضي الله عنه قَالَ لَقَدْ نَهَانَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نَسْتَقْبِلَ اَلْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ عَظْمٍرَوَاهُ مُسْلِم
Salman Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam benar-benar telah melarang kami menghadap kiblat pada saat buang air besar atau kecil atau ber-istinja' (membersihkan kotoran) dengan tangan kanan atau beristinja' dengan batu kurang dari tiga biji atau beristinja' dengan kotoran hewan atau dengan tulang [HR Muslim]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ إِنَّ نَاسًا يَقُولُونَ إِذَا قَعَدْتَ عَلَى حَاجَتِكَ فَلَا تَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَقَدْ ارْتَقَيْتُ يَوْمًا عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ لَنَا فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلًا بَيْتَ الْمَقْدِسِ لِحَاجَتِهِ وَقَالَ لَعَلَّكَ مِنْ الَّذِينَ يُصَلُّونَ عَلَى أَوْرَاكِهِمْ فَقُلْتُ لَا أَدْرِي وَاللَّهِ
Dari 'Abdullah bin 'Umar bahwa ia berkata, Orang-orang berkata, Jika kamu menunaikan hajatmu maka janganlah menghadap kiblat atau menghadap ke arah Baitul Maqdis. 'Abdullah bin 'Umar lalu berkata, Pada suatu hari aku pernah naik atap rumah milik kami, lalu aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam buang hajat menghadap Baitul Maqdis di antara dua dinding [HR Bukhori Muslim]
Dua dalil di atas menerangkan status buang air menghadap kiblat dan membelakanginya. Hadits pertama terkesan melarang sementara pada hadits kedua justru rosululloh shollallohu alaihi wasallam melakukannya. Para ulama menyimpulkan bahwa pelarangan yang dimaksud adalah dilakukan di tempat terbuka. Adapun buang air di tempat tertutup seperti di wc maka hal itu diperbolehkan.
3. Menyentuh kemaluan setelah wudlu
عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَقَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْ قَالَ اَلرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ أَعَلَيْهِ وُضُوءٍ ؟ فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لَا إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ
Thalq Ibnu Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Seorang laki-laki berkata : saya menyentuh kemaluanku atau ia berkata : seseorang laki-laki menyentuh kemaluannya pada waktu shalat apakah ia wajib berwudlu ? Nabi menjawab : Tidak karena ia hanya sepotong daging dari tubuhmu [HR Imam Lima]
ِعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Dari Busrah binti Shofwan Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudlu Dikeluarkan oleh [HR Imam Lima]
Dua dalil di atas terkesan saling berselisih. Pada hadits pertama menerangkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu sementara pada hadits kedua justru rosululloh shollallohu alaihi wasallam memerintahkan untuk mengulangi wudlunya.
Para ulama menerangkan bahwa sekedar menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu kecuali bila dilakukan tanpa penghalang seperti kain atau atas dasar syahwat.
Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 1/310
Subulussalam, Imam Shon’ani 1/78
Taudlihul ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 2/167-168
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Sayyid Salim 1/134-135
Barangkali kita pernah mendapatkan dalil quran dan sunnah nampak bertentangan. Tak jarang antar hadits seolah saling berlawanan. Bagi orang kafir, hal ini bisa dijadikan sarana untuk menjatuhkan ajaran islam di hadapan kaum muslimin.
Sangat disayangkan ketika sebagian umat islam begitu mudahnya membuang dalil dari hadits dengan alasan bahwa hadits ini bertentangan dengan alquran. Padahal bila dirinya mau bersabar untuk mengkaji ulang dan menyempatkan diri bertanya kepada ulama niscaya kita akan mendapat kenyataan bahwa tidak mungkin kedua sumber hukum islam itu berlawanan. Keduanya serasi dan saling melengkapi.
Jalan keluar dari permasalahan ini adalah mengkompromikan dalil-dalil yang seolah saling berselisih dan menghasilkan kesimpulan bahwa keduanya ada titik temu. Metode semacam ini sering disebut dengan thoriqotul jam’i. Di antara contoh-contoh kompromi dalil melalui teori ini adalah :
1. Waktu sholat jumat
َوَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ اَلْأَكْوَعِ رضي الله عنه قَالَ كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلْجُمُعَةَ, ثُمَّ نَنْصَرِفُ وَلَيْسَ لِلْحِيطَانِ ظِلٌّ نَسْتَظِلُّ بِهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيّ ِ وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ كُنَّا نَجْمَعُ مَعَهُ إِذَا زَالَتِ اَلشَّمْسُ, ثُمَّ نَرْجِعُ, نَتَتَبَّعُ اَلْفَيْءَ
Salamah bin Al-Akwa' Radliyallaahu 'anhu berkata : Kami biasa sholat bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam hari Jum'at, kemudian kami bubar pada saat tembok-tembok tidak ada bayangan untuk berteduh. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari. Dalam lafadz menurut riwayat Muslim : Kami sholat Jum'at bersama beliau ketika matahari tergelincir kemudian kami pulang sambil mencari-cari tempat berteduh.
َوَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا كُنَّا نَقِيلُ وَلَا نَتَغَدَّى إِلَّا بَعْدَ اَلْجُمُعَةِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ وَفِي رِوَايَةٍ فِي عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
Sahal Ibnu Sa'ad Radliyallaahu 'anhu berkata : Kami tidak pernah tidur siang dan makan siang kecuali setelah (sholat) Jum'at. Muttafaq Alaihi dengan lafadz menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan : Pada jaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
Dua hadits di atas menerangkan tentang pelaksanaan sholat jumat. Yang pertama menerangkan bahwa pelaksanaannya setelah matahari tergelincir (menyesuaikan waktu dzuhur). Pada hadits selanjutnya menerangkan bahwa sholat jumat selesai semenatara waktu dzuhur belum tiba. Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menjelaskan bahwa kedua dalil di atas sebenarnya tidak bertentangan. Terkadang rosululloh shollallohu alaihi wasallam melakukannya sebelum matahari tergelincir, di lain waktu beliau menunaikannya setelah matahari tergelincir mengikuti jadwal waktu sholat dzuhur. Tak lupa beliau berharap bahwa melaksanakan setelah tergelincir matahari adalah lebih afdhol karena itulah yang sering dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam disamping waktu itu lebih memungkinkan untuk mengumpulkan manusia dan menjauhkan diri dari kemungkinan timbulnya perpecahan di kalangan umat islam.
2. Buang air menghadap ke arah kiblat
َوَعَنْ سَلْمَانَ رضي الله عنه قَالَ لَقَدْ نَهَانَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نَسْتَقْبِلَ اَلْقِبْلَةَ بِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ عَظْمٍرَوَاهُ مُسْلِم
Salman Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam benar-benar telah melarang kami menghadap kiblat pada saat buang air besar atau kecil atau ber-istinja' (membersihkan kotoran) dengan tangan kanan atau beristinja' dengan batu kurang dari tiga biji atau beristinja' dengan kotoran hewan atau dengan tulang [HR Muslim]
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ إِنَّ نَاسًا يَقُولُونَ إِذَا قَعَدْتَ عَلَى حَاجَتِكَ فَلَا تَسْتَقْبِلْ الْقِبْلَةَ وَلَا بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ لَقَدْ ارْتَقَيْتُ يَوْمًا عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ لَنَا فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى لَبِنَتَيْنِ مُسْتَقْبِلًا بَيْتَ الْمَقْدِسِ لِحَاجَتِهِ وَقَالَ لَعَلَّكَ مِنْ الَّذِينَ يُصَلُّونَ عَلَى أَوْرَاكِهِمْ فَقُلْتُ لَا أَدْرِي وَاللَّهِ
Dari 'Abdullah bin 'Umar bahwa ia berkata, Orang-orang berkata, Jika kamu menunaikan hajatmu maka janganlah menghadap kiblat atau menghadap ke arah Baitul Maqdis. 'Abdullah bin 'Umar lalu berkata, Pada suatu hari aku pernah naik atap rumah milik kami, lalu aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam buang hajat menghadap Baitul Maqdis di antara dua dinding [HR Bukhori Muslim]
Dua dalil di atas menerangkan status buang air menghadap kiblat dan membelakanginya. Hadits pertama terkesan melarang sementara pada hadits kedua justru rosululloh shollallohu alaihi wasallam melakukannya. Para ulama menyimpulkan bahwa pelarangan yang dimaksud adalah dilakukan di tempat terbuka. Adapun buang air di tempat tertutup seperti di wc maka hal itu diperbolehkan.
3. Menyentuh kemaluan setelah wudlu
عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَقَالَ رَجُلٌ: مَسَسْتُ ذَكَرِي أَوْ قَالَ اَلرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِي اَلصَّلَاةِ أَعَلَيْهِ وُضُوءٍ ؟ فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لَا إِنَّمَا هُوَ بَضْعَةٌ مِنْكَ أَخْرَجَهُ اَلْخَمْسَةُ
Thalq Ibnu Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Seorang laki-laki berkata : saya menyentuh kemaluanku atau ia berkata : seseorang laki-laki menyentuh kemaluannya pada waktu shalat apakah ia wajib berwudlu ? Nabi menjawab : Tidak karena ia hanya sepotong daging dari tubuhmu [HR Imam Lima]
ِعَنْ بُسْرَةَ بِنْتِ صَفْوَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Dari Busrah binti Shofwan Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah ia berwudlu Dikeluarkan oleh [HR Imam Lima]
Dua dalil di atas terkesan saling berselisih. Pada hadits pertama menerangkan bahwa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu sementara pada hadits kedua justru rosululloh shollallohu alaihi wasallam memerintahkan untuk mengulangi wudlunya.
Para ulama menerangkan bahwa sekedar menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudlu kecuali bila dilakukan tanpa penghalang seperti kain atau atas dasar syahwat.
Maroji’ :
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Atsqolani 1/310
Subulussalam, Imam Shon’ani 1/78
Taudlihul ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 2/167-168
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal Sayyid Salim 1/134-135
Hukum Mencampur Dan Menggabung (17)
Air Suci Dengan Sesuatu Yang Suci
Status air bisa Thohur, artinya suci bagi dirinya dan bisa dijadikan sebagai alat bersuci seperti wudlu, mandi dan menghilangkan najis.
Air juga bisa berstatus thohir, artinya dirinya suci akan tetapi tidak syah dijadikan alat bersuci. Seperti air teh, kopi, susu dan lainnya. Bisa dibayangkan bila kita berwudlu dengan air yang sudah bercampur dengan sirop marjan. Tentu wudlu kita dinilai tidak syah. Dengan demikian, air thohur bila bercampur dengan benda lain meskipun suci maka bisa merubah status air tersebut.
Akan tetapi Syaikh Sayid Sabiq sedikit memberi penjelasan bahwa air ketika bercampur dengan benda lain, sementara kemutlakan air tetap terjaga maka air tersebut masih bisa digunakan untuk bersuci. Air sungai yang kecoklatan karena bercampur dengan tanah setelah hujan turun dan air dari PAM yang terkadang bercampur dengan kaporit adalah sekian dari air yang masih syah digunakan untuk bersuci. Pendapat beliau didasarkan oleh sebuah hadits tentang air yang sudah bercampur dengan daun bidara :
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ عَلَيْنَا اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ نُغَسِّلُ ابْنَتَهُ، فَقَالَ اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا, أَوْ خَمْسًا, أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ، إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ, بِمَاءٍ وَسِدْرٍ, وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُورًا, أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ، فَلَمَّا فَرَغْنَا آذَنَّاهُ, فَأَلْقَى إِلَيْنَا حِقْوَهُ.فَقَالَ أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةٍ ابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَاضِعِ اَلْوُضُوءِ مِنْهَا وَفِي لَفْظٍ ِللْبُخَارِيِّ فَضَفَّرْنَا شَعْرَهَا ثَلَاثَةَ قُرُونٍ, فَأَلْقَيْنَاهُ خَلْفَهَا
Ummu Athiyyah Radliyallaahu 'anhu berkata : Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masuk ketika kami sedang memandikan jenazah puterinya, lalu beliau bersabda : Mandikanlah tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu. Jika kamu pandang perlu pakailah air dan bidara, dan pada yang terakhir kali dengan kapur barus/ kamfer) atau campuran dari kapur barus. Ketika kami telah selesai, kami beritahukan beliau, lalu beliau memberikan kainnya pada kami seraya bersabda : Bungkuslah ia dengan kain ini [Muttafaq Alaihi]
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 1/18
Status air bisa Thohur, artinya suci bagi dirinya dan bisa dijadikan sebagai alat bersuci seperti wudlu, mandi dan menghilangkan najis.
Air juga bisa berstatus thohir, artinya dirinya suci akan tetapi tidak syah dijadikan alat bersuci. Seperti air teh, kopi, susu dan lainnya. Bisa dibayangkan bila kita berwudlu dengan air yang sudah bercampur dengan sirop marjan. Tentu wudlu kita dinilai tidak syah. Dengan demikian, air thohur bila bercampur dengan benda lain meskipun suci maka bisa merubah status air tersebut.
Akan tetapi Syaikh Sayid Sabiq sedikit memberi penjelasan bahwa air ketika bercampur dengan benda lain, sementara kemutlakan air tetap terjaga maka air tersebut masih bisa digunakan untuk bersuci. Air sungai yang kecoklatan karena bercampur dengan tanah setelah hujan turun dan air dari PAM yang terkadang bercampur dengan kaporit adalah sekian dari air yang masih syah digunakan untuk bersuci. Pendapat beliau didasarkan oleh sebuah hadits tentang air yang sudah bercampur dengan daun bidara :
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ عَلَيْنَا اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ نُغَسِّلُ ابْنَتَهُ، فَقَالَ اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا, أَوْ خَمْسًا, أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ، إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ, بِمَاءٍ وَسِدْرٍ, وَاجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُورًا, أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ، فَلَمَّا فَرَغْنَا آذَنَّاهُ, فَأَلْقَى إِلَيْنَا حِقْوَهُ.فَقَالَ أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةٍ ابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَاضِعِ اَلْوُضُوءِ مِنْهَا وَفِي لَفْظٍ ِللْبُخَارِيِّ فَضَفَّرْنَا شَعْرَهَا ثَلَاثَةَ قُرُونٍ, فَأَلْقَيْنَاهُ خَلْفَهَا
Ummu Athiyyah Radliyallaahu 'anhu berkata : Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam masuk ketika kami sedang memandikan jenazah puterinya, lalu beliau bersabda : Mandikanlah tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu. Jika kamu pandang perlu pakailah air dan bidara, dan pada yang terakhir kali dengan kapur barus/ kamfer) atau campuran dari kapur barus. Ketika kami telah selesai, kami beritahukan beliau, lalu beliau memberikan kainnya pada kami seraya bersabda : Bungkuslah ia dengan kain ini [Muttafaq Alaihi]
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 1/18
Hukum Mencampur Dan Menggabung (16)
Air Suci Dengan Najis
Air tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Minum, mandi dan thoharoh. Manakala air bercampur dengan sesuatu yang najis maka akan bermasalah. Ia tidak bisa lagi digunakan untuk bersuci. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam memberi kaedah yang mempermudah kita untuk mensikapi air yang bercampur dengan benda najis.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ
Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya [HR Ibnu Majah]
وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi : Air itu suci dan mensucikan kecuali jika ia berubah baunya, rasanya atau warnanya dengan suatu najis yang masuk di dalamnya
Sayyid Sabiq berkata : air yang bercampur dengan benda najis memiliki dua kondisi :
Bila benda najis merubah rasa atau warna atau bau. Dalam kondisi seperti ini maka status air tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Bila benda najis tidak berpengaruh sehingga air tetap pada sifat kemutlakannya maka statusnya adalah suci dan mensucikan
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 1/19
Air tidak bisa dipisahkan dari kehidupan. Minum, mandi dan thoharoh. Manakala air bercampur dengan sesuatu yang najis maka akan bermasalah. Ia tidak bisa lagi digunakan untuk bersuci. Rosululloh shollallohu alaihi wasallam memberi kaedah yang mempermudah kita untuk mensikapi air yang bercampur dengan benda najis.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ
Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya [HR Ibnu Majah]
وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ
Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi : Air itu suci dan mensucikan kecuali jika ia berubah baunya, rasanya atau warnanya dengan suatu najis yang masuk di dalamnya
Sayyid Sabiq berkata : air yang bercampur dengan benda najis memiliki dua kondisi :
Bila benda najis merubah rasa atau warna atau bau. Dalam kondisi seperti ini maka status air tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Bila benda najis tidak berpengaruh sehingga air tetap pada sifat kemutlakannya maka statusnya adalah suci dan mensucikan
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 1/19
Hukum Mencampur Dan Menggabung (15)
Air Dengan Batu
Istinja’ (cebok) bisa menggunakan batu atau air. Sebagian ulama menilai menggunakan air lebih baik dari penggunaan batu. Menggabungkan keduanya diperbolehkan. Dasar dalil tentang penggunaan keduanya adalah sebagaimana dua riwayat di bawah ini :
عَنْ أَنَس بْن مَالِك يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعَنَا إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ
Dari Anas bin Malik berkata, Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar untuk buang hajat, maka aku dan seorang temanku membawakan bejana berisi air, yakni agar beliau bisa beristinja` dengannya [HR Bukhori]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ اتَّبَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَرَجَ لِحَاجَتِهِ فَكَانَ لَا يَلْتَفِتُ فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَقَالَ ابْغِنِي أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضْ بِهَا أَوْ نَحْوَهُ وَلَا تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلَا رَوْثٍ فَأَتَيْتُهُ بِأَحْجَارٍ بِطَرَفِ ثِيَابِي فَوَضَعْتُهَا إِلَى جَنْبِهِ وَأَعْرَضْتُ عَنْهُ فَلَمَّا قَضَى أَتْبَعَهُ بِهِنَّ
Dari Abu Hurairah ia berkata, Aku mengikuti Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saat beliau keluar untuk buang hajat, dan beliau tidak menoleh (ke kanan atau ke kiri) hingga aku pun mendekatinya. Lalu Beliau bersabda : Carikan untukku batu untuk aku gunakan beristinja' dan jangan bawakan tulang atau kotoran hewan. Lalu aku datang kepada beliau dengan membawa kerikil di ujung kainku, batu tersebut aku letakkan di sisinya, lalu aku berpaling darinya. Setelah selesai beliau gunakan batu-batu tersebut [HR Bukhori]
Maroji’ :
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim 1/89
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 1/32
Istinja’ (cebok) bisa menggunakan batu atau air. Sebagian ulama menilai menggunakan air lebih baik dari penggunaan batu. Menggabungkan keduanya diperbolehkan. Dasar dalil tentang penggunaan keduanya adalah sebagaimana dua riwayat di bawah ini :
عَنْ أَنَس بْن مَالِك يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ أَجِيءُ أَنَا وَغُلَامٌ مَعَنَا إِدَاوَةٌ مِنْ مَاءٍ يَعْنِي يَسْتَنْجِي بِهِ
Dari Anas bin Malik berkata, Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar untuk buang hajat, maka aku dan seorang temanku membawakan bejana berisi air, yakni agar beliau bisa beristinja` dengannya [HR Bukhori]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ اتَّبَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَرَجَ لِحَاجَتِهِ فَكَانَ لَا يَلْتَفِتُ فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَقَالَ ابْغِنِي أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضْ بِهَا أَوْ نَحْوَهُ وَلَا تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلَا رَوْثٍ فَأَتَيْتُهُ بِأَحْجَارٍ بِطَرَفِ ثِيَابِي فَوَضَعْتُهَا إِلَى جَنْبِهِ وَأَعْرَضْتُ عَنْهُ فَلَمَّا قَضَى أَتْبَعَهُ بِهِنَّ
Dari Abu Hurairah ia berkata, Aku mengikuti Nabi shallallahu 'alaihi wasallam saat beliau keluar untuk buang hajat, dan beliau tidak menoleh (ke kanan atau ke kiri) hingga aku pun mendekatinya. Lalu Beliau bersabda : Carikan untukku batu untuk aku gunakan beristinja' dan jangan bawakan tulang atau kotoran hewan. Lalu aku datang kepada beliau dengan membawa kerikil di ujung kainku, batu tersebut aku letakkan di sisinya, lalu aku berpaling darinya. Setelah selesai beliau gunakan batu-batu tersebut [HR Bukhori]
Maroji’ :
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim 1/89
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 1/32
Hukum Mencampur Dan Menggabung (14)
Air Dengan Anggur
Keduanya bila bersatu lalu berubah wujud menjadi khomr adalah diharamkan oleh syariat. Meski keduanya di saat berdiri sendiri berstatus halal. Air halal demikian juga anggur. Ada baiknya kita perhatikan kisah menakjubkan pada masa tabi’in :
Seorang pemabuk di saat akan didera dengan cambukan sebagai hukuman atas perbuatannya, berargumen di hadapan Iyash bin Muawiyah (qodli pada masa tabi’in). Ia berkata : Bukankan air itu halal ? Iyash menjawab : Benar. Ia berkata : Bukankah anggur itu halal ? Iyash menjawab : Benar. Ia berkata : Kenapa ketika air dan anggur bercampur, berubah menjadi haram dan aku dipersalahkan meminumnya ? Mendengar hujah yang nampak masuk akal ini, Iyash menimpali dengan ringan : Kalau aku menggenggam tanah, lalu aku lempar kepada dirimu, apakah engkau merasa sakit ? Ia menjawab : Tidak ! Iyash berkata : Kalau aku menyiram air ke muka, apakah engkau merasa sakit ? Ia menjawab : Tidak ! Iyash berkata : Bagaimana jika aku mencampur air dengan tanah lalu aku menjemurnya di bawah terik matahari, setelah kering aku melemparnya ke kepalamu, apa yang engkau rasakan ? Ia menjawab : aku akan kesakitan. Iyashpun memberinya nasehat : Demikianlah kedudukan air dan anggur yang sudah bercampur dengan air dan tanah yang sudah menyatu.
Keduanya bila bersatu lalu berubah wujud menjadi khomr adalah diharamkan oleh syariat. Meski keduanya di saat berdiri sendiri berstatus halal. Air halal demikian juga anggur. Ada baiknya kita perhatikan kisah menakjubkan pada masa tabi’in :
Seorang pemabuk di saat akan didera dengan cambukan sebagai hukuman atas perbuatannya, berargumen di hadapan Iyash bin Muawiyah (qodli pada masa tabi’in). Ia berkata : Bukankan air itu halal ? Iyash menjawab : Benar. Ia berkata : Bukankah anggur itu halal ? Iyash menjawab : Benar. Ia berkata : Kenapa ketika air dan anggur bercampur, berubah menjadi haram dan aku dipersalahkan meminumnya ? Mendengar hujah yang nampak masuk akal ini, Iyash menimpali dengan ringan : Kalau aku menggenggam tanah, lalu aku lempar kepada dirimu, apakah engkau merasa sakit ? Ia menjawab : Tidak ! Iyash berkata : Kalau aku menyiram air ke muka, apakah engkau merasa sakit ? Ia menjawab : Tidak ! Iyash berkata : Bagaimana jika aku mencampur air dengan tanah lalu aku menjemurnya di bawah terik matahari, setelah kering aku melemparnya ke kepalamu, apa yang engkau rasakan ? Ia menjawab : aku akan kesakitan. Iyashpun memberinya nasehat : Demikianlah kedudukan air dan anggur yang sudah bercampur dengan air dan tanah yang sudah menyatu.
Hukum Mencampur Dan Menggabung (13)
Air Dengan Susu
Minum air susu kaleng tentu harus bercampur dengan air putih. Demikian juga dengan kopi, jahe dan lainnya. Akan tetapi manakala itu dilakukan atas dasar melakukan kecurangan maka hal itu adalah terlarang dalam syariat. Seperti yang terkadang dilakukan para pedagang demi mendapat keuntungan tanpa memikirkan kerugian yang dialami oleh konsumen.
Dalam siroh kita mendapatkan kisah yang sangat berfaedah, yaitu kisah nenek dari Umar bin Abdul Aziz.
Pada suatu hari Umar mendengar suara pembicaraan seorang ibu dengan putrinya. Sang ibu berkata : ambillah susu itu dan campurlah dengan air lalu kita jual. Sang putri berkata : Wahai ibu, bukankah kholifah Umar bin Khothob sudah bertekad untuk memberantas kecurangan ? Bukankah kholifah melarang rakyatnya untuk mencampur susu dengan air ? Sang ibu bersikeras untuk tetap mencampurnya dan berkata : Wahai puteriku, bukankah Umar bin Khothob tidak mengetahui apa yang kita perbuat ? Dengan lembut sang puteri menjawab : Wahai ibu, pantaskah aku mentaatinya di depan orang sementara menentangnya di belakang ? Seandainya kholifah tidak tahu dengan apa yang kita perbuat, bukankah Alloh, Robnya Umar pasti mengetahuinya ?
Umar bin Khothob terkagum mendengar kejujurannya hingga akhirnya menikahkan sang gadis dengan Ashim (putra Umar) yang kelak di kemudian hari lahir seorang anak perempuan yang melahirkan anak bernama Umar bin Abdul Aziz, kholifah yang dikenal dengan keadilannya.
Oleh karena itu semua jenis penipuan adalah terlarang sebagaimana sabda nabi shollallohu alaihi wasallam dalam sidak ke pasar Madinah :
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ, فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ اَلطَّعَامِ ? قَالَ أَصَابَتْهُ اَلسَّمَاءُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. فَقَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ اَلطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ اَلنَّاسُ ? مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan jari-jarinya basah. Maka beliau bertanya : Apa ini wahai penjual makanan ? Ia menjawab : Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya ? Barangsiapa menipu maka ia bukan termasuk golonganku [HR Muslim]
Minum air susu kaleng tentu harus bercampur dengan air putih. Demikian juga dengan kopi, jahe dan lainnya. Akan tetapi manakala itu dilakukan atas dasar melakukan kecurangan maka hal itu adalah terlarang dalam syariat. Seperti yang terkadang dilakukan para pedagang demi mendapat keuntungan tanpa memikirkan kerugian yang dialami oleh konsumen.
Dalam siroh kita mendapatkan kisah yang sangat berfaedah, yaitu kisah nenek dari Umar bin Abdul Aziz.
Pada suatu hari Umar mendengar suara pembicaraan seorang ibu dengan putrinya. Sang ibu berkata : ambillah susu itu dan campurlah dengan air lalu kita jual. Sang putri berkata : Wahai ibu, bukankah kholifah Umar bin Khothob sudah bertekad untuk memberantas kecurangan ? Bukankah kholifah melarang rakyatnya untuk mencampur susu dengan air ? Sang ibu bersikeras untuk tetap mencampurnya dan berkata : Wahai puteriku, bukankah Umar bin Khothob tidak mengetahui apa yang kita perbuat ? Dengan lembut sang puteri menjawab : Wahai ibu, pantaskah aku mentaatinya di depan orang sementara menentangnya di belakang ? Seandainya kholifah tidak tahu dengan apa yang kita perbuat, bukankah Alloh, Robnya Umar pasti mengetahuinya ?
Umar bin Khothob terkagum mendengar kejujurannya hingga akhirnya menikahkan sang gadis dengan Ashim (putra Umar) yang kelak di kemudian hari lahir seorang anak perempuan yang melahirkan anak bernama Umar bin Abdul Aziz, kholifah yang dikenal dengan keadilannya.
Oleh karena itu semua jenis penipuan adalah terlarang sebagaimana sabda nabi shollallohu alaihi wasallam dalam sidak ke pasar Madinah :
َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ, فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ اَلطَّعَامِ ? قَالَ أَصَابَتْهُ اَلسَّمَاءُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. فَقَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ اَلطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ اَلنَّاسُ ? مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah melewati sebuah tumpukan makanan. Lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam tumpukan tersebut dan jari-jarinya basah. Maka beliau bertanya : Apa ini wahai penjual makanan ? Ia menjawab : Terkena hujan wahai Rasulullah. Beliau bersabda : Mengapa tidak engkau letakkan di bagian atas makanan agar orang-orang dapat melihatnya ? Barangsiapa menipu maka ia bukan termasuk golonganku [HR Muslim]
Hukum Mencampur Dan Menggabung (12)
Air Dengan Tanah
Air dan tanah adalah duet yang sangat ampuh membunuh kuman. Terbukti air liur anjing yang mengandung kuman, tidak mampu dibunuh dengan antiseptic apapun selain air dan tanah. Inilah yang disabdakan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah. Dikeluarkan oleh Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan : Hendaklah ia membuang air itu. Menurut riwayat Tirmidzi : Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah).
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : adapun cara penggunaan tanah dalam membersihkan najis anjing adalah : menyiramkan air ke tanah atau sebaliknya tanah dituangkan ke air atau mengambil tanah basah yang sudah bercampur air. Adapun menggosok wadah yang terkena najis dengan tanah adalah tidak syah.
Maroji’ :
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 1/103
Taisirul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam hal 23
Air dan tanah adalah duet yang sangat ampuh membunuh kuman. Terbukti air liur anjing yang mengandung kuman, tidak mampu dibunuh dengan antiseptic apapun selain air dan tanah. Inilah yang disabdakan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah. Dikeluarkan oleh Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan : Hendaklah ia membuang air itu. Menurut riwayat Tirmidzi : Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah).
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : adapun cara penggunaan tanah dalam membersihkan najis anjing adalah : menyiramkan air ke tanah atau sebaliknya tanah dituangkan ke air atau mengambil tanah basah yang sudah bercampur air. Adapun menggosok wadah yang terkena najis dengan tanah adalah tidak syah.
Maroji’ :
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 1/103
Taisirul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam hal 23
Hukum Mencampur Dan Menggabung (11)
Dua Wanita Bersaudara Dalam Ikatan Pernikahan
Poligami dalam islam diperbolehkan. Akan tetapi dengan memperhatikan norma-norma yang sudah diatur oleh syariat. Tentu tidak dibenarkan bila menikahi seorang wanita sementara adiknya atau bibinya juga kita peristri. Hikmah di balik pelarangan itu adalah menghindarkan diri dari pemutusan tali silaturrohim dan permusuhan antar kerabat.
Kecemburuan yang terjadi akibat pernikahan ini lebih dahsyat dibanding ketika kita menikahi wanita lain yang tidak ada hubungan nasab dengan istri.
Oleh karena itu Alloh dan rosulNya mengingatkan kita :
وَ أنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ
Dan diharamkan menghimpunkan dalam perkawinan dua wanita yang bersaudara [annisa : 23]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لَا يُجْمَعُ بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا , وَلَا بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayahnya dan antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya [Muttafaq Alaihi]
Maroji’ :
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/536
Poligami dalam islam diperbolehkan. Akan tetapi dengan memperhatikan norma-norma yang sudah diatur oleh syariat. Tentu tidak dibenarkan bila menikahi seorang wanita sementara adiknya atau bibinya juga kita peristri. Hikmah di balik pelarangan itu adalah menghindarkan diri dari pemutusan tali silaturrohim dan permusuhan antar kerabat.
Kecemburuan yang terjadi akibat pernikahan ini lebih dahsyat dibanding ketika kita menikahi wanita lain yang tidak ada hubungan nasab dengan istri.
Oleh karena itu Alloh dan rosulNya mengingatkan kita :
وَ أنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ
Dan diharamkan menghimpunkan dalam perkawinan dua wanita yang bersaudara [annisa : 23]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( لَا يُجْمَعُ بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا , وَلَا بَيْنَ اَلْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ayahnya dan antara seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya [Muttafaq Alaihi]
Maroji’ :
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/536
Hukum Mencampur Dan Menggabung (10)
Tempat Tinggal Muslim Dan Kafir
Sudah selayaknya umat islam memiliki komunitas. Lingkungan yang hanya dihuni oleh kaum muslimin. Kita dengan mudah melaksanakan syariat islam tanpa gangguan dan terjaga dari sikap tasyabuh dengan perilaku orang kafir.
Bisa dibayangkan ketika kita tinggal di negeri kafir. Begitu sulitnya kita mempertahankan aqidah. Dalam beberapa kesempatan kita terpaksa mengikuti ajaran agama mereka. Di sisi lain ketika kita memiliki keahlian di bidang tertentu, justru akan semakin memajukan negeri itu. Kita rugi sementara mereka memperoleh keuntungan. Oleh karena itu rosululloh shollallohu alaihi wasallam mengingatkan :
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ قَالَ لَا تَرَاءَى نَارَاهُمَا
Dari Jarir bin Abdullah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Aku berlepas diri dari setiap muslim yang bermukim di antara orang-orang musyrik. Mereka bertanya; kenapa wahai Rasulullah? Beliau berkata : kedua api peperangan mereka saling melihat [HR Abu Daud dan Tirmidzi]
Ibnu Katsir berkata : barangsiapa yang tinggal bersama orang kafir padahal ia mampu untuk berhijroh sementara ia tidak mampu melaksanakan ajaran islam di sana, maka ia dinilai telah menzalimi dirinya sendiri dan telah melakukan larangan Alloh.
Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : hijroh dari negeri kafir menuju negeri muslim adalah kewajiban yang paling agung, meninggalkannya adalah satu keharaman.
Hasan Albasri berkata : seseorang yang pergi untuk tinggal di negeri kafir, bila di sana ia tidak keluar dari islam maka sebenarnya ia telah dinilai telah murtad karena telah meninggalkan negeri islam.
Hasan bin Sholih berkata : barangsiapa yang tinggal di negeri musuh padahal ia memiliki kemampuan untuk tinggal di negeri islam maka hukum yang berlaku bagi dirinya adalah diperlakukan seperti status orang musyrik. Bila seorang kafir masuk islam namun ia tetap tinggal di negerinya padahal ia mampu untuk berpindah ke negeri muslim, ia tidak dinilai sebagai muslim. Status bagi dirinya adalah hukum yang berlaku atas orang kafir harbi baik pada harta atau nyawanya.
Dalam sejarah, kita mendapatkan kisah orang yang bersyahadat di hadapan rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Ketika turun perintah hijroh, sebagian di antara mereka enggan pergi. Yang terjadi selanjutnya adalah mereka tidak mampu menolak paksaan orang kafir untuk berangkat menuju badar. Di perang itupun didapati banyak di antara mereka yang mati oleh sabetan pedang dan panah dari para sahabat. Di saat para sahabat sedih melihat kenyataan yang ada, maka Alloh menurunkan ayat yang menerangkan kedudukan mereka :
إنَّ الَّذِيْنَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِى أنْفُسِهِمْ قاَلُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الأَرْضِ قاَلُوْا ألَمْ تَكُنْ أرْضُ الله وَاسِعَةً فَتُهاَجِرُوْا فِيْهاَ فَأُلئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيْراً
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam Keadaan Menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya : Dalam Keadaan bagaimana kamu ini ?. mereka menjawab : Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para Malaikat berkata : Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ? orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, [annisa’ : 97]
Maroji’ :
Taisir Kalim Arrohman, Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 1/290
Tafsir Alquran Al’adzim, Abu Fida ibnu Katsir Addamsyiqi 1/670
Alwala’ Walbaro’ Fil Islam, Muhammad bin Said Salim Alqohthoni hal 272
Sudah selayaknya umat islam memiliki komunitas. Lingkungan yang hanya dihuni oleh kaum muslimin. Kita dengan mudah melaksanakan syariat islam tanpa gangguan dan terjaga dari sikap tasyabuh dengan perilaku orang kafir.
Bisa dibayangkan ketika kita tinggal di negeri kafir. Begitu sulitnya kita mempertahankan aqidah. Dalam beberapa kesempatan kita terpaksa mengikuti ajaran agama mereka. Di sisi lain ketika kita memiliki keahlian di bidang tertentu, justru akan semakin memajukan negeri itu. Kita rugi sementara mereka memperoleh keuntungan. Oleh karena itu rosululloh shollallohu alaihi wasallam mengingatkan :
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ قَالَ لَا تَرَاءَى نَارَاهُمَا
Dari Jarir bin Abdullah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : Aku berlepas diri dari setiap muslim yang bermukim di antara orang-orang musyrik. Mereka bertanya; kenapa wahai Rasulullah? Beliau berkata : kedua api peperangan mereka saling melihat [HR Abu Daud dan Tirmidzi]
Ibnu Katsir berkata : barangsiapa yang tinggal bersama orang kafir padahal ia mampu untuk berhijroh sementara ia tidak mampu melaksanakan ajaran islam di sana, maka ia dinilai telah menzalimi dirinya sendiri dan telah melakukan larangan Alloh.
Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : hijroh dari negeri kafir menuju negeri muslim adalah kewajiban yang paling agung, meninggalkannya adalah satu keharaman.
Hasan Albasri berkata : seseorang yang pergi untuk tinggal di negeri kafir, bila di sana ia tidak keluar dari islam maka sebenarnya ia telah dinilai telah murtad karena telah meninggalkan negeri islam.
Hasan bin Sholih berkata : barangsiapa yang tinggal di negeri musuh padahal ia memiliki kemampuan untuk tinggal di negeri islam maka hukum yang berlaku bagi dirinya adalah diperlakukan seperti status orang musyrik. Bila seorang kafir masuk islam namun ia tetap tinggal di negerinya padahal ia mampu untuk berpindah ke negeri muslim, ia tidak dinilai sebagai muslim. Status bagi dirinya adalah hukum yang berlaku atas orang kafir harbi baik pada harta atau nyawanya.
Dalam sejarah, kita mendapatkan kisah orang yang bersyahadat di hadapan rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Ketika turun perintah hijroh, sebagian di antara mereka enggan pergi. Yang terjadi selanjutnya adalah mereka tidak mampu menolak paksaan orang kafir untuk berangkat menuju badar. Di perang itupun didapati banyak di antara mereka yang mati oleh sabetan pedang dan panah dari para sahabat. Di saat para sahabat sedih melihat kenyataan yang ada, maka Alloh menurunkan ayat yang menerangkan kedudukan mereka :
إنَّ الَّذِيْنَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلاَئِكَةُ ظَالِمِى أنْفُسِهِمْ قاَلُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الأَرْضِ قاَلُوْا ألَمْ تَكُنْ أرْضُ الله وَاسِعَةً فَتُهاَجِرُوْا فِيْهاَ فَأُلئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيْراً
Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam Keadaan Menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya : Dalam Keadaan bagaimana kamu ini ?. mereka menjawab : Adalah Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para Malaikat berkata : Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu ? orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, [annisa’ : 97]
Maroji’ :
Taisir Kalim Arrohman, Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 1/290
Tafsir Alquran Al’adzim, Abu Fida ibnu Katsir Addamsyiqi 1/670
Alwala’ Walbaro’ Fil Islam, Muhammad bin Said Salim Alqohthoni hal 272
Hukum Mencampur Dan Menggabung (9)
Dua Orang Yang Dipersaudarakan
Setiba di kota Madinah, rosululloh shollallohu alaihi wasallam mempersaudarakan dua orang sahabat antara kaum anshor dan muhajirin. Mereka semua berjumlah 50 orang. Di antara mereka yang dipersaudarakan adalah :
1. Ja’far bin Abu Tholib dengan Muadz bin Jabal
2. Abu Bakar Ash Shiddiq dengan Khorijah bin Jubair
3. Umar bin Khothob dengan Ithban bin Malik
4. Amir bin Abdulloh dengan Sa’ad bin Muadz
5. Abdurrohman bin Auf dengan Sa’ad bin Robi’
6. Zubair bin awwam dengan Salamah bin Salamah
7. Utsman bin Affan dengan Aus bin Tsabit
8. Tholhah bin Ubaidillah dengan Ka’ab bin Malik
9. Sa’ad bin Zaid dengan Ubay bin Ka’ab
10. Mush’ab bin Umair dengan Kholid bin Zaid
11. Abu Khudziafah dengan Ubad bin Bisyr
12. Ammar bin Yasir dengan Hudzaifah Alyaman
13. Abu Dzar Alghifari dengan Munzir bin Amir
14. Bilal bin Robah dengan Abu Ruwaihah
15. Salaman Alfarisi dengan Abu Darda’
Persaudaraan ini dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam dengan tujuan :
• Melenyapkan rasa asing para muhajirin yang baru tinggal di kota Madinah
• Membangun persaudaraan di atas agama Alloh
• Tolong menolong antara yang kuat dan lemah
Sementara Syaikh Shoifurrohman Almubarok Fuuri berkata : persaudaran ini bertujuan untuk mengikis fanatisme jahiliyyah, menghilangkan perbedaan nasab, warna dan asal negara sehingga tidak ada asas alwala’ walbaro’ (loyalitas) selain dibangun di atas pondasi islam.
Dari contoh persaudaran, kita mendapatkan kisah persaudaraan antara Abdurrohman bin Auf dan Sa’ad bin Robi’. Sa’ad berkata : saya adalah orang anshor yang paling kaya maka akan aku bagi dua harta kekayaanku untukmu, saya juga memiliki dua istri, silahkan pilih mana yang engkau suka. Demi medapat penawaran yang begitu tulus, Abdurrohman bin Auf berkata : semoga Alloh memberkahi harta dan keluargamu, di mana letak pasar kalian ? Akhirnya kelak di kemudian hari Abdurrohman bin Auf menjadi pengusaha sukses di pasar tersebut
Maroji’ :
Arrohiq Almakhthum, Syaikh Shoifurrohman Almubarok Fuuri hal 228
Kelengkapan tarikh, Munawwar Kholil hal 98-99
Setiba di kota Madinah, rosululloh shollallohu alaihi wasallam mempersaudarakan dua orang sahabat antara kaum anshor dan muhajirin. Mereka semua berjumlah 50 orang. Di antara mereka yang dipersaudarakan adalah :
1. Ja’far bin Abu Tholib dengan Muadz bin Jabal
2. Abu Bakar Ash Shiddiq dengan Khorijah bin Jubair
3. Umar bin Khothob dengan Ithban bin Malik
4. Amir bin Abdulloh dengan Sa’ad bin Muadz
5. Abdurrohman bin Auf dengan Sa’ad bin Robi’
6. Zubair bin awwam dengan Salamah bin Salamah
7. Utsman bin Affan dengan Aus bin Tsabit
8. Tholhah bin Ubaidillah dengan Ka’ab bin Malik
9. Sa’ad bin Zaid dengan Ubay bin Ka’ab
10. Mush’ab bin Umair dengan Kholid bin Zaid
11. Abu Khudziafah dengan Ubad bin Bisyr
12. Ammar bin Yasir dengan Hudzaifah Alyaman
13. Abu Dzar Alghifari dengan Munzir bin Amir
14. Bilal bin Robah dengan Abu Ruwaihah
15. Salaman Alfarisi dengan Abu Darda’
Persaudaraan ini dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam dengan tujuan :
• Melenyapkan rasa asing para muhajirin yang baru tinggal di kota Madinah
• Membangun persaudaraan di atas agama Alloh
• Tolong menolong antara yang kuat dan lemah
Sementara Syaikh Shoifurrohman Almubarok Fuuri berkata : persaudaran ini bertujuan untuk mengikis fanatisme jahiliyyah, menghilangkan perbedaan nasab, warna dan asal negara sehingga tidak ada asas alwala’ walbaro’ (loyalitas) selain dibangun di atas pondasi islam.
Dari contoh persaudaran, kita mendapatkan kisah persaudaraan antara Abdurrohman bin Auf dan Sa’ad bin Robi’. Sa’ad berkata : saya adalah orang anshor yang paling kaya maka akan aku bagi dua harta kekayaanku untukmu, saya juga memiliki dua istri, silahkan pilih mana yang engkau suka. Demi medapat penawaran yang begitu tulus, Abdurrohman bin Auf berkata : semoga Alloh memberkahi harta dan keluargamu, di mana letak pasar kalian ? Akhirnya kelak di kemudian hari Abdurrohman bin Auf menjadi pengusaha sukses di pasar tersebut
Maroji’ :
Arrohiq Almakhthum, Syaikh Shoifurrohman Almubarok Fuuri hal 228
Kelengkapan tarikh, Munawwar Kholil hal 98-99
Hukum Mencampur Dan Menggabung (8)
Jenazah Muslim Dan Mayat Orang Kafir Dalam Satu Komplek
Sudah merupakan kaedah bahwa tidak mungkin muslim bersatu. Aqidahlah yang menyebabkan garis jelas antara keduanya. Di akhirat orang-orang beriman berada di dalam aljannah, sementara orang kafir menempati neraka yang tidak pernah berakhir. Kondisi di akhirat yang berbeda menyebakan di alam barzakh juga berlainan. Si mukmin yang mendapat nikmat kubur, si kafir yang sibuk dengan siksaan dari munkar nakir.
Kondisi yang sangat berbeda antara keduanya menyebabkan tidak mungkin dua jasad disatukan dalam satu komplek pekuburan.
Syaikh Abu Malik Sayyid Kamal Salim berkata : tidak boleh seorang muslim dikubur bersama orang kafir demikian juga sebaliknya. Seorang muslim hanya di kubur di pekuburan muslim dan orang kafir hanya dikubur di pekuburan orang-orang musyrik. Demikianlah kenyataan ini sudah berlaku semenjak jaman rosululloh shollallohu alaihi wasallam hingga sekarang.
Maroji’ :
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Sayyid Kamal Salim 1/660
Sudah merupakan kaedah bahwa tidak mungkin muslim bersatu. Aqidahlah yang menyebabkan garis jelas antara keduanya. Di akhirat orang-orang beriman berada di dalam aljannah, sementara orang kafir menempati neraka yang tidak pernah berakhir. Kondisi di akhirat yang berbeda menyebakan di alam barzakh juga berlainan. Si mukmin yang mendapat nikmat kubur, si kafir yang sibuk dengan siksaan dari munkar nakir.
Kondisi yang sangat berbeda antara keduanya menyebabkan tidak mungkin dua jasad disatukan dalam satu komplek pekuburan.
Syaikh Abu Malik Sayyid Kamal Salim berkata : tidak boleh seorang muslim dikubur bersama orang kafir demikian juga sebaliknya. Seorang muslim hanya di kubur di pekuburan muslim dan orang kafir hanya dikubur di pekuburan orang-orang musyrik. Demikianlah kenyataan ini sudah berlaku semenjak jaman rosululloh shollallohu alaihi wasallam hingga sekarang.
Maroji’ :
Shohih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Sayyid Kamal Salim 1/660
Hukum Mencampur Dan Menggabung (7)
Dua Jenazah Atau Lebih Dalam Satu Lobang
Masih ingat kasus Tsunami Aceh yang menewaskan ratusan ribu orang ? Bagaimana cara penguburan mayat yang begitu banyak ? Ternyata satu lobang diisi oleh puluhan bahkan ratusan orang. Hal ini juga pernah dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam terhadap syuhada’ uhud :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ
Dari 'Abdurrahman bin Ka'ab bahwa Jabir bin 'Abdullah radliallahu 'anhu mengabarkan kepadanya bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasallam pernah menggabungkan (dalam satu kubur) dua orang laki-laki yang gugur dalam perang Uhud [HR Bukhori]
Sayyid Sabiq berkata : diperbolehkan mengubur mayat lebih dari satu orang dalam satu lobang karena terlalu banyaknya mayat dan sedikitnya penggali atau karena kelemahan mereka.
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 1/469
Masih ingat kasus Tsunami Aceh yang menewaskan ratusan ribu orang ? Bagaimana cara penguburan mayat yang begitu banyak ? Ternyata satu lobang diisi oleh puluhan bahkan ratusan orang. Hal ini juga pernah dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam terhadap syuhada’ uhud :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ
Dari 'Abdurrahman bin Ka'ab bahwa Jabir bin 'Abdullah radliallahu 'anhu mengabarkan kepadanya bahwa Nabi Shallallahu'alaihiwasallam pernah menggabungkan (dalam satu kubur) dua orang laki-laki yang gugur dalam perang Uhud [HR Bukhori]
Sayyid Sabiq berkata : diperbolehkan mengubur mayat lebih dari satu orang dalam satu lobang karena terlalu banyaknya mayat dan sedikitnya penggali atau karena kelemahan mereka.
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 1/469
Hukum Mencampur Dan Menggabung (6)
Niat Mendapat Pahala Dan Keuntungan Dunia
Di sebuah majlis ta’lim, di bagian luar tampak para pedagang menjajakan barang dagangannya. Mereka juga ikut menyimak ceramah meski dari luar. Pulang ke rumah mereka mendapat ilmu dan keuntungan dari hasil jual beli sehingga mampu menghidupi keluarga.
Dua niat terkumpul, niat mendapat pahala karena hadir di majlis ilmu dan keinginan mendapat uang dengan cara berdagang. Pemandangan ini juga nampak di momen ibadah haji. Tidak sedikit jamaah haji yang pergi ke tanah suci dengan berharap mendapat haji mabrur, sementara diam-diam tasnya dipenuhi barang dagangan yang bisa dia jual di sela-sela ibadah.
Pada jaman jahiliyah, jual beli tampak ramai pada bulan-bulan haji. Ketika islam datang, sebagian manusia menganggap hal itu tidak diperkenankan karena ia adalah hari dimana manusia harus sibuk dengan berdzikir. Akhirnya Alloh menurunkan ayat :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُناَحٌ أنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِّنْ رَبِّكُمْ
Tidak dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Robmu [albaqoroh : 198]
Ibnu Abbas berkata : tidak mengapa mengadakan transaksi jual beli sebelum ihrom dan setelahnya. Kapan waktu diperbolehkan jual beli setelah haji ? Ibnu Umar menerangkan bahwa pembolehan itu terjadi bila kita telah thowaf, mendatangi Arofah, melempar jumroh dan mencukur rambut.
Maroji’ :
Tafsir Alquran Al’adzim, Abu Fida’ Alhafidz ibnu Katsir Addamsyiqi 1/298
Di sebuah majlis ta’lim, di bagian luar tampak para pedagang menjajakan barang dagangannya. Mereka juga ikut menyimak ceramah meski dari luar. Pulang ke rumah mereka mendapat ilmu dan keuntungan dari hasil jual beli sehingga mampu menghidupi keluarga.
Dua niat terkumpul, niat mendapat pahala karena hadir di majlis ilmu dan keinginan mendapat uang dengan cara berdagang. Pemandangan ini juga nampak di momen ibadah haji. Tidak sedikit jamaah haji yang pergi ke tanah suci dengan berharap mendapat haji mabrur, sementara diam-diam tasnya dipenuhi barang dagangan yang bisa dia jual di sela-sela ibadah.
Pada jaman jahiliyah, jual beli tampak ramai pada bulan-bulan haji. Ketika islam datang, sebagian manusia menganggap hal itu tidak diperkenankan karena ia adalah hari dimana manusia harus sibuk dengan berdzikir. Akhirnya Alloh menurunkan ayat :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُناَحٌ أنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِّنْ رَبِّكُمْ
Tidak dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Robmu [albaqoroh : 198]
Ibnu Abbas berkata : tidak mengapa mengadakan transaksi jual beli sebelum ihrom dan setelahnya. Kapan waktu diperbolehkan jual beli setelah haji ? Ibnu Umar menerangkan bahwa pembolehan itu terjadi bila kita telah thowaf, mendatangi Arofah, melempar jumroh dan mencukur rambut.
Maroji’ :
Tafsir Alquran Al’adzim, Abu Fida’ Alhafidz ibnu Katsir Addamsyiqi 1/298
Hukum Mencampur Dan Menggabung (5)
Dua Niat Dalam Satu Perbuatan
Pada hari jumat pukul sepuluh pagi, suami istri melakukan hubungan badan. Setelah selesai, sang suami punya dua beban perintah, yaitu mandi junub dan mandi karena akan menghadiri sholat jumat. Ia masuk ke kamar mandi. Ia mandi dan keramas. Setelah selesai ia keringkan badan dengan handuk lalu keluar. Baru di depan pintu kamar mandi, ia segera masuk kembali dan mandi untuk kedua kalinya. Ketika anak bertanya, “ Ayah, kenapa mandi lagi ? “ Laki-laki itu kebingungan menjawab pertanyaan sang anak.
Dalam kasus di atas, sebenarnya cukup bagi dirinya untuk mandi sekali saja dengan meniatkan dalam hati bahwa mandi ini saya peruntukkan untuk mandi junub dan hari jumat.
Seseorang berwudlu lalu masuk ke masjid. Ia nampak kebingungan. Mana yang harus dilakukan, sholat tahiyatul masjid atau sholat sunnah setelah wudlu ? Bila ia mendahulukan sholat tahiyatul masjid, bukankah ia baru saja menyelesaikan wudlunya ? Sebaliknya bila ia memulai dengan sholat sunnah setelah wudlu, bukankah dengan begitu ia sudah duduk sementara tahiyatul masjid dikerjakan sebelum duduk ?
Sebenarnya bagi orang itu cukup melakukan dua rokaat dengan menetapkan dalam hatinya bahwa apa yang ia lakukan sebagai tahiyatul masjid dan sholat sunnah setelah wudlu.
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menyampaikan kaedah :
إِذَا اجْتَمَعَ عِبَادَتاَنِ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ دَخَلَتْ إحْدَاهُماَ عَلَى الأُخْرَى
Bila dua ibadah yang sejenis berkumpul, maka salah satu di antara keduanya bisa dimasukkan ke lainnya
Tahiyaul masjid dan sholat sunnah setelah wudlu adalah ibadah sejenis. Keduanya bernilai sunnah dan terdiri dari dua rokaat yang tentunya pelaksanaan antara keduanya tidak ada perbedaan. Demikian juga kedudukan mandi junub dan mandi untuk menunaikan sholat jumat.
Maroji’ :
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam jilid 1 tanpa halaman
Pada hari jumat pukul sepuluh pagi, suami istri melakukan hubungan badan. Setelah selesai, sang suami punya dua beban perintah, yaitu mandi junub dan mandi karena akan menghadiri sholat jumat. Ia masuk ke kamar mandi. Ia mandi dan keramas. Setelah selesai ia keringkan badan dengan handuk lalu keluar. Baru di depan pintu kamar mandi, ia segera masuk kembali dan mandi untuk kedua kalinya. Ketika anak bertanya, “ Ayah, kenapa mandi lagi ? “ Laki-laki itu kebingungan menjawab pertanyaan sang anak.
Dalam kasus di atas, sebenarnya cukup bagi dirinya untuk mandi sekali saja dengan meniatkan dalam hati bahwa mandi ini saya peruntukkan untuk mandi junub dan hari jumat.
Seseorang berwudlu lalu masuk ke masjid. Ia nampak kebingungan. Mana yang harus dilakukan, sholat tahiyatul masjid atau sholat sunnah setelah wudlu ? Bila ia mendahulukan sholat tahiyatul masjid, bukankah ia baru saja menyelesaikan wudlunya ? Sebaliknya bila ia memulai dengan sholat sunnah setelah wudlu, bukankah dengan begitu ia sudah duduk sementara tahiyatul masjid dikerjakan sebelum duduk ?
Sebenarnya bagi orang itu cukup melakukan dua rokaat dengan menetapkan dalam hatinya bahwa apa yang ia lakukan sebagai tahiyatul masjid dan sholat sunnah setelah wudlu.
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam menyampaikan kaedah :
إِذَا اجْتَمَعَ عِبَادَتاَنِ مِنْ صِنْفٍ وَاحِدٍ دَخَلَتْ إحْدَاهُماَ عَلَى الأُخْرَى
Bila dua ibadah yang sejenis berkumpul, maka salah satu di antara keduanya bisa dimasukkan ke lainnya
Tahiyaul masjid dan sholat sunnah setelah wudlu adalah ibadah sejenis. Keduanya bernilai sunnah dan terdiri dari dua rokaat yang tentunya pelaksanaan antara keduanya tidak ada perbedaan. Demikian juga kedudukan mandi junub dan mandi untuk menunaikan sholat jumat.
Maroji’ :
Taudlihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam jilid 1 tanpa halaman
Hukum Mencampur Dan Menggabung (4)
Alhaq Dan Batil
Dalam sebuah perhelatan pernikahan, terlihat syarat dan rukun nikah terpenuhi. Ijab qobul, mahar, wali dan saksi. Sayang acara yang begitu sesuai dengan syariat islam dirusak dengan acara siraman, mandi kembang tujuh rupa dan lainnya. Islam dicampur dengan ajaran kejawen yang berbau syirik.
Di majlis taklim diajarkan bahwa islam adalah satu-satunya din yang benar. Ketika berada di bangku sekolah kita didoktrin oleh pelajaran PMP tentang kesamaan semua agama.
Ketika menyantap makanan, tidak lupa membaca basmallah. Sayang ia melakukannya dengan berdiri dan tak jarang tangan kiri digunakan untuk memasukkan makanan ke mulutnya.
Contoh-contoh di atas memberi pelajaran bagi kita betapa kebaikan sering harus bercampur dengan kebatilan, padahal keduanya tidak mungkin disatukan. Alloh mengingatkan :
وَلاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوْا الْحَقَّ وَأنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui [albaqoroh : 42]
Ibnu Katsir berkata : maksud ayat ini adalah : janganlah kalian campurkan ajaran yahudi dan nasrani dengan ajaran islam karena kalian sebenarnya mengetahui bahwa din Alloh hanyalah islam, sementara yahudi dan nasrani adalah bid’ah bukan berasal dari Alloh.
Maroji’ :
Tafsir Alquran Al ‘adzim, Abu Fida Alhafidz ibnu Katsir Addamsyiqi 1/108
Dalam sebuah perhelatan pernikahan, terlihat syarat dan rukun nikah terpenuhi. Ijab qobul, mahar, wali dan saksi. Sayang acara yang begitu sesuai dengan syariat islam dirusak dengan acara siraman, mandi kembang tujuh rupa dan lainnya. Islam dicampur dengan ajaran kejawen yang berbau syirik.
Di majlis taklim diajarkan bahwa islam adalah satu-satunya din yang benar. Ketika berada di bangku sekolah kita didoktrin oleh pelajaran PMP tentang kesamaan semua agama.
Ketika menyantap makanan, tidak lupa membaca basmallah. Sayang ia melakukannya dengan berdiri dan tak jarang tangan kiri digunakan untuk memasukkan makanan ke mulutnya.
Contoh-contoh di atas memberi pelajaran bagi kita betapa kebaikan sering harus bercampur dengan kebatilan, padahal keduanya tidak mungkin disatukan. Alloh mengingatkan :
وَلاَ تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوْا الْحَقَّ وَأنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui [albaqoroh : 42]
Ibnu Katsir berkata : maksud ayat ini adalah : janganlah kalian campurkan ajaran yahudi dan nasrani dengan ajaran islam karena kalian sebenarnya mengetahui bahwa din Alloh hanyalah islam, sementara yahudi dan nasrani adalah bid’ah bukan berasal dari Alloh.
Maroji’ :
Tafsir Alquran Al ‘adzim, Abu Fida Alhafidz ibnu Katsir Addamsyiqi 1/108
Hukum Mencampur Dan Menggabung (3)
Dua Madlorot Yang Bertemu
Seorang yang terluka di kakinya. Karena infeksi begitu membahayakan, maka dokter menyarankan agar diamputasi. Satu di antara dua pilihan yang harus diambil. Memilih amputasi yang menyebabkan catat, atau keselamatan jiwanya. Karena bila pemotongan kaki tidak dilakukan maka akan menyebabkan kematian diakibatkan oleh infeksi yang terus menjalar.
Dalam banyak kasus kehidupan, sering kita jumpai kenyataan yang mirip dengan contoh di atas. Memilih satu di antara pilihan pahit yang lebih ringan resikonya.
Sebuah kaedah ushul fiqh mengatakan :
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمها ضررا بارتكاب أخفّها
Bila bertubrukan antara dua bahaya, maka dihindarkan bahaya yang tingkatnya lebih besar dan dipilih bahaya yang tingkatnya lebih kecil
Abdul Hamid Hakim memberi beberapa contoh :
• Diperbolehkan membelah perut seorang wanita yang sudah wafat bila ditemukan janin di dalamnya yang masih diharapkan kehidupannya
Melukai tubuh mayit adalah terlarang dalam islam, akan tetapi pembelahan perut akhirnya dipilih demi menyelamatkan jabang bayi
• Tidak diperbolehkan menghidupkan khomr dan judi karena madlorotnya jauh lebih besar dari manfaatnya
Khomr dan judi memiliki manfaat yang tidak sedikit. Keduanya akan membuka lapangan pekerjaan. Setelah direnungkan bahwa kerugian yang timbul akibat dari keduanya lebih besar maka islam datang untuk melarangnya.
• Islam mensyariatkan qishosh, hukum hudud dan memerangi para perompak
Akibat dari ketiganya maka akan menyebabkan jatuhnya korban berikut. Sang terdakwa yang akhirnya harus menghadapi hukuman pancung, rajam, dera atau potongan tangan. Tapi dari sisi manfaat ternyata kita mendapatkan kenyataan bahwa hukuman-hukuman di atas memberikan efek jera sehingga terwujudnya rasa aman dalam kehidupan masyarakat
• Islam membolehkan seseorang mengambil makanan orang lain dengan cara paksa bila dalam keadaan mendesak
Semisal orang yang kelaparan dan kehausan, sementara ia tidak memiliki sepeserpun uang. Dengan jujur orang tersebut meminta kepada seseorang untuk memberi sedikit makanan dan minuman untuk sekedar mengganjal perut dan mempertahankan hidupnya. Yang dia dapatkan adalah penolakan. Dalam kondisi seperti ini ia diperbolehkan dengan paksa mengambil makanan yang dimiliki orang tersebut
Maroji’ :
Mabaadi’ Awwaliyyah, Abdul Hamid Hakim hal 35
Seorang yang terluka di kakinya. Karena infeksi begitu membahayakan, maka dokter menyarankan agar diamputasi. Satu di antara dua pilihan yang harus diambil. Memilih amputasi yang menyebabkan catat, atau keselamatan jiwanya. Karena bila pemotongan kaki tidak dilakukan maka akan menyebabkan kematian diakibatkan oleh infeksi yang terus menjalar.
Dalam banyak kasus kehidupan, sering kita jumpai kenyataan yang mirip dengan contoh di atas. Memilih satu di antara pilihan pahit yang lebih ringan resikonya.
Sebuah kaedah ushul fiqh mengatakan :
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمها ضررا بارتكاب أخفّها
Bila bertubrukan antara dua bahaya, maka dihindarkan bahaya yang tingkatnya lebih besar dan dipilih bahaya yang tingkatnya lebih kecil
Abdul Hamid Hakim memberi beberapa contoh :
• Diperbolehkan membelah perut seorang wanita yang sudah wafat bila ditemukan janin di dalamnya yang masih diharapkan kehidupannya
Melukai tubuh mayit adalah terlarang dalam islam, akan tetapi pembelahan perut akhirnya dipilih demi menyelamatkan jabang bayi
• Tidak diperbolehkan menghidupkan khomr dan judi karena madlorotnya jauh lebih besar dari manfaatnya
Khomr dan judi memiliki manfaat yang tidak sedikit. Keduanya akan membuka lapangan pekerjaan. Setelah direnungkan bahwa kerugian yang timbul akibat dari keduanya lebih besar maka islam datang untuk melarangnya.
• Islam mensyariatkan qishosh, hukum hudud dan memerangi para perompak
Akibat dari ketiganya maka akan menyebabkan jatuhnya korban berikut. Sang terdakwa yang akhirnya harus menghadapi hukuman pancung, rajam, dera atau potongan tangan. Tapi dari sisi manfaat ternyata kita mendapatkan kenyataan bahwa hukuman-hukuman di atas memberikan efek jera sehingga terwujudnya rasa aman dalam kehidupan masyarakat
• Islam membolehkan seseorang mengambil makanan orang lain dengan cara paksa bila dalam keadaan mendesak
Semisal orang yang kelaparan dan kehausan, sementara ia tidak memiliki sepeserpun uang. Dengan jujur orang tersebut meminta kepada seseorang untuk memberi sedikit makanan dan minuman untuk sekedar mengganjal perut dan mempertahankan hidupnya. Yang dia dapatkan adalah penolakan. Dalam kondisi seperti ini ia diperbolehkan dengan paksa mengambil makanan yang dimiliki orang tersebut
Maroji’ :
Mabaadi’ Awwaliyyah, Abdul Hamid Hakim hal 35
Hukum Mencampur Dan Menggabung (2)
Dosa Dan Amal Sholih
Alloh memberi potensi pada diri manusia untuk condong ketaatan di samping itu iapun memiliki naluri untuk berbuat maksiat. Alloh memaklumi bila iman hambaNya bertambah dan berkurang. Pada suatu saat begitu dekatnya kepada Alloh, akan tetapi pada kesempatan lain tergelincir dan berbuat maksiat.
Terkadang lidah kita dipenuhi dengan kalimat thoyyibah. Tilawatul quran dan dzikir menghiasai lisan kita. Tiba-tiba keluar kata-kata seronok, kotor dan kasar.
Begitu khusyu’nya kita sholat seolah-olah ia adalah sholat terakhir kalinya dalam hidup kita. Tak disangka karena acara hiburan yang menggoda, sholatpun dilalaikan. Meninggalkan jamaah di masjid, dilakukan di akhir waktu dan tergesa-gesa. Selesai menunaikan sholat tidak sempat lagi untuk duduk sejenak berdzikir
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam menerangkan kepada para sahabat akan kasih sayangnya Alloh kepada hamba-hambaNya yang terkadang lalai oleh maksiat :
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ أَنَّهُ قَالَ حِينَ حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ كُنْتُ كَتَمْتُ عَنْكُمْ شَيْئًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تُذْنِبُونَ لَخَلَقَ اللَّهُ خَلْقًا يُذْنِبُونَ يَغْفِرُ لَهُمْ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda : Demi Dzat yang jiwaku di tangannya, seandainya kamu sekalian tidak berbuat dosa sama sekali, niscaya Allah akan memusnahkan kalian. Setelah itu, Allah akan mengganti kalian dengan umat yang pernah berdosa. Kemudian mereka akan memohon ampunan kepada Allah dan Allah pun pasti akan mengampuni mereka [HR Muslim]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَحْكِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَيْ رَبِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَبْدِي أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَيْ رَبِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ اعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari apa yang telah dikhabarkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, beliau bersabda : Dahulu, ada seorang yang telah berbuat dosa. Setelah itu, ia berdoa dan bermunajat; Ya Allah, ampunilah dosaku ! Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : Sesungguhnya hamba-Ku mengaku telah berbuat dosa, dan ia mengetahui bahwasanya ia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa atau memberi siksa karena dosa.' Kemudian orang tersebut berbuat dosa lagi dan ia berdoa; Ya Allah, ampunilah dosaku ! Maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : 'Hamba-Ku telah berbuat dosa, dan ia mengetahui bahwasanya ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa atau menyiksa hamba-Nya karena dosa. Oleh karena, berbuatlah sekehendakmu, karena Aku pasti akan mengampunimu (jika kamu bertaubat). [HR Ahmad dan Muslim]
Ternyata dari sebagian sahabat, generasi didikan rosululloh shollallohu alaihi wasallam ada di antara mereka yang mencampur antara ketaatan dan maksiat. Alloh berfirman :
وَءاخَرُوْنَ اعْتَرَفُوْا بِذُنُوْبِهِمْ خَلَطُوْا عَمَلاً صَالِحاً وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى الله أنْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ إنَّ الله غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan amal yang baik dengan amal lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [attaubah : 102]
Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : mereka adalah penduduk Madinah dan sekitarnya (para sahabat) dan juga seluruh penduduk di negeri-negeri islam ……. Mereka gemar mencampur adukkan antara amal sholih dan dan maksiat yaitu berupa terperosok ke dalam perbuatan haram dan mengabaikan perintah. Di saat itu dirinya menyadari akan kesalahannya dan muncul harapan agar Alloh mengampuninya.
Maroji’ :
Taisir Kalim Arrohman, Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 1/548
Alloh memberi potensi pada diri manusia untuk condong ketaatan di samping itu iapun memiliki naluri untuk berbuat maksiat. Alloh memaklumi bila iman hambaNya bertambah dan berkurang. Pada suatu saat begitu dekatnya kepada Alloh, akan tetapi pada kesempatan lain tergelincir dan berbuat maksiat.
Terkadang lidah kita dipenuhi dengan kalimat thoyyibah. Tilawatul quran dan dzikir menghiasai lisan kita. Tiba-tiba keluar kata-kata seronok, kotor dan kasar.
Begitu khusyu’nya kita sholat seolah-olah ia adalah sholat terakhir kalinya dalam hidup kita. Tak disangka karena acara hiburan yang menggoda, sholatpun dilalaikan. Meninggalkan jamaah di masjid, dilakukan di akhir waktu dan tergesa-gesa. Selesai menunaikan sholat tidak sempat lagi untuk duduk sejenak berdzikir
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam menerangkan kepada para sahabat akan kasih sayangnya Alloh kepada hamba-hambaNya yang terkadang lalai oleh maksiat :
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ أَنَّهُ قَالَ حِينَ حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ كُنْتُ كَتَمْتُ عَنْكُمْ شَيْئًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَوْلَا أَنَّكُمْ تُذْنِبُونَ لَخَلَقَ اللَّهُ خَلْقًا يُذْنِبُونَ يَغْفِرُ لَهُمْ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda : Demi Dzat yang jiwaku di tangannya, seandainya kamu sekalian tidak berbuat dosa sama sekali, niscaya Allah akan memusnahkan kalian. Setelah itu, Allah akan mengganti kalian dengan umat yang pernah berdosa. Kemudian mereka akan memohon ampunan kepada Allah dan Allah pun pasti akan mengampuni mereka [HR Muslim]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا يَحْكِي عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَذْنَبَ عَبْدٌ ذَنْبًا فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَيْ رَبِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَبْدِي أَذْنَبَ ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ ثُمَّ عَادَ فَأَذْنَبَ فَقَالَ أَيْ رَبِّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي فَقَالَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَذْنَبَ عَبْدِي ذَنْبًا فَعَلِمَ أَنَّ لَهُ رَبًّا يَغْفِرُ الذَّنْبَ وَيَأْخُذُ بِالذَّنْبِ اعْمَلْ مَا شِئْتَ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari apa yang telah dikhabarkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, beliau bersabda : Dahulu, ada seorang yang telah berbuat dosa. Setelah itu, ia berdoa dan bermunajat; Ya Allah, ampunilah dosaku ! Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : Sesungguhnya hamba-Ku mengaku telah berbuat dosa, dan ia mengetahui bahwasanya ia mempunyai Tuhan yang dapat mengampuni dosa atau memberi siksa karena dosa.' Kemudian orang tersebut berbuat dosa lagi dan ia berdoa; Ya Allah, ampunilah dosaku ! Maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman : 'Hamba-Ku telah berbuat dosa, dan ia mengetahui bahwasanya ia mempunyai Tuhan yang mengampuni dosa atau menyiksa hamba-Nya karena dosa. Oleh karena, berbuatlah sekehendakmu, karena Aku pasti akan mengampunimu (jika kamu bertaubat). [HR Ahmad dan Muslim]
Ternyata dari sebagian sahabat, generasi didikan rosululloh shollallohu alaihi wasallam ada di antara mereka yang mencampur antara ketaatan dan maksiat. Alloh berfirman :
وَءاخَرُوْنَ اعْتَرَفُوْا بِذُنُوْبِهِمْ خَلَطُوْا عَمَلاً صَالِحاً وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى الله أنْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ إنَّ الله غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan amal yang baik dengan amal lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [attaubah : 102]
Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di berkata : mereka adalah penduduk Madinah dan sekitarnya (para sahabat) dan juga seluruh penduduk di negeri-negeri islam ……. Mereka gemar mencampur adukkan antara amal sholih dan dan maksiat yaitu berupa terperosok ke dalam perbuatan haram dan mengabaikan perintah. Di saat itu dirinya menyadari akan kesalahannya dan muncul harapan agar Alloh mengampuninya.
Maroji’ :
Taisir Kalim Arrohman, Syaikh Abdurrohman Nashir Assa’di 1/548
Hukum Mencampur Dan Menggabung (1)
Tauhid Dan Syirik
Seseorang yang sedang bingung menentukan satu di antara dua pilihan. Dengan khusyu’ ia laksanakan sholat istikhoroh. Keesokan harinya iapun pergi ke paranormal untuk memohon petunjuk.
Di saat keluar rumah membaca bismillaahi tawakkaltu ‘alalloh. Berharap dengan bacaan itu mendapat perlindungan dari Alloh. Tapi iapun tak lupa memakai sabuk tolak bala pemberian kyai yang tak lain adalah dukun.
Sebuah negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Menunjukkan ketaatan kepada Alloh dengan menghidupkan sholat, shoum dan haji serta ibadah ritual lainnya. Tapi aneh hukum yang berlaku di sana adalah hukum thoghut. KUHP didominasi undang-undang peninggalan penjajah Belanda.
Tiga contoh di atas adalah bukti betapa masih banyak umat yang mengaku muslim akan tetapi masih ada pada dirinya noda-noda syirik. Padahal Alloh hanya memilih satu di antara dua opsi : syaakiron (orang yang bersyukur) atau kafuuron (ingkar kepada Alloh), mukmin atau kafir, muwahhid (orang yang bertauhid) atau musyrik.
Alloh tidak meridloi bila keduanya bersatu pada diri seseorang sehingga Alloh memberi jaminan dalam alquran kepada siapa saja yang iman mereka bersih dari noda syirik :
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْا إيْماَنَهُمْ بِظُلْمٍ أولئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ
Yaitu orang-orang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah mendapat rasa aman dan mereka adalah orang-orang yang mendapat hidayah [al an’am : 82]
Kezaliman yang dimaksud pada ayat ini adalah perbuatan syirik berdasarkan jawaban rosululloh shollallohu alaihi wasallam terhadap pertanyaan para sahabat ketika mengomentari ayat di atas : ya rosulalloh, siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya ? beliau menjawab : maksud ayat itu bukan sebagai apa yang kalian kira. Bukankah kalian pernah mendengar perkataan seorang hamba sholih “ wahai puteraku, janganlah engkau melakukan perbuatan syirik karena syirik adalah kezaliman yang besar “
Merujuk kepada pendapat Hasan Albashri dan Alkalbi maka kita mendapat kesimpulan bahwa tauhid yang tidak dikotori dengan perbuatan syirik menghasilkan dua hal :
• Al amnu (rasa aman di akhirat)
Dan tidak ada tempat yang membuat penghuninya aman di sana kecuali aljannah
• Muhtadun (mendapat bimbingan hidayah di dunia)
Dengan hidayah seseorang mampu membedakan antara haq dan batil, halal dan haram, tauhid dan syirik.
Maroji’ :
Fathul Majid, Syaikh Abdurohman bin Hasan Alu Syaikh hal 29
Seseorang yang sedang bingung menentukan satu di antara dua pilihan. Dengan khusyu’ ia laksanakan sholat istikhoroh. Keesokan harinya iapun pergi ke paranormal untuk memohon petunjuk.
Di saat keluar rumah membaca bismillaahi tawakkaltu ‘alalloh. Berharap dengan bacaan itu mendapat perlindungan dari Alloh. Tapi iapun tak lupa memakai sabuk tolak bala pemberian kyai yang tak lain adalah dukun.
Sebuah negeri yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Menunjukkan ketaatan kepada Alloh dengan menghidupkan sholat, shoum dan haji serta ibadah ritual lainnya. Tapi aneh hukum yang berlaku di sana adalah hukum thoghut. KUHP didominasi undang-undang peninggalan penjajah Belanda.
Tiga contoh di atas adalah bukti betapa masih banyak umat yang mengaku muslim akan tetapi masih ada pada dirinya noda-noda syirik. Padahal Alloh hanya memilih satu di antara dua opsi : syaakiron (orang yang bersyukur) atau kafuuron (ingkar kepada Alloh), mukmin atau kafir, muwahhid (orang yang bertauhid) atau musyrik.
Alloh tidak meridloi bila keduanya bersatu pada diri seseorang sehingga Alloh memberi jaminan dalam alquran kepada siapa saja yang iman mereka bersih dari noda syirik :
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْا إيْماَنَهُمْ بِظُلْمٍ أولئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ
Yaitu orang-orang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah mendapat rasa aman dan mereka adalah orang-orang yang mendapat hidayah [al an’am : 82]
Kezaliman yang dimaksud pada ayat ini adalah perbuatan syirik berdasarkan jawaban rosululloh shollallohu alaihi wasallam terhadap pertanyaan para sahabat ketika mengomentari ayat di atas : ya rosulalloh, siapa di antara kami yang tidak menzalimi dirinya ? beliau menjawab : maksud ayat itu bukan sebagai apa yang kalian kira. Bukankah kalian pernah mendengar perkataan seorang hamba sholih “ wahai puteraku, janganlah engkau melakukan perbuatan syirik karena syirik adalah kezaliman yang besar “
Merujuk kepada pendapat Hasan Albashri dan Alkalbi maka kita mendapat kesimpulan bahwa tauhid yang tidak dikotori dengan perbuatan syirik menghasilkan dua hal :
• Al amnu (rasa aman di akhirat)
Dan tidak ada tempat yang membuat penghuninya aman di sana kecuali aljannah
• Muhtadun (mendapat bimbingan hidayah di dunia)
Dengan hidayah seseorang mampu membedakan antara haq dan batil, halal dan haram, tauhid dan syirik.
Maroji’ :
Fathul Majid, Syaikh Abdurohman bin Hasan Alu Syaikh hal 29
Hukum Mengganti (12)
Senjata
Di saat bermain bulu tangkis, pemain merasa koq bermasalah. Sebagian bulunya sudah rontok. Maka ia segera membuang koq itu ke tong sampah dan mengambil koq yang masih baru.
Ban motor yang sudah tipis akan membahayakan pengendaranya. Menggantinya dengan yang baru adalah satu kemestian.
Demekianlah penggantian barang yang sudah tidak layak pakai dilakukan. Tak terkecuali dengan senjata yang kita gunakan untuk menghadapi musuh sebagaimana yang dilakukan oleh Kholid bin Walid pada perang Mu’tah :
عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ قَالَ سَمِعْتُ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ يَقُولُ لَقَدْ انْقَطَعَتْ فِي يَدِي يَوْمَ مُؤْتَةَ تِسْعَةُ أَسْيَافٍ فَمَا بَقِيَ فِي يَدِي إِلَّا صَفِيحَةٌ يَمَانِيَةٌ
Dari Qais bin Abu Hazim, katanya, kudengar Khalid bin Walid mengatakan, pada perang Mu'tah, pedang yang putus ditanganku sebanyak sembilan pedang, dan tidak tersisa di tanganku selain pedang Yamani [HR Bukhori]
Di saat bermain bulu tangkis, pemain merasa koq bermasalah. Sebagian bulunya sudah rontok. Maka ia segera membuang koq itu ke tong sampah dan mengambil koq yang masih baru.
Ban motor yang sudah tipis akan membahayakan pengendaranya. Menggantinya dengan yang baru adalah satu kemestian.
Demekianlah penggantian barang yang sudah tidak layak pakai dilakukan. Tak terkecuali dengan senjata yang kita gunakan untuk menghadapi musuh sebagaimana yang dilakukan oleh Kholid bin Walid pada perang Mu’tah :
عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ قَالَ سَمِعْتُ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ يَقُولُ لَقَدْ انْقَطَعَتْ فِي يَدِي يَوْمَ مُؤْتَةَ تِسْعَةُ أَسْيَافٍ فَمَا بَقِيَ فِي يَدِي إِلَّا صَفِيحَةٌ يَمَانِيَةٌ
Dari Qais bin Abu Hazim, katanya, kudengar Khalid bin Walid mengatakan, pada perang Mu'tah, pedang yang putus ditanganku sebanyak sembilan pedang, dan tidak tersisa di tanganku selain pedang Yamani [HR Bukhori]
Hukum Mengganti (11)
Pengantin
Pernikahan yang unik. Pengantin laki-laki ada di luar negeri sementara mempelai wanita ada di tanah air. Bagaimana itu bisa terjadi ? Ternyata pada waktu akad, ada seorang laki-laki yang bisa dipercaya menjadi wakil dari pengantin laki-laki.
Terdengar bunyi akad “ Saya nikahkan anda fulan bin fulan yang diwakilkan oleh fulan bin fulan dengan fulanah binti fulanah …. “
Pernikahan dengan cara ini syah menurut syariat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Beliau menikahi Ummu Habibah yang berada di Habasyah. Raja Najasyi bertindak sebagai pihak yang menikahkan sementara Amru bin Umayyah Adl Dlomari mewakili rosululloh shollallohu alaihi wasallam sebagai mempelai pria.
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 2/123
Pernikahan yang unik. Pengantin laki-laki ada di luar negeri sementara mempelai wanita ada di tanah air. Bagaimana itu bisa terjadi ? Ternyata pada waktu akad, ada seorang laki-laki yang bisa dipercaya menjadi wakil dari pengantin laki-laki.
Terdengar bunyi akad “ Saya nikahkan anda fulan bin fulan yang diwakilkan oleh fulan bin fulan dengan fulanah binti fulanah …. “
Pernikahan dengan cara ini syah menurut syariat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh rosululloh shollallohu alaihi wasallam. Beliau menikahi Ummu Habibah yang berada di Habasyah. Raja Najasyi bertindak sebagai pihak yang menikahkan sementara Amru bin Umayyah Adl Dlomari mewakili rosululloh shollallohu alaihi wasallam sebagai mempelai pria.
Maroji’ :
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq 2/123
Hukum Mengganti (10)
Panglima Perang
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam memiliki sejumlah panglima perang yang handal. Ali bin Abi Tholib pada perang Khoibar, Saad bin Abi Waqosh pada perang melawan bangsa Persi dan tokoh muda belia Usamah bin Zaid.
Pergantian panglima perang adalah hal yang biasa. Kholid bin Walid yang menjabat sebagai panglima pada masa kekhilafahan Abu Bakar, tiba-tiba digantikan oleh Abu Ubaidah Ibnu Jarroh pada masa pemerintahan Umar bin Khothob.
Akan tetapi pergantian panglima paling unik adalah pada perang Mu’tah. Dalam sekali pertempuran telah terjadi empat kali pergantian pemimpin. Hal ini terjadi karena gugurnya 3 komandan perang secara beruntun.
Zaid bin Haritsah yang memegang kendali pertempuran akhirnya gugur yang kemudian berpindah kepada Ja’far bin Abdul Muthollib. Di saat Ja’far syahid dengan lima puluh tikaman dan sayatan pedang, selanjutnya komando berpindah pada Abdulloh bin Ruwahah. Tidak lama kemudian Abdulloh bin Ruwahah mengalami nasib sama dengan pendahulunya. Berdirilah Kholid bin Walid memimpin umat islam.
Maroji’ :
Arrohiq almakhthum, Syaikh Shofiyurrohman Almurakfukhri hal 256 dan 457
Rosululloh shollallohu alaihi wasallam memiliki sejumlah panglima perang yang handal. Ali bin Abi Tholib pada perang Khoibar, Saad bin Abi Waqosh pada perang melawan bangsa Persi dan tokoh muda belia Usamah bin Zaid.
Pergantian panglima perang adalah hal yang biasa. Kholid bin Walid yang menjabat sebagai panglima pada masa kekhilafahan Abu Bakar, tiba-tiba digantikan oleh Abu Ubaidah Ibnu Jarroh pada masa pemerintahan Umar bin Khothob.
Akan tetapi pergantian panglima paling unik adalah pada perang Mu’tah. Dalam sekali pertempuran telah terjadi empat kali pergantian pemimpin. Hal ini terjadi karena gugurnya 3 komandan perang secara beruntun.
Zaid bin Haritsah yang memegang kendali pertempuran akhirnya gugur yang kemudian berpindah kepada Ja’far bin Abdul Muthollib. Di saat Ja’far syahid dengan lima puluh tikaman dan sayatan pedang, selanjutnya komando berpindah pada Abdulloh bin Ruwahah. Tidak lama kemudian Abdulloh bin Ruwahah mengalami nasib sama dengan pendahulunya. Berdirilah Kholid bin Walid memimpin umat islam.
Maroji’ :
Arrohiq almakhthum, Syaikh Shofiyurrohman Almurakfukhri hal 256 dan 457
Hukum Mengganti (9)
Kerusakan Barang
Ketika kita meminjam motor seseorang, tiba-tiba saat mengendarainya kita terjatuh sehingga kaca spion pecah. Maka sebelum pengembalian kita harus bertanggung jawab mengganti spare part yang rusak.
Seorang anak bermain sepakbola. Tak disangka tendangan bola yang ia arahkan ke gawang akhirnya mengenai kaca dari rumah penduduk. Meski ia belum baligh dan dihadapan syariat ia belum dinilai mukallaf (tidak dituntut atas kesalahan), ia harus bertanggung jawab atas pecahnya kaca. Dan penggantian itu dibebankan pada orang tuanya.
Zulaikha yang menarik baju Yusuf hingga koyak, di hadapan pengadilan Zulaikha wajib melakukan penggantian terhadap baju Yusuf.
Demikianlah kerusakan terhadap benda diatur oleh islam. Hal inilah yang pernah terjadi pada diri keluarga rosululloh shollallohu alai wasallam :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ، فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ اَلْمُؤْمِنِينَ مَعَ خَادِمٍ لَهَا بِقَصْعَةٍ فِيهَا طَعَامٌ فَكَسَرَتِ اَلْقَصْعَةَ، فَضَمَّهَا وَجَعَلَ فِيهَا اَلطَّعَامَ. وَقَالَ كُلُوا وَدَفَعَ اَلْقَصْعَةَ اَلصَّحِيحَةَ لِلرَّسُولِ, وَحَبَسَ اَلْمَكْسُورَةَ رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ. وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَسَمَّى اَلضَّارِبَةَ عَائِشَةَ, وَزَادَ: فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ( طَعَامٌ بِطَعَامٍ, وَإِنَاءٌ بِإِنَاءٍ
)
Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang berada di rumah salah seorang istrinya. Lalu salah satu istrinya yang lain mengutus seorang pelayan membawa sebuah piring yang berisi makanan. Kemudian ia (istri yang serumah dengan beliau) memukul dengan tangannya dan pecahlah piring tersebut. Beliau menangkupkan piring itu dan meletakkan makanan di atasnya, lalu bersabda : Makanlah. Kemudian beliau mengembalikan piring yang baik kepada pesuruh itu dan menyimpan piring yang pecah. Riwayat Bukhari dan Tirmidzi, dan dia menyebut pemukul tersebut adalah 'Aisyah, dan menambahkan : Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Makanan diganti makanan dan bejana diganti bejana.
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : hadits ini menerangkan tentang hukuman bagi seseorang yang melakukan perusakan barang milik orang lain dengan cara menggantinya, sementara barang yang ia rusak akan diberikan kepadanya. Hukum ini tetap berlaku meski yang bersangkutan melakukannya dikarenakan emosi atau reaksi sesaat.
Sementara Imam Son’ani berpendapat bahwa penggantian bisa berwujud barang yang setara dengan yang dirusak atau uang senilai harga barang.
Maroji’ :
Taudihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/337
Subulusssalam, Imam Shon’ani 3/71
Ketika kita meminjam motor seseorang, tiba-tiba saat mengendarainya kita terjatuh sehingga kaca spion pecah. Maka sebelum pengembalian kita harus bertanggung jawab mengganti spare part yang rusak.
Seorang anak bermain sepakbola. Tak disangka tendangan bola yang ia arahkan ke gawang akhirnya mengenai kaca dari rumah penduduk. Meski ia belum baligh dan dihadapan syariat ia belum dinilai mukallaf (tidak dituntut atas kesalahan), ia harus bertanggung jawab atas pecahnya kaca. Dan penggantian itu dibebankan pada orang tuanya.
Zulaikha yang menarik baju Yusuf hingga koyak, di hadapan pengadilan Zulaikha wajib melakukan penggantian terhadap baju Yusuf.
Demikianlah kerusakan terhadap benda diatur oleh islam. Hal inilah yang pernah terjadi pada diri keluarga rosululloh shollallohu alai wasallam :
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ، فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ اَلْمُؤْمِنِينَ مَعَ خَادِمٍ لَهَا بِقَصْعَةٍ فِيهَا طَعَامٌ فَكَسَرَتِ اَلْقَصْعَةَ، فَضَمَّهَا وَجَعَلَ فِيهَا اَلطَّعَامَ. وَقَالَ كُلُوا وَدَفَعَ اَلْقَصْعَةَ اَلصَّحِيحَةَ لِلرَّسُولِ, وَحَبَسَ اَلْمَكْسُورَةَ رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ. وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَسَمَّى اَلضَّارِبَةَ عَائِشَةَ, وَزَادَ: فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ( طَعَامٌ بِطَعَامٍ, وَإِنَاءٌ بِإِنَاءٍ
)
Dari Anas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam sedang berada di rumah salah seorang istrinya. Lalu salah satu istrinya yang lain mengutus seorang pelayan membawa sebuah piring yang berisi makanan. Kemudian ia (istri yang serumah dengan beliau) memukul dengan tangannya dan pecahlah piring tersebut. Beliau menangkupkan piring itu dan meletakkan makanan di atasnya, lalu bersabda : Makanlah. Kemudian beliau mengembalikan piring yang baik kepada pesuruh itu dan menyimpan piring yang pecah. Riwayat Bukhari dan Tirmidzi, dan dia menyebut pemukul tersebut adalah 'Aisyah, dan menambahkan : Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Makanan diganti makanan dan bejana diganti bejana.
Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam berkata : hadits ini menerangkan tentang hukuman bagi seseorang yang melakukan perusakan barang milik orang lain dengan cara menggantinya, sementara barang yang ia rusak akan diberikan kepadanya. Hukum ini tetap berlaku meski yang bersangkutan melakukannya dikarenakan emosi atau reaksi sesaat.
Sementara Imam Son’ani berpendapat bahwa penggantian bisa berwujud barang yang setara dengan yang dirusak atau uang senilai harga barang.
Maroji’ :
Taudihul Ahkam, Syaikh Abdulloh Abdurrohman Albassam 3/337
Subulusssalam, Imam Shon’ani 3/71
Langganan:
Postingan (Atom)